
Di sisi lain, hidup di era modern ini sesungguhnya sudah dipenuhi benda-benda yang kebanyakan tak berguna, disukai sebentar saja, dan tak lagi memberi arti di hati karena mendapatkannya begitu mudah. Model dan tren begitu cepat berubah dan kita tiada henti tergoda untuk membeli sesuatu yang baru. Rumah kita tidak lagi selapang semula karena sudah terlalu banyak benda yang dibuang sayang karena menyimpan banyak kenangan, tetapi juga begitu menyita ruang.
Menimbang soal itu, sebisanya saya menghindari memberi hadiah berupa benda-benda yang hanya bakal teronggok tidak berguna, tidak mendapat apresiasi, atau malah hanya jadi penghuni gudang. Berkali-kali saya mengalaminya - hadiah atau oleh-oleh yang berupa pernak-pernik, bila tak sesuai dengan gaya dan selera si penerima, dipastikan hanya akan jadi benda rongsokan yang tidak ada harganya. Padahal, hadiah biasanya dibeli dengan harga tidak murah, dan oleh-oleh sudah susah-payah ditenteng dengan tangan dari tempat yang jauh. Saya bisa bilang begini karena berkaca pada hadiah-hadiah yang saya terima tapi tidak saya sukai, tidak berguna, dan tidak membuat saya terkesan.
Lalu sebisa mungkin, saya mulai memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pribadi orang yang akan saya beri hadiah. Mulai dari apa warna favorit, hobi, minat, dan sebagainya. Sudah begitu pun, saya masih sering juga meleset jauh. Misalnya, saya senang sekali ketika mertua saya di Belanda mengenakan scarf batik yang saya bawakan sebagai oleh-oleh dari Bali. Ia mengenakannya pada acara penting di townhall: akad nikah resmi cucunya.
Tetapi, seorang ipar saya sudah tiga kali ‘menolak’ oleh-oleh yang saya bawa. Pertama, patung kayu Buddha yang saya kira akan dihargainya, karena hampir di tiap rumah di Belanda terpajang rupang Buddha. Rupanya saya salah terka. Terakhir, karena dia suka merangkai bunga, saya membawakan vas bunga unik dari kaca-tiup yang dipadu dengan tatakan dari akar kayu dengan tampilan amat natural. Rasanya sih, sudah unik sekali dan pas dengan hobinya. Namun, ini pun ternyata tidak membuatnya terkesan dan berakhir dengan… masuk gudang.
Namun ada juga benda-benda yang masuk kategori ‘berhasil’. Antara lain, adalah CD musik, buku, batik tulis, kain pantai Bali (karena serbaguna), foto satu keluarga lengkap dengan bingkainya, sepasang patung Loro-Blonyo tanda kesetiaan pasangan (buat teman yang merayakan ulang tahun perkawinan), lingerie yang menggiurkan (buat sepupu yang berjiwa romantis), dan aksesori perak desain Bali (buat kawan penyuka perak).
Kadang-kadang, saya memberanikan diri menanyakan langsung apa yang sedang dia idamkan. Tapi itu lebih kena buat yang masih muda-muda. Kalau orang yang sebaya dan sudah senior serta sudah mampu pula membeli apa pun, bertanya begitu jadi tidak relevan. Bagaimana kalau dia menyebutkan sesuatu yang tak terjangkau dompet saya?
Pada suatu waktu, saya benar-benar merasa buntu memikirkan hadiah untuk seorang kawan dekat. Lalu kalimat inilah yang terpikir oleh saya: “Jangan lakukan pada orang lain sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya padamu”, yang lalu saya adaptasi menjadi: “Berikanlah pada orang lain sesuatu yang begitu ingin kau dapatkan dari orang lain!”
Saya pun membalik pertanyaan: kalau saya ingin diberi hadiah, apa yang paling saya inginkan? Berkaca pada kebutuhan saya sendiri, muncullah berderet ide tentang hadiah dan oleh-oleh yang pasti akan saya hargai dan sebaliknya juga akan dihargai orang lain. Dan, ajaib! Ternyata tak semua berkaitan dengan benda-benda, tetapi lebih banyak yang berkaitan dengan waktu dan kesediaan.
Yang pertama adalah tawaran antar-jemput ke dan dari bandara sepulang bepergian. Karena tak punya sopir dan tinggal di desa terpencil yang tidak dilewati kendaraan umum, saya selalu kesulitan memanggil taksi untuk ke bandara. Kalau hanya pergi 3-5 lima hari, biasanya saya meninggalkan mobil di parkiran bandara. Tetapi kalau pergi ke luar negeri sampai dua-tiga bulan? Nah, jasa mengantar jemput ke bandara jadi terasa sebagai hadiah terindah. Memang, saya bisa saja menelepon taksi, ongkosnya pun tak seberapa. Namun, pada waktu kita pergi jauh dan ada sahabat atau kerabat yang bersedia mengantar dan menjemput dengan mobilnya, memberikan peluk dan salam perpisahan, serta mendoakan kita selamat sampai tujuan, rasanya itu jauh lebih bermakna. Jadi, inilah yang bisa saya tawarkan kepada orang-orang tertentu dengan kondisi seperti saya.
Kedua, saya sangat suka dipijat, tetapi jarang sekali yang menawarka hadiah itu. Perempuan mana sih, yang akan menolak tawaran relaksasi dan kenikmatan spa, apalagi spa yang tidak biasa! Bergantung pada kebutuhannya, kita dapat mentraktir, sekadar menemani, atau membelikan voucher pijat, creambath, mani-paedicure.
Ketiga, saya ingin berlangganan beberapa majalah luar negeri, tetapi terhambat transaksi online. Dulu saya menikmati langganan gratis sejumlah majalah seperti Psychology Today, Granta, dan beberapa newsletter, tapi sampai kini belum kesampaian untuk berlangganan. Jadi, bila ada yang mau melanggankan, oooh…, pasti akan sangat saya hargai!
Keempat, sepengamatan saya, para ibu muda dengan anak balita sedang menjalani masa-masa yang sangat melelahkan. Mengasuh anak usia dua-tiga tahun bukan hanya menyita waktu dan energi, tapi juga kesabaran. Akibatnya, banyak ibu muda jadi kewalahan dan tidak sabaran, juga kelelahan. Mereka amat membutuhkan jeda. Jadi tak ada salahnya sesekali menawarkan bantuan kepada mereka untuk mengasuh si kecil selama 2-3 jam, sementara ibunya bisa relaks sejenak ke salon, belanja, melakukan apa pun yang diinginkan dengan tenang, karena si kecil berada di tangan yang aman.
Namun, bagaimanapun, yang saya tulis ini hanyalah pengalaman pribadi, sekadar berbagi ide kepada Anda yang senang memberi hadiah, oleh-oleh, atau sekadar kejutan menyenangkan bagi sahabat dan kerabat. Rahasianya adalah mengerahkan kemampuan untuk memahami dan bersimpati kepada orang tersebut. Bukankah pemberian kita adalah tanda cinta, pemahaman, kepedulian, dan simpati kita kepadanya? Pesan yang ingin saya sampaikan hanyalah: bila suatu ketika Anda kehabisan ide tentang jenis hadiah atau oleh-oleh untuk seseorang, janganlah berhenti pada benda-benda. Banyak, kok, hadiah terindah dan tak terlupakan selain sekadar benda.
Rani Rachmani Moediarta