
Belakangan ini batu akik (gemstone) rupanya sedang jadi buah pembicaraan yang seksi, khususnya di kalangan pria; mulai dari para sopir angkot, pensiunan, pegawai menengah, sampai para eksekutif, bos, dan anggota Dewan yang terhormat. Venue-nya mulai dari warung mi instan, kafe, hingga hotel berbintang. Pusat penjualan batu akik pun kini menjamur. Di Jakarta, Pasar Rawa Bening Jatinegara bukan lagi satu-satunya pusat penjualan batu akik, karena sekarang sudah bertumbuhan pusat-pusat penjualan batu akik di seluruh penjuru Ibu Kota. Sebut saja Blok M, Thamrin City, dan banyak lagi. Itu baru di Jakarta. Di luar Jakarta, demam batu akik juga telah menginfeksi berbagai kota besar hingga kota kecamatan.
Bahkan kabarnya kini para pedagang batu akik sudah merangsek sampai ke gang-gang sempit dan kompleks perumahan. Akibatnya, bapak-bapak yang biasanya selalu punya sejuta alasan untuk mangkir meronda pada malam hari, sekarang dengan senang hati ngumpul di pos ronda sampai lewat tengah malam. Bukan untuk menjaga keamanan kompleks, tapi untuk mengerubungi tukang batu akik yang – entah kenapa — seolah memiliki ‘sex appeal’ tersendiri dalam menjaring perhatian kaum pria – setidaknya pria Indonesia.
Bukan pemandangan aneh melihat bapak-bapak berjas perlente berkumpul dalam lingkaran di tengah sebuah resepsi perkawinan sambil menyodorkan jari masing-masing, memamerkan aneka batu akik yang melekat di cincin (-cincin) mereka. Yang hebat, mulut mereka dengan fasih menyebutkan nama-nama batu yang kini sedang naik daun di perjagatan batu akik – mungkin sama fasihnya dengan kaum wanita saat menyebut brand sepatu high end.
Jangan harap mendengar kata ‘intan’, ‘jamrud’, ‘ruby’, atau ‘safir’ – itu mah, sudah kuno. Yang sekarang ‘wajib’ diketahui oleh para pria adalah: batu bacan – batu akik yang diklaim asli dari Nusantara dan banyak terdapat di Halmahera Selatan. Warnanya hijau cerah atau hijau muda kebiruan. Yang juga sedang melejit adalah batu indokras; ada yang berasal dari Sungai Dareh Sumatra Barat dan dari Aceh (biasa disebut juga giok aceh). Ada juga kalsedon (chalecedony) yang banyak ditemukan di Jawa Barat dan Sulawesi Tenggara.
Lucunya – dari hasil omong-omong dengan para pria penggila batu akik di warung depan kantor saya — karena batu-batuan ini akhirnya jadi ‘go international’ (akibat gencar dipromosikan lewat internet dan media sosial) sehingga banyak kolektor asing ikut memburunya dengan harga tinggi, maka penggemar batu akik di Indonesia pun terbelah dua. Satu kubu merasa rasa nasionalisme meraka melambung tinggi. Kubu lain sebaliknya, justru ‘sewot berat’, karena itu berarti peluang mereka untuk memiliki batu-batu akik itu makin kecil, karena harus bersaing dengan orang asing yang berani keluar modal gede. Soalnya, kabarnya, beberapa pengusaha dari Timur Tengah ada yang berani membayar sebutir batu bacan sampai ratusan juta hingga miliaran rupiah – meskipun saya tidak terlalu yakin kebenarannya. Bisa juga itu cuma taktik marketing jaringan pedagang batu akik untuk menaikkan pamor dagangan mereka.
Mungkin kita, wanita, tak habis pikir. Kenapa sih, para lelaki itu mendadak keranjingan sebegitu rupa pada batu akik? Sampai rela keluar uang ratusan ribu, jutaan, sampai miliaran rupiah hanya demi sebutir batu akik, dan mau-maunya mengorbankan waktu istirahat malam mereka hanya demi mengerubungi penjual batu akik? Bukankah mendingan dibelikan berlian untuk istri atau pacarnya?
Tapi sebetulnya kita tidak perlu heran. Fenomena ini justru merupakan contoh sempurna untuk mengenal makhluk bernama lelaki. Pertama, selama ini kita mengenal ungkapan ‘boys will be boys’. Laki-laki, sampai usia berapa pun, tetaplah seorang bocah, yang selalu membutuhkan mainan. Ketika kecil mereka main pistol-pistolan atau mobil-mobilan. Memasuki remaja, mereka main play station atau games. Setelah dewasa, khususnya setelah punya duit sendiri, jenis mainan mereka berkembang seiring dengan minat dan obsesi masing-masing – dan tentunya kondisi keuangan mereka. Ada yang lalu menjadi kolektor mobil, kolektor motor gede, kolektor jam tangan mewah, kolektor burung perkutut, kolektor wanita…
Dan seperti banyak hal di dunia ini, tren mainan pria juga berganti-ganti dari waktu ke waktu. Dua puluh tahun lalu, misalnya, mereka ramai-ramai membeli ikan arwana. Selanjutnya, tren bergulir ke ikan lohan yang berjidat ‘jenong’. Lalu beberapa tahun lalu sempat melejit tanaman anthurium atau yang dikenal dengan nama ‘gelombang cinta’. Lalu love birds, dan sekarang… batu akik!
Kedua, mainan itu juga membuat mereka mendapat kesempatan untuk pamer pengetahuan sekaligus membual! Tak percaya? Coba saja menyempatkan diri nyempil di antara para pria yang sedang asyik membicarakan batu akik dan iseng-iseng pasang kuping. Seperti kita semua tahu, membual alias bluffing adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi kaum Adam. Ini berlaku untuk hampir semua hal yang bersentuhan dengan kehidupan mereka: seks, uang, kekuasaan, wanita… Pasalnya, pria selalu ingin terlihat dan terkesan hebat. Tak hanya di depan wanita, tapi juga di depan sesama pria. Bahwa informasi yang mereka kemukakan faktual, atau fifty-fifty antara fakta dan imajinasi, atau malah 100 persen ‘ngarang’, itu soal lain.
Yang ketiga, di balik anggapan bahwa kaum pria jauh lebih rasional ketimbang wanita, faktanya lebih banyak pria yang menjadi dukun, paranormal, tukang ramal, tukang santet, dan sebagainya ketimbang wanita – meskipun, kata orang, lebih banyak wanita yang jadi customer-nya. Dari hasil ‘nguping’ itu, saya juga jadi tahu bahwa harga sebuah batu akik juga tergantung dari ‘khasiat’nya – selain dari kelangkaannya. Semakin ‘ajaib’ khasiatnya, tentu harganya semakin mahal pula. Ada batu akik yang dipercaya dapat memperlancar aliran rezeki, membuat cepat naik pangkat, atau dapat mengatrol performa seksual mereka!
Ya, ujung-ujungnya memang kembali ke ‘tiga kelemahan’ khas pria: harta, takhta, wanita…
Tina Savitri