
Walaupun kini jarak fisik sudah bisa diatasi dengan teknologi (telepon, SMS, BBM, skype, dan sebagainya), tetap saja ada sesuatu yang 'hilang' dalam sebuah relasi keluarga bila para anggotanya kerap saling berjauhan secara fisik, apalagi dalam waktu lama. Inginnya sih, sering-sering pulang kampung menengok orang tua untuk melepas rindu, tapi apa daya waktu tak memungkinkan atau biaya tak cukup.
Di sinilah persahabatan menjadi penting. Di saat seseorang merasa 'sendirian' di suatu tempat, jauh dari sanak keluarga, dia akan mencari pengganti kehangatan keluarga dari lingkungan sekitarnya. Bisa dari teman sekantor, tetangga, sesama ibu-ibu yang biasa mengantar jemput anak sekolah, atau dari lingkungan komunitas lain yang dilibatinya.
Bahkan sebuah survei tentang relationship di Australia yang dimuat di situs www.bodyandsoul.com.au, mengungkap bahwa 88% orang Australia memilih persahabatan sebagai relasi paling penting dalam hidup mereka. Begitu pentingnya arti persahabatan bagi masyarakat (urban) masa kini, sehingga belakangan ini muncul istilah baru, yaitu 'framily' -dari kata friend (sahabat) dan family (keluarga).
Istilah ini dalam urban dictionary merujuk pada hubungan persahabatan yang begitu akrab, sehingga sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Bahkan terkadang jauh lebih kental dan langgeng ketimbang hubungan dengan saudara sekandung. Misalnya kisah berikut ini:
Ratna (47), konsultan PR
"Saya banyak membaca status teman-teman di media sosial yang menuliskan, bahwa sahabat bagaikan kepompong. Maksudnya, kadang 'kepo' (suka ingin tahu) dan 'rempong' (bikin repot). Karena saya sendiri suka kepo juga, sih. Kenapa lo? Kok, bete?, dan sebagainya kalau lama tidak bertemu kedua sahabat saya, Tata dan Oyi. Bedanya, kami tidak 'rempong' karena tidak pernah saling memaksakan untuk bercerita, kalau memang yang bersangkutan belum mau cerita.
Kami bertiga bersahabat sejak di bangku TK. Semasa kecil kami memang tinggal di kompleks yang sama. Meskipun punya beberapa sahabat lain, saya merasa lebih dekat mereka. Bahkan lebih dari saudara sendiri. Terutama dengan Tata. Kami bertumbuh bersama, jadi masalah yang dihadapi pun tak jauh berbeda. Mulai dari urusan kantor, sekolah anak-anak, sampai hubungan dengan pasangan. Enaknya, karena sudah saling kenal luar dalam, saya tidak perlu lagi bercerita panjang lebar. Kalau curhat ke saudara, saya harus pintar-pintar menyortir cerita supaya masalahnya tidak berkembang atau tidak ada yang merasa tersinggung. Meski saat ini rumah kami berjauhan, tetapi di saat salah satu di antara kami terkena musibah, kami siap mengulurkan tangan atau menjadi 'pundak' tempat teman kami menangis.
Inilah yang membuat persahabatan kami bertahan hingga lebih dari 40 tahun. Saya sangat bersyukur, walaupun kami jarang bertemu, mereka selalu dekat di hati."
Di sinilah persahabatan menjadi penting. Di saat seseorang merasa 'sendirian' di suatu tempat, jauh dari sanak keluarga, dia akan mencari pengganti kehangatan keluarga dari lingkungan sekitarnya. Bisa dari teman sekantor, tetangga, sesama ibu-ibu yang biasa mengantar jemput anak sekolah, atau dari lingkungan komunitas lain yang dilibatinya.
Bahkan sebuah survei tentang relationship di Australia yang dimuat di situs www.bodyandsoul.com.au, mengungkap bahwa 88% orang Australia memilih persahabatan sebagai relasi paling penting dalam hidup mereka. Begitu pentingnya arti persahabatan bagi masyarakat (urban) masa kini, sehingga belakangan ini muncul istilah baru, yaitu 'framily' -dari kata friend (sahabat) dan family (keluarga).
Istilah ini dalam urban dictionary merujuk pada hubungan persahabatan yang begitu akrab, sehingga sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Bahkan terkadang jauh lebih kental dan langgeng ketimbang hubungan dengan saudara sekandung. Misalnya kisah berikut ini:
Ratna (47), konsultan PR
"Saya banyak membaca status teman-teman di media sosial yang menuliskan, bahwa sahabat bagaikan kepompong. Maksudnya, kadang 'kepo' (suka ingin tahu) dan 'rempong' (bikin repot). Karena saya sendiri suka kepo juga, sih. Kenapa lo? Kok, bete?, dan sebagainya kalau lama tidak bertemu kedua sahabat saya, Tata dan Oyi. Bedanya, kami tidak 'rempong' karena tidak pernah saling memaksakan untuk bercerita, kalau memang yang bersangkutan belum mau cerita.
Kami bertiga bersahabat sejak di bangku TK. Semasa kecil kami memang tinggal di kompleks yang sama. Meskipun punya beberapa sahabat lain, saya merasa lebih dekat mereka. Bahkan lebih dari saudara sendiri. Terutama dengan Tata. Kami bertumbuh bersama, jadi masalah yang dihadapi pun tak jauh berbeda. Mulai dari urusan kantor, sekolah anak-anak, sampai hubungan dengan pasangan. Enaknya, karena sudah saling kenal luar dalam, saya tidak perlu lagi bercerita panjang lebar. Kalau curhat ke saudara, saya harus pintar-pintar menyortir cerita supaya masalahnya tidak berkembang atau tidak ada yang merasa tersinggung. Meski saat ini rumah kami berjauhan, tetapi di saat salah satu di antara kami terkena musibah, kami siap mengulurkan tangan atau menjadi 'pundak' tempat teman kami menangis.
Inilah yang membuat persahabatan kami bertahan hingga lebih dari 40 tahun. Saya sangat bersyukur, walaupun kami jarang bertemu, mereka selalu dekat di hati."
SK dan TS