
Konsep keluarga sangat terkait dengan budaya. Di Indonesia, definisi keluarga tak sekadar “suatu kelompok sosial terkecil yang terdiri dari ayah dan ibu (atau hanya salah satu) dengan satu atau beberapa anak”, seperti umumnya keluarga di Barat. Seperti sering dikatakan oleh Umar Kayam, budayawan dan guru besar Sosiologi lewat kolom-kolomnya –yang kemudian dibukukan dengan judul "Mangan Ora Mangan Ngumpul" dan beberapa sekuelnya— yang disebut keluarga bagi orang Indonesia bisa sangat luas. Tak hanya ada ayah, ibu, dan anak-anak, tapi juga ada nenek, kakek, menantu, keponakan, cucu, kerabat jauh yang ngenger (menumpang hidup), bahkan juga pembantu rumah tangga beserta istri dan anak-anaknya yang telah lama bekerja di keluarga itu –semua dianggap sebagai keluarga.
Di zaman modern seperti sekarang, sepertinya definisi keluarga harus berubah lagi. Misalnya, kini mulai banyak suami istri yang dengan sengaja tidak mau punya anak. Atau seorang wanita single yang memutuskan punya anak tanpa menikah dan mengurus sendiri anak-anaknya. Atau sepasang lesbian atau sepasang gay yang memutuskan untuk menikah dan membentuk keluarga sendiri dengan mengadopsi anak-anak. Meski kadang-kadang para anggotanya tak punya hubungan darah satu sama lain, toh, mereka semua juga berhak disebut sebagai keluarga.
Menurut Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma, relasi yang sangat intens antar anggota keluarga di saat semua masih berkumpul di satu rumah merupakan salah satu faktor yang membuat sebuah keluarga memiliki bonding yang kuat satu sama lain, yang bisa bertahan sampai tua. Mengalami susah dan senang, tertawa dan menangis bersama-sama akan menimbulkan rasa sayang, rasa kompak, dan dorongan untuk saling melindungi –termasuk melindungi rahasia atau aib keluarga— meskipun tak jarang relasi itu diramaikan oleh pertengkaran bahkan perkelahian domestik.
Selain itu, tidak dapat disangkal bahwa ikatan darah merupakan salah satu faktor pengikat yang kuat dalam sebuah keluarga, yang tidak bisa diputus oleh apa pun dan sampai kapan pun. Tidak ada istilah ‘bekas ibu’, ‘bekas ayah’, atau ‘bekas adik/kakak’. Sampai-sampai muncul istilah ‘darah lebih kental daripada air' untuk menunjukkan bahwa ikatan darah lebih kuat ketimbang bentuk ikatan persaudaraan lainnya.
Ira menambahkan, ikatan darah memang ‘secara misterius’ menciptakan suatu unconditional love pada setiap anggota keluarga. “Cinta tanpa syarat itulah yang menciptakan ikatan batin yang kuat, yang membuat kita bisa menerima dan tetap mencintai anak, orang tua, atau kakak-adik kandung kita apa adanya, walaupun mungkin kelakuan mereka sering membuat kita pusing tujuh keliling, atau meskipun kita sering ‘berantem’ dengan mereka,” papar Ira. Mengutip sebuah lelucon yang pernah beredar di media sosial, “Families are like fudge. Mostly sweet with a few nuts.”
Unconditional love ini, kata Ira, memang bisa juga muncul dalam relasi persahabatan, tapi biasanya diperlukan ‘chemistry’ yang kuat dan waktu yang cukup lama untuk menumbuhkannya. Tetapi juga bisa hilang begitu saja kalau ternyata salah satu mengkhianati yang lainnya. “Tapi kalau antarsaudara kandung, kita sudah saling tahu bagus dan jeleknya masing-masing, tapi toh, kita tetap mencintai mereka. Itulah yang menciptakan kehangatan yang selalu kita rindukan, yang membuat kita rela berdesak-desakan dan bermacet-macet di jalan untuk pulang kampung saat hari raya.”
Namun fungsi keluarga tak hanya itu. Yang jauh lebih penting, keluarga adalah pondasi tempat penanaman nilai-nilai yang membentuk karakter dan kebiasaan/perilaku seorang manusia di masa dewasanya –positif maupun negatif. Terbentuknya karakter jujur atau suka menilap, antikekerasan atau suka kekerasan, bicara sopan atau bicara kasar, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya atau suka buang sampah sembarangan, adalah hasil bentukan keluarga sejak kita kecil hingga meninggalkan rumah. Tak heran bila baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melancarkan program kampanye pencegahan korupsi yang dimulai dari keluarga.
Di zaman modern seperti sekarang, sepertinya definisi keluarga harus berubah lagi. Misalnya, kini mulai banyak suami istri yang dengan sengaja tidak mau punya anak. Atau seorang wanita single yang memutuskan punya anak tanpa menikah dan mengurus sendiri anak-anaknya. Atau sepasang lesbian atau sepasang gay yang memutuskan untuk menikah dan membentuk keluarga sendiri dengan mengadopsi anak-anak. Meski kadang-kadang para anggotanya tak punya hubungan darah satu sama lain, toh, mereka semua juga berhak disebut sebagai keluarga.
Menurut Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma, relasi yang sangat intens antar anggota keluarga di saat semua masih berkumpul di satu rumah merupakan salah satu faktor yang membuat sebuah keluarga memiliki bonding yang kuat satu sama lain, yang bisa bertahan sampai tua. Mengalami susah dan senang, tertawa dan menangis bersama-sama akan menimbulkan rasa sayang, rasa kompak, dan dorongan untuk saling melindungi –termasuk melindungi rahasia atau aib keluarga— meskipun tak jarang relasi itu diramaikan oleh pertengkaran bahkan perkelahian domestik.
Selain itu, tidak dapat disangkal bahwa ikatan darah merupakan salah satu faktor pengikat yang kuat dalam sebuah keluarga, yang tidak bisa diputus oleh apa pun dan sampai kapan pun. Tidak ada istilah ‘bekas ibu’, ‘bekas ayah’, atau ‘bekas adik/kakak’. Sampai-sampai muncul istilah ‘darah lebih kental daripada air' untuk menunjukkan bahwa ikatan darah lebih kuat ketimbang bentuk ikatan persaudaraan lainnya.
Ira menambahkan, ikatan darah memang ‘secara misterius’ menciptakan suatu unconditional love pada setiap anggota keluarga. “Cinta tanpa syarat itulah yang menciptakan ikatan batin yang kuat, yang membuat kita bisa menerima dan tetap mencintai anak, orang tua, atau kakak-adik kandung kita apa adanya, walaupun mungkin kelakuan mereka sering membuat kita pusing tujuh keliling, atau meskipun kita sering ‘berantem’ dengan mereka,” papar Ira. Mengutip sebuah lelucon yang pernah beredar di media sosial, “Families are like fudge. Mostly sweet with a few nuts.”
Unconditional love ini, kata Ira, memang bisa juga muncul dalam relasi persahabatan, tapi biasanya diperlukan ‘chemistry’ yang kuat dan waktu yang cukup lama untuk menumbuhkannya. Tetapi juga bisa hilang begitu saja kalau ternyata salah satu mengkhianati yang lainnya. “Tapi kalau antarsaudara kandung, kita sudah saling tahu bagus dan jeleknya masing-masing, tapi toh, kita tetap mencintai mereka. Itulah yang menciptakan kehangatan yang selalu kita rindukan, yang membuat kita rela berdesak-desakan dan bermacet-macet di jalan untuk pulang kampung saat hari raya.”
Namun fungsi keluarga tak hanya itu. Yang jauh lebih penting, keluarga adalah pondasi tempat penanaman nilai-nilai yang membentuk karakter dan kebiasaan/perilaku seorang manusia di masa dewasanya –positif maupun negatif. Terbentuknya karakter jujur atau suka menilap, antikekerasan atau suka kekerasan, bicara sopan atau bicara kasar, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya atau suka buang sampah sembarangan, adalah hasil bentukan keluarga sejak kita kecil hingga meninggalkan rumah. Tak heran bila baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melancarkan program kampanye pencegahan korupsi yang dimulai dari keluarga.
Tina Savitri