
Dari pengalaman saya, ada banyak hal yang dapat memutus hubungan persahabatan: utamanya jarak. Namun, jarak pun kini sudah dijembatani oleh berbagai sarana teknologi informasi: mulai telepon hingga internet. Namun, hubungan antarsahabat, seperti juga antarmanusia, jauh lebih kompleks, kuat tapi sekaligus rapuh. Keliru memilih kata saja saat sikon tidak pas, hubungan bisa langsung retak.
Saya yang senang bicara blak-blakan kadang suka lupa itu. Yang membuat saya ingin melabrak diri sendiri, saya sering tidak dapat mengontrol spontanitas kata-kata saya. Biasanya, bila saya sudah ‘menyentil’ perasaan seorang sahabat, saya akan duduk dan menyalurkan rasa bersalah saya dengan mengelus kucing-kucing saya. Menyesal. Soalnya, ibarat mencabut paku di papan kayu, kayunya sudah kadung berlubang.
Iseng-iseng saya membuat daftar nama-nama sahabat yang berguguran dari phone dan e-mail list saya dalam kurun waktu 10 tahun. Hati saya berdebar ketika melihat ada sebuah pola yang mencuat: mereka yang tak lagi mengontak saya dan tak lagi saya kontak ternyata memiliki ciri yang sama: mereka ‘memecat’ saya sebagai sahabat setelah mendengar kejujuran saya dalam melihat masalah mereka! Dan sebaliknya, bila saya yang ‘memecat’ mereka, itu karena kejujuran mereka membuat saya tersinggung. Ya, kejujuran!
“Ya, Tuhan, statistik itu sungguh kenyataan yang menyulitkan,” kata saya kepada seorang kawan baru, sebut saja namanya Honesty.
“Jadi, apakah demi mempertahankan persahabatan, kita harus selalu menutup mulut menyangkut kenyataan tentang sahabat kita?” lontar Honesty.
“Ya, kenyataan, sih, kenyataan. Keriput dan uban yang mulai bermunculan di wajah dan rambut sahabat kita adalah suatu kenyataan, tetapi kita tidak perlu mengomentarinya, kan?” timpal saya.
“Iya, kalau hanya keriput dan uban. Tapi kalau kita tahu suaminya mengkhinatinya?” Honesty menyodorkan contoh. “Atau kalau dia melakukan tindakan kriminal? Tetap kita biarkan saja ...?”
Benar juga. Saya sudah pernah mengalami keduanya. Saya pernah menyampaikan kenyataan sebenarnya kepada seorang sahabat. Hasilnya? Saya dia musuhi. Karena tak mau dibilang usil, saya juga pernah membiarkan seorang sahabat terperosok dalam sebuah masalah besar. Hasilnya, saya seolah hanya menontonnya terjatuh, lalu dirundung rasa bersalah dan menyesal karena tidak memberitahu dia kenyataan sebenarnya dari awal...
Menyampaikan kenyataan pahit kepada sahabat pasti ada dilemanya, terutama bila kawan kita sedang ditimpa masalah. Saat ditimpa masalah, kita membutuhkan kearifan orang lain untuk membantu kita melihat masalah dengan lebih jernih. Namun, yang kita butuhkan dari sahabat adalah elusan, bukan ‘pentungan’ lewat nasehat-nasehat yang tidak kita inginkan.
Maka dilema itu saya sikapi secara trial and error, dengan akibat beberapa kali saya nyaris ‘dipecat’ sebagai sahabat. Sampai akhirnya, saya menemukan suatu strategi jitu, yang saya sebut cara berendah hati. Langkah itu saya temukan setelah menyadari bahwa hidup manusia tak lepas dari masalah. Perasaan kita kadang senang, kadang susah. Nah, bila perasaan sahabat kita sedang susah, adalah tugas kita untuk menariknya agar perasaannya seimbang lagi dan bisa berpikir jernih kembali.
Tetapi, ada yang saya catat baik-baik: sama sekali bukan tugas kita untuk menyelesaikan masalah sahabat. Soalnya, solusi yang mungkin ampuh buat kita, belum tentu ampuh juga buat sabahat kita. Biarkan dia menemukan kearifan sendiri dalam proses menyelesaikan masalahnya. Tugas kita hