
Beberapa waktu lalu saya menyambangi tiruan Kota Venezia, yaitu di salah satu hotel megah di Makau yang dirancang menyerupai kota ini. Interiornya mirip sekali dengan Venezia betulan yang saya kunjungi sekarang, lengkap dengan kanal yang saling menyilang dan gondola, plus gondolier tampan yang diimpor langsung dari Italia. Teringat ketika dulu naik gondola di Makau dan terkagum-kagum dengan suara sang gondolier yang indah, yang menggema di langit-langit hotel yang sangat tinggi, saya jadi ingin naik gondola di tempat aslinya.
Namun, naik gondola di Venezia harganya luar biasa mahal, yaitu 80 euro (hampir Rp1 juta) untuk keliling selama 40 menit. Itu sudah harga yang diberikan setelah tawar-menawar setengah mati. Setengah mati karena dua alasan. Pertama, mereka sangat teguh pendiriannya soal harga; kedua, bahasa Inggris mereka kurang lancar. Bahkan banyak gondolier lain yang menawarkan harga lebih dari 100 euro. Yang lebih menyebalkan, kalau harganya lebih murah, waktu ‘berlayar’-nya pun jadi lebih sebentar. Selain itu, makin malam harga naik gondola makin mahal. Mungkin karena suasananya jauh lebih romantis.
Di Makau, satu gondola bisa dinaiki oleh 4 orang saja, sementara gondola yang asli bisa menampung 6 penumpang. Bisa jadi karena yang di Makau hanya replika, yang melewati kanal-kanal replika pula. Namun, gondolier-nya memiliki seragam yang sama: kaus putih bergaris (kalau siang biru, kalau malam merah), topi, dan celana panjang hitam. Di sini saya tak melihat ada gondolier wanita sama sekali. Barangkali karena gondola yang asli lebih berat (sekitar 600 kg), sehingga cukup menyulitkan bagi wanita untuk mengemudikannya. Gondolier-nya tak selalu muda, tapi memang tampan-tampan dengan senyum yang memabukkan. Kalau di Indonesia, mereka pasti sudah jadi model atau bintang sinetron.
Masih terjerat dalam dilema apakah akan naik atau tidak, saya berdiri menyandar di sebuah jembatan. Jangan tanya jembatan yang mana, ya. Soalnya, setiap beberapa meter saya pasti menemukan jembatan. Katanya, sih, di sini ada 409 jembatan. Yah, saya percaya saja, masa mau menghitung?
Di jembatan itu saya hanya mengamati gondola yang mondar-mandir, berharap mendengar suara merdu para gondolier saat menyanyikan lagu-lagu tradisional Italia. Tapi, sudah beberapa gondola lewat, tetap saja nyanyian itu tak terdengar, meski hanya sayup-sayup. Saya bertanya pada teman, “Kok, tidak ada yang nyanyi seperti di film-film?” Teman saya tertawa. “Kalau ingin mendengar nyanyian mereka, kita harus bayar beberapa puluh euro lagi,” katanya. Wah… komersial betul, ya?
Akhirnya kami tak jadi naik gondola. Kami hanya duduk di pinggir Grand Canal, mengamati gondola yang lewat sambil menikmati ‘rujak’. Rujak ala Italia ini ternyata keren betul. Bukan berisi pepaya, mangga, dan bengkoang, melainkan blueberry, blackberry, dan raspberry, diletakkan dalam satu gelas plastik. Panas-panas begini, rasa asam dan manis buah berry itu bagaikan suntikan energi. Satu hal lagi, orang Italia senang sekali menikmati daging buah kelapa yang juga dijual sebagai jajanan. Padahal, daging buahnya tak seperti degan yang lembut, melainkan kelapa tua yang siap diparut untuk dijadikan santan.
Namun, naik gondola di Venezia harganya luar biasa mahal, yaitu 80 euro (hampir Rp1 juta) untuk keliling selama 40 menit. Itu sudah harga yang diberikan setelah tawar-menawar setengah mati. Setengah mati karena dua alasan. Pertama, mereka sangat teguh pendiriannya soal harga; kedua, bahasa Inggris mereka kurang lancar. Bahkan banyak gondolier lain yang menawarkan harga lebih dari 100 euro. Yang lebih menyebalkan, kalau harganya lebih murah, waktu ‘berlayar’-nya pun jadi lebih sebentar. Selain itu, makin malam harga naik gondola makin mahal. Mungkin karena suasananya jauh lebih romantis.
Di Makau, satu gondola bisa dinaiki oleh 4 orang saja, sementara gondola yang asli bisa menampung 6 penumpang. Bisa jadi karena yang di Makau hanya replika, yang melewati kanal-kanal replika pula. Namun, gondolier-nya memiliki seragam yang sama: kaus putih bergaris (kalau siang biru, kalau malam merah), topi, dan celana panjang hitam. Di sini saya tak melihat ada gondolier wanita sama sekali. Barangkali karena gondola yang asli lebih berat (sekitar 600 kg), sehingga cukup menyulitkan bagi wanita untuk mengemudikannya. Gondolier-nya tak selalu muda, tapi memang tampan-tampan dengan senyum yang memabukkan. Kalau di Indonesia, mereka pasti sudah jadi model atau bintang sinetron.
Masih terjerat dalam dilema apakah akan naik atau tidak, saya berdiri menyandar di sebuah jembatan. Jangan tanya jembatan yang mana, ya. Soalnya, setiap beberapa meter saya pasti menemukan jembatan. Katanya, sih, di sini ada 409 jembatan. Yah, saya percaya saja, masa mau menghitung?
Di jembatan itu saya hanya mengamati gondola yang mondar-mandir, berharap mendengar suara merdu para gondolier saat menyanyikan lagu-lagu tradisional Italia. Tapi, sudah beberapa gondola lewat, tetap saja nyanyian itu tak terdengar, meski hanya sayup-sayup. Saya bertanya pada teman, “Kok, tidak ada yang nyanyi seperti di film-film?” Teman saya tertawa. “Kalau ingin mendengar nyanyian mereka, kita harus bayar beberapa puluh euro lagi,” katanya. Wah… komersial betul, ya?
Akhirnya kami tak jadi naik gondola. Kami hanya duduk di pinggir Grand Canal, mengamati gondola yang lewat sambil menikmati ‘rujak’. Rujak ala Italia ini ternyata keren betul. Bukan berisi pepaya, mangga, dan bengkoang, melainkan blueberry, blackberry, dan raspberry, diletakkan dalam satu gelas plastik. Panas-panas begini, rasa asam dan manis buah berry itu bagaikan suntikan energi. Satu hal lagi, orang Italia senang sekali menikmati daging buah kelapa yang juga dijual sebagai jajanan. Padahal, daging buahnya tak seperti degan yang lembut, melainkan kelapa tua yang siap diparut untuk dijadikan santan.
Veronica Wahyuningkintarsih