
Hal pertama yang terlintas di benak saya pada saat tour guide kami menjelaskan tentang
prosesi pernikahan di Desa Sasak Sade adalah “he’s got to be kidding me”. Namun, walau terdengar tidak lazim, tradisi ini tetap bertahan selama bertahun-tahun.
Selain berkesempatan 'mengintip' kehidupan kampung yang masih lestari dan nyaris tak tersentuh modernisasi, para wisatawan juga dapat berbelanja aneka tenun, aksesori, serta disuguhi berbagai tarian tradisional suku Sasak. Peresean, gendang beleq, dan petuk adalah jenis-jenis tarian yang paling sering ditampilkan.
Bagi saya pribadi, memasuki desa ini serasa memasuki portal dunia lain, sebuah desa yang tak tersentuh oleh pengaruh luar dan era globalisasi. Anda dapat melihat, menyentuh, dan menikmati budaya aslinya. Seolah-olah waktu tak berhenti di sini dan membiarkan Desa Sade terus menjadi saksi sejarah dari perjalanan hidup suku Sasak. Sayangnya saya disentakkan untuk kembali ke era modern saat seorang anak perempuan Desa Sade menyanyikan lagu Justin Bieber sembari berjualan gelang, “And I was like baby, baby, baby, oh...” Waduh, desa di pelosok Lombok ini ternyata tidak kebal terhadap Bieber fever.
Nisa Riphat