
Dari Huta Siallagan, saya menggelinding lagi menuju kampung tua lain, yaitu Huta Bolon, di Desa Simanindo. Di kampung yang kini dijadikan Museum Budaya Batak ini juga secara reguler digelar tari tradisional Batak, Sigale-gale, bagi wisatawan. Huta Bolon merupakan kompleks perumahan tradisional Batak warisan Raja Sidauruk, dan pada tahun 1969 dijadikan museum terbuka.
Sudah lama saya penasaran ingin melihat pagelaran tarian Sigale-gale yang asli. Tarian kematian ini menghadirkan sebuah boneka dari kayu. Konon tarian ini diciptakan sebagai penawar rindu seorang raja terhadap putranya yang wafat. Begitu rindunya sang raja, sampai-sampai ia minta dibuatkan boneka dari kayu yang bukan hanya menyerupai sang anak, tapi juga bisa bergerak-gerak. Agar bisa bergerak-gerak, maka dimasukkanlah arwah atau roh. Sangat mistis dan menggetarkan. Kabarnya tarian roh ini sesekali masih suka digelar di kampung-kampung pedalaman. Sayangnya, tarian Sigale-gale yang digelar di Huta Bolon, setidaknya yang saya saksikan, hanya sekadar hiburan buat wisatawan, jadi tidak pakai mistik. Padahal, justru kehadiran roh itulah yang saya tunggu-tunggu ...
Dari Huta Bolon, saya beringsut ke Desa Lumban Suhi-suhi, Kecamatan Sitio-tio. Di desa ini wisatawan bisa menyaksikan proses penenunan kain ulos yang terbilang rumit. Maklum, ulos -khususnya untuk keperluan berbagai upacara Suku Batak- bukanlah sembarang tenunan. Ini adalah tenunan sakral yang membutuhkan mantra-mantra tertentu sebelum menjalin benang-benangnya, serta dibutuhkan waktu, kesabaran, dan ketelitian yang tinggi.
Tidak heran kalau harga ulos yang ditawarkan di sini tergolong mahal untuk ukuran kantong turis biasa, karena sehelainya bisa mencapai jutaan rupiah. Apalagi bila ingin mendapatkan ulos-ulos 'beraji-mantera'. Yang menarik, wisatawan tidak hanya bisa membeli, melainkan juga belajar cara menenun ulos. Menurut pemandu saya, saat ini jumlah perajin kain ulos tradisional semakin langka. Tetapi untunglah di Desa Lumban Suhi-suhi ini masih terdapat cukup banyak perajin ulos tradisional -tua dan muda. Mereka biasa menenun ulos di halaman atau beranda rumah masing-masing.
Sudah lama saya penasaran ingin melihat pagelaran tarian Sigale-gale yang asli. Tarian kematian ini menghadirkan sebuah boneka dari kayu. Konon tarian ini diciptakan sebagai penawar rindu seorang raja terhadap putranya yang wafat. Begitu rindunya sang raja, sampai-sampai ia minta dibuatkan boneka dari kayu yang bukan hanya menyerupai sang anak, tapi juga bisa bergerak-gerak. Agar bisa bergerak-gerak, maka dimasukkanlah arwah atau roh. Sangat mistis dan menggetarkan. Kabarnya tarian roh ini sesekali masih suka digelar di kampung-kampung pedalaman. Sayangnya, tarian Sigale-gale yang digelar di Huta Bolon, setidaknya yang saya saksikan, hanya sekadar hiburan buat wisatawan, jadi tidak pakai mistik. Padahal, justru kehadiran roh itulah yang saya tunggu-tunggu ...
Dari Huta Bolon, saya beringsut ke Desa Lumban Suhi-suhi, Kecamatan Sitio-tio. Di desa ini wisatawan bisa menyaksikan proses penenunan kain ulos yang terbilang rumit. Maklum, ulos -khususnya untuk keperluan berbagai upacara Suku Batak- bukanlah sembarang tenunan. Ini adalah tenunan sakral yang membutuhkan mantra-mantra tertentu sebelum menjalin benang-benangnya, serta dibutuhkan waktu, kesabaran, dan ketelitian yang tinggi.
Tidak heran kalau harga ulos yang ditawarkan di sini tergolong mahal untuk ukuran kantong turis biasa, karena sehelainya bisa mencapai jutaan rupiah. Apalagi bila ingin mendapatkan ulos-ulos 'beraji-mantera'. Yang menarik, wisatawan tidak hanya bisa membeli, melainkan juga belajar cara menenun ulos. Menurut pemandu saya, saat ini jumlah perajin kain ulos tradisional semakin langka. Tetapi untunglah di Desa Lumban Suhi-suhi ini masih terdapat cukup banyak perajin ulos tradisional -tua dan muda. Mereka biasa menenun ulos di halaman atau beranda rumah masing-masing.
Teks & foto: Tina Savitri