
Kalau menengok kembali ke 15 tahun silam, tak pernah terpikir sedikit pun Dewi Mallarangeng akan menekuni bisnis batik. Kala itu ia masih berstatus orang kantoran. Setelah menikah, ketika bermukim di Amerika Serikat, ia sempat bekerja sebagai senior personal banker, sambil merampungkan studi S2-nya di bidang International Business di Franklin University, Columbus, Ohio.
Kembali ke tanah air, ibu dua putra ini bekerja di sebuah perusahaan investasi sebagai Senior Business Analyst. Pekerjaannya kerap membuatnya pulang larut malam, karena ia harus mempertemukan calon investor asing dengan klien yang akan menjadi mitra bisnis mereka. Bahkan sabtu pun terkadang ia harus ke luar kota. Hingga suatu hari Dewi terhentak ketika putra sulungnya berkata,"Mama, mana yang Mama pilih: your laptop or me?" sejak itu, seperti umumnya ibu bekerja, ia mengalami dilema: terus berkarier tapi jauh dari keluarga atau menjadi ibu rumah tangga?
Butuh dua tahun baginya untuk mengambil keputusan. Sampai akhirnya, pada 2003, setelah melahirkan putra keduanya, Dewi harus memperpanjang masa cutinya demi merawat sang putra yang mengalami masalah pada paru-parunya. Pada saat itulah istri politisi Rizal Mallarangeng ini mantap memutuskan untuk berhenti bekerja, meski diakuinya perubahan tersebut tidak langsung berjalan mulus. Rutinitasnya berubah drastis, dari yang harus bekerja dari pagi hingga larut malam, menjadi lebih bersifat domestik. Mengurus anak dan suami, mengelola tetek-bengek urusan rumah tangga. Di tahun-tahun awal, Dewi sempat merasa minder dan 'ditinggalkan' oleh teman-teman kerjanya. Sang suami pun sempat meragukan keputusannya. Pasalnya, selama ini Dewi tak pernah 'menganggur' di rumah.
Untunglah ia lalu berkenalan dengan Dana Iswara (mantan news anchor) yang merupakan istri teman suaminya. Mereka langsung klop. Karena sama-sama bekas orang kantoran, keduanya memiliki misi yang sama: ingin bekerja tapi bisa tetap memerhatikan keluarga. Salah satu yang menguatkan persahabatan mereka adalah batik. "Kami sama-sama hobi koleksi batik dan suka pakai busana batik," ujar wanita asli Yogya ini. Hobi ini betul-betul membuat hidupnya kembali bergairah. Mereka hunting ke daerah-daerah dan belanja kain batik di setiap pameran.
Bagaimana hobi ini berkembang menjadi bisnis?
Waktu itu (sekitar tahun 2006) bisnis batik sedang booming. Tapi pemainnya belum sebanyak sekarang. Kami awalnya senang beli batik dan membuat baju sendiri. Lalu banyak teman yang suka dan minta dijahitkan. Kami juga rajin mengikuti pameran-pameran. Akhirnya, pada 2008 kami membuka butik 2 Nyonya.
Pembagian tugasnya bagaimana?
Saling mengerti saja. Kalau Dana sibuk, saya yang jaga toko. Begitu juga sebaliknya. Kalau kami berdua tidak sibuk, ya, jaga bareng. Untuk memilih kain, mencari model, briefing dengan penjahit, sampai marketing, kami lakukan bersama. Selain itu, ada beberapa staf yang membantu kami untuk urusan operasional.
Kendala yang dihadapi?
Sebenarnya untuk urusan modal, renovasi, sampai perizinan, tidak ada masalah. Tapi karena toko kami berdiri sendiri (bukan di mal), ada hal-hal yang tak terbayangkan. Misalnya, kami harus menghadapi 'preman' setempat yang minta 'jatah' setiap bulan.
Keunikan produk 2 Nyonya?
Koleksi kami lebih bersifat ready to wear. Batik kami beragam, dari Kebumen, Lasem, Cirebon, sampai Madura. Produksi kami terbatas untuk setiap motif kain guna menjaga eksklusivitas. Di setiap busana, kami selalu memadukan batik dengan kain nasional sebagai aksen, seperti tenun, lurik, atau songket. Modelnya juga tidak terlalu 'heboh', karena pelanggan kami umumnya berusia matang dan dari kalangan kantoran. Ada pula beberapa koleksi untuk pria dan anak-anak. Sekarang kami punya koleksi second line, namanya Atyra (gabungan dari nama anak Dewi dan Dana, Marty dan Surya -red).
