
Salah satu indikasi passion menurut Rene Suhandono, career coach, adalah "What you enjoy the most" atau segala aktivitas yang membuat kita merasa enjoy, berdaya, dan bahagia. Jadi, ketika pekerjaan kita (sekalipun bukan passion) sudah terlalu menguras energi, membuat tubuh menderita, menimbulkan stres berkepanjangan, bahkan merusak kebahagiaan diri kita maupun orang-orang di sekitar kita, artinya itu bukan lagi passion yang sehat.
Menurut Dr. Rovert J. Vallerand, profesor psikologi sosial dari Universitas Quebec, Kanada, dan penulis buku The Psychology of Passion, passion memiliki dua wajah. Ia bisa memberikan efek yang positif dan membahagiakan, asalkan jika dijalankan secara selaras (Vallerand menyebutnya 'harmonius passion'). Sebaliknya, ia bisa juga berdampak buruk dan merusak jika dilakukan membabi-buta ('obsessive passion').
Mereka yang memiliki 'harmonious passion' biasanya mampu mengendlaikan pekerjaan mereka. Mereka tahu kapan harus berhenti bekerja dan menjalankan aspek kehidupan lain (misalnya kehidupan keluarga, percintaan, pertemanan) dengan seimbang dan selaras. Ketika mereka dapat menyelaraskan antara passion dan kehidupan yang lain, maka mereka akan menemukan kepuasan terhadap hasil kerjanya, memiliki harga diri yang positif -dan pastinya, bahagia.
Sebaliknya, orang yang memiliki 'obsessive passion' cenderung disetir oleh pekerjaannya, bahkan bisa berkembang menjadi seorang workaholic. Saking getolnya bekerja, mereka justru mengalami konflik dengan diri sendiri dan kehidupan di luar pekerjaan, misalnya dengan orang tua, pasangan, atau anak mereka. Lama-kelamaan mereka juga akan mengalami kelelahan yang amat sangat, stres, dan akhirnya sakit-sakitan. Untuk bekerja saja mereka nyaris tak sanggup lagi, boro-boro menikmati passion.
Sekalipun passion memberikan dorongan yang kuat kepada kita untuk berkarya, tetapi tetap saja perlu dikendalikan dan dijalankan dengan seimbang. Bukankah kita punya prioritas hidup lain yang juga tak boleh diabaikan dan sama-sama berharga?
Shinta Kusuma
Menurut Dr. Rovert J. Vallerand, profesor psikologi sosial dari Universitas Quebec, Kanada, dan penulis buku The Psychology of Passion, passion memiliki dua wajah. Ia bisa memberikan efek yang positif dan membahagiakan, asalkan jika dijalankan secara selaras (Vallerand menyebutnya 'harmonius passion'). Sebaliknya, ia bisa juga berdampak buruk dan merusak jika dilakukan membabi-buta ('obsessive passion').
Mereka yang memiliki 'harmonious passion' biasanya mampu mengendlaikan pekerjaan mereka. Mereka tahu kapan harus berhenti bekerja dan menjalankan aspek kehidupan lain (misalnya kehidupan keluarga, percintaan, pertemanan) dengan seimbang dan selaras. Ketika mereka dapat menyelaraskan antara passion dan kehidupan yang lain, maka mereka akan menemukan kepuasan terhadap hasil kerjanya, memiliki harga diri yang positif -dan pastinya, bahagia.
Sebaliknya, orang yang memiliki 'obsessive passion' cenderung disetir oleh pekerjaannya, bahkan bisa berkembang menjadi seorang workaholic. Saking getolnya bekerja, mereka justru mengalami konflik dengan diri sendiri dan kehidupan di luar pekerjaan, misalnya dengan orang tua, pasangan, atau anak mereka. Lama-kelamaan mereka juga akan mengalami kelelahan yang amat sangat, stres, dan akhirnya sakit-sakitan. Untuk bekerja saja mereka nyaris tak sanggup lagi, boro-boro menikmati passion.
Sekalipun passion memberikan dorongan yang kuat kepada kita untuk berkarya, tetapi tetap saja perlu dikendalikan dan dijalankan dengan seimbang. Bukankah kita punya prioritas hidup lain yang juga tak boleh diabaikan dan sama-sama berharga?
Shinta Kusuma