
Bagi pria, otoritas dan kekuasaan di tempat kerja justru bisa menurunkan kadar depresi mereka. Namun tidak demikian dengan wanita. Menurut sebuah kajian oleh para peneliti University of Texas di Austin, Amerika Serikat, prasangka dan eksklusi sosial yang dialami para bos wanita di tempat kerja ternyata bisa memicu munculnya tanda-tanda depresi yang lebih besar. Kecerdasan emosional benar-benar diperlukan untuk mengelola stres dan menjadikannya dorongan untuk tetap produktif.
Sebanyak 1300 orang responden laki-laki dan 1500 responden wanita diwawancarai untuk riset ini. Kepada mereka ditanyakan, berapa banyak perasaan sedih atau gagal yang muncul dalam seminggu terakhir. Yang menarik, ketika pekerjaan menyangkut masalah rekrutmen, pemberhentian kerja, dan gaji pegawai, wanita pemimpin mengalami kenaikan gejala depresi sebanyak 9 persen dibanding dengan wanita tanpa otoritas. Sementara, pria justru memiliki penurunan gejala depresi sebanyak 10 persen.
Selain otoritas, kajian ini juga menyebutkan adanya faktor lain yang menyebabkan gejala depresi itu muncul, seperti jam kerja dalam seminggu, fleksibilitas jam kerja, juga frekuensi atasan mengecek pekerjaan mereka. Lagi-lagi, dalam hal ini pria lebih memiliki fleksibilitas untuk memutuskan kapan mereka akan memulai pekerjaannya dan juga lebih sedikit dimonitor oleh atasan mereka.
Menurut kepala peneliti proyek ini, Tetyana Pudrovska, para wanita pimpinan juga mengalami tekanan lebih dalam pekerjaannya. Misalnya adanya penolakan dari bawahan, kolega, bahkan atasan mereka. Dr. Ruth Sealy dari City University London menambahkan, bos wanita juga seringkali terjebak dalam citra laki-laki sebagai pemimpin yang baik. Karena itu wanita seringkali harus bekerja lebih keras untuk mencapai suatu posisi, tetapi mereka akan segera menemukan kenyataan bahwa ketika sampai di atas sana, kelayakan mereka masih terus dipertanyakan.
Bekerja di tengah dominasi laki-laki juga tak jarang membuat wanita kurang dipercaya sebagai pimpinan, meskipun dari segala sisi mereka layak untuk itu. Karena itu, untuk membuktikan diri, wanita cenderung mengadopsi nilai-nilai maskulin dalam memimpin. Tapi ini pun malah kerap dikritik sebagai 'tak feminin'.
Agar para wanita pemimpin tidak lantas 'berguguran' di tengah jalan karena tak tahan menanggung berbagai tekanan tersebut, menurut Sealy, pihak perusahaan harus membantu mereka dalam mengatasi stres, misalnya dengan menyediakan layanan konseling. Opsi lain, perusahaan harus menciptakan lingkungan kerja yang lebih ramah pada wanita, karena bagaimanapun mereka adalah sumber daya manusia yang unggul.
Mardyana Ulva
Sebanyak 1300 orang responden laki-laki dan 1500 responden wanita diwawancarai untuk riset ini. Kepada mereka ditanyakan, berapa banyak perasaan sedih atau gagal yang muncul dalam seminggu terakhir. Yang menarik, ketika pekerjaan menyangkut masalah rekrutmen, pemberhentian kerja, dan gaji pegawai, wanita pemimpin mengalami kenaikan gejala depresi sebanyak 9 persen dibanding dengan wanita tanpa otoritas. Sementara, pria justru memiliki penurunan gejala depresi sebanyak 10 persen.
Selain otoritas, kajian ini juga menyebutkan adanya faktor lain yang menyebabkan gejala depresi itu muncul, seperti jam kerja dalam seminggu, fleksibilitas jam kerja, juga frekuensi atasan mengecek pekerjaan mereka. Lagi-lagi, dalam hal ini pria lebih memiliki fleksibilitas untuk memutuskan kapan mereka akan memulai pekerjaannya dan juga lebih sedikit dimonitor oleh atasan mereka.
Menurut kepala peneliti proyek ini, Tetyana Pudrovska, para wanita pimpinan juga mengalami tekanan lebih dalam pekerjaannya. Misalnya adanya penolakan dari bawahan, kolega, bahkan atasan mereka. Dr. Ruth Sealy dari City University London menambahkan, bos wanita juga seringkali terjebak dalam citra laki-laki sebagai pemimpin yang baik. Karena itu wanita seringkali harus bekerja lebih keras untuk mencapai suatu posisi, tetapi mereka akan segera menemukan kenyataan bahwa ketika sampai di atas sana, kelayakan mereka masih terus dipertanyakan.
Bekerja di tengah dominasi laki-laki juga tak jarang membuat wanita kurang dipercaya sebagai pimpinan, meskipun dari segala sisi mereka layak untuk itu. Karena itu, untuk membuktikan diri, wanita cenderung mengadopsi nilai-nilai maskulin dalam memimpin. Tapi ini pun malah kerap dikritik sebagai 'tak feminin'.
Agar para wanita pemimpin tidak lantas 'berguguran' di tengah jalan karena tak tahan menanggung berbagai tekanan tersebut, menurut Sealy, pihak perusahaan harus membantu mereka dalam mengatasi stres, misalnya dengan menyediakan layanan konseling. Opsi lain, perusahaan harus menciptakan lingkungan kerja yang lebih ramah pada wanita, karena bagaimanapun mereka adalah sumber daya manusia yang unggul.
Mardyana Ulva