Kembali ke tanah air, ibu dua putra ini bekerja di sebuah perusahaan investasi sebagai Senior Business Analyst. Pekerjaannya kerap membuatnya pulang larut malam, karena ia harus mempertemukan calon investor asing dengan klien yang akan menjadi mitra bisnis mereka. Bahkan sabtu pun terkadang ia harus ke luar kota. Hingga suatu hari Dewi terhentak ketika putra sulungnya berkata,"Mama, mana yang Mama pilih: your laptop or me?" sejak itu, seperti umumnya ibu bekerja, ia mengalami dilema: terus berkarier tapi jauh dari keluarga atau menjadi ibu rumah tangga?
Butuh dua tahun baginya untuk mengambil keputusan. Sampai akhirnya, pada 2003, setelah melahirkan putra keduanya, Dewi harus memperpanjang masa cutinya demi merawat sang putra yang mengalami masalah pada paru-parunya. Pada saat itulah istri politisi Rizal Mallarangeng ini mantap memutuskan untuk berhenti bekerja, meski diakuinya perubahan tersebut tidak langsung berjalan mulus. Rutinitasnya berubah drastis, dari yang harus bekerja dari pagi hingga larut malam, menjadi lebih bersifat domestik. Mengurus anak dan suami, mengelola tetek-bengek urusan rumah tangga. Di tahun-tahun awal, Dewi sempat merasa minder dan 'ditinggalkan' oleh teman-teman kerjanya. Sang suami pun sempat meragukan keputusannya. Pasalnya, selama ini Dewi tak pernah 'menganggur' di rumah.
Untunglah ia lalu berkenalan dengan Dana Iswara (mantan news anchor) yang merupakan istri teman suaminya. Mereka langsung klop. Karena sama-sama bekas orang kantoran, keduanya memiliki misi yang sama: ingin bekerja tapi bisa tetap memerhatikan keluarga. Salah satu yang menguatkan persahabatan mereka adalah batik. "Kami sama-sama hobi koleksi batik dan suka pakai busana batik," ujar wanita asli Yogya ini. Hobi ini betul-betul membuat hidupnya kembali bergairah. Mereka hunting ke daerah-daerah dan belanja kain batik di setiap pameran.
Bagaimana hobi ini berkembang menjadi bisnis?
Waktu itu (sekitar tahun 2006) bisnis batik sedang booming. Tapi pemainnya belum sebanyak sekarang. Kami awalnya senang beli batik dan membuat baju sendiri. Lalu banyak teman yang suka dan minta dijahitkan. Kami juga rajin mengikuti pameran-pameran. Akhirnya, pada 2008 kami membuka butik 2 Nyonya.
Pembagian tugasnya bagaimana?
Saling mengerti saja. Kalau Dana sibuk, saya yang jaga toko. Begitu juga sebaliknya. Kalau kami berdua tidak sibuk, ya, jaga bareng. Untuk memilih kain, mencari model, briefing dengan penjahit, sampai marketing, kami lakukan bersama. Selain itu, ada beberapa staf yang membantu kami untuk urusan operasional.
Kendala yang dihadapi?
Sebenarnya untuk urusan modal, renovasi, sampai perizinan, tidak ada masalah. Tapi karena toko kami berdiri sendiri (bukan di mal), ada hal-hal yang tak terbayangkan. Misalnya, kami harus menghadapi 'preman' setempat yang minta 'jatah' setiap bulan.
Keunikan produk 2 Nyonya?
Koleksi kami lebih bersifat ready to wear. Batik kami beragam, dari Kebumen, Lasem, Cirebon, sampai Madura. Produksi kami terbatas untuk setiap motif kain guna menjaga eksklusivitas. Di setiap busana, kami selalu memadukan batik dengan kain nasional sebagai aksen, seperti tenun, lurik, atau songket. Modelnya juga tidak terlalu 'heboh', karena pelanggan kami umumnya berusia matang dan dari kalangan kantoran. Ada pula beberapa koleksi untuk pria dan anak-anak. Sekarang kami punya koleksi second line, namanya Atyra (gabungan dari nama anak Dewi dan Dana, Marty dan Surya -red).
Shinta Kusuma