
Dalam opera yang dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pertengahan Desember 2014 ini, karakter Gandari dipotret sebagai sebuah ide. Kendati kisah Gandari terjadi pada masa silam, ia bisa merepresentasi situasi masa kini. Kisah Gandari mungkin saja sama seperti cerita Anda, seorang wanita yang kehilangan anak-anaknya. Jika Gandari kehilangan anak-anaknya dalam perang terbuka, saat ini mungkin saja perang tersebut berubah bentuk menjadi perang melawan ketidakadilan atau belenggu kebodohan. Sebagai bentuk protes pada para Dewata, pada akhirnya Gandari memilih untuk menutup matanya atas ketidakadilan yang menimpa dirinya. Gerak tubuh para penari memvisualisasi emosi sang Gandari, lima hari sebelum ibu para kurawa itu menutup matanya dengan kain. Kembali ke masa kini, ketika Anda mengalami ketidakadilan seperti Gandari, haruskah kita menutup mata dari dunia?
Dari gambaran itu bisa kita lihat bahwa dengan caranya sendiri Gandari menentukan sikap untuk memprotes ketidakadilan yang ia hadapi. Seperti Gandari, sepertinya setiap orang punya caranya masing-masing untuk menyatakan kekecewaan atas ketidakadilan, kehilangan, maupun keberhasilan yang tertunda dalam hidup. Ketidakadilan, misalnya, terjadi di mana-mana, bahkan dialami juga oleh selebritas atau orang ternama lainnya di muka Bumi ini. Tapi apakah mereka—dan Anda—akan menerima begitu saja ketika ketidakadilan itu menimpa? Sebaiknya tidak. Tetapi merespons dengan tepat bisa menjadi pilihan yang paling bijak agar masalah tidak semakin melebar.
Bagaimanapun peristiwa-peristiwa tidak mengenakan yang terjadi adalah bumbu-bumbu kehidupan, yang tidak hanya memperkaya pengalaman kita, tetapi juga mendewasakan. Yang tidak 'membunuh' kita membuat kita lebih kuat, bukan begitu?
Mardyana Ulva
Foto: Dok. Image Dynamics