
Setelah menempuh jarak sekitar satu jam, kaki kami telah menjejak area masjid yang juga dinobatkan sebagai salah satu cagar budaya ini. Berbeda dengan kedua masjid sebelumnya, masjid ini memiliki menara setinggi 17 meter. Sementara atap masjid ini tidak berbentuk kubah, melainkan berbentuk nyaris kerucut seperti halnya atap rumah Jawa.
Menurut kisahnya, masjid ini didirikan di atas tanah milik pelukis Raden Saleh pada tahun 1860. Semula masjid ini hanya berupa musala yang seluruh tiangnya terbuat dari bambu. Ketika Raden Saleh wafat tahun 1880, tanah tersebut dikuasai pria berkebangsaan Arab, Sayed Abdullah bin Alwi al-Athas. Lantas tahun 1923, bangunan itu dijual kepada Koningen Emma Stiching (Yayasan Ratu Emma), yang bernaung di bawah Kolonial Belanda.
Ketika masjid itu akan digusur untuk dibangun gereja. masyarakat yang dipelopori beberapa tokoh nasional seperti H0S Tjokroaminoto, K.H Mas Mansyur dan K.H. Agus Salim, menolak rencana tersebut. Karena tidak ada titik temu, pihak Belanda sebagai penguasa tetap membangun gereja di area tersebut sehingga masyarakat Cikini terpaksa memindahkan masjid beberapa meter mendekati pinggir sungai Ciliwung. Dengan bergotong royong, mereka memugar masjid hingga akhirnya berdiri tahun 1932. Namun melihat kondisi jemaah yang sering tidak tertampung untuk salat Jumat, pada tahun 1995 dilakukan penambahan bangunan di bagian depan, tanpa mengubah bentuk aslinya.
Menurut kisahnya, masjid ini didirikan di atas tanah milik pelukis Raden Saleh pada tahun 1860. Semula masjid ini hanya berupa musala yang seluruh tiangnya terbuat dari bambu. Ketika Raden Saleh wafat tahun 1880, tanah tersebut dikuasai pria berkebangsaan Arab, Sayed Abdullah bin Alwi al-Athas. Lantas tahun 1923, bangunan itu dijual kepada Koningen Emma Stiching (Yayasan Ratu Emma), yang bernaung di bawah Kolonial Belanda.
Ketika masjid itu akan digusur untuk dibangun gereja. masyarakat yang dipelopori beberapa tokoh nasional seperti H0S Tjokroaminoto, K.H Mas Mansyur dan K.H. Agus Salim, menolak rencana tersebut. Karena tidak ada titik temu, pihak Belanda sebagai penguasa tetap membangun gereja di area tersebut sehingga masyarakat Cikini terpaksa memindahkan masjid beberapa meter mendekati pinggir sungai Ciliwung. Dengan bergotong royong, mereka memugar masjid hingga akhirnya berdiri tahun 1932. Namun melihat kondisi jemaah yang sering tidak tertampung untuk salat Jumat, pada tahun 1995 dilakukan penambahan bangunan di bagian depan, tanpa mengubah bentuk aslinya.

Azan Asar pun berkumandang. Setelah mengambil air wudu yang terletak di belakang masjid, kami memasuki bagian dalam masjid melalui pintu kayu berbentuk setengah lingkaran. Jajaran pintu kayu dibuka lebar sehingga angin berhembus masuk ke dalam masjid. Empat pilar yang menjadi ciri arsitektur kolonial berdiri kokoh di tengah. Sementara di bagian atas terdapat bangunan dilengkapi tangga dari kayu yang mengingatkan ornamen khas Betawi. Area tersebut biasa digunakan untuk salat Jumat ketika jemaah tak tertampung lagi di bagian lantai bawah.

Dengan langit-langit yang tinggi serta sejumlah pintu yang terbuka lebar, masjid ini terasa sejuk meskipun tanpa menyalakan kipas angin. Angin yang bertiup lembut memang begitu membuai. Membuat beberapa jemaah menikmati kesejukan ini sambil duduk atau rebahan selepas salat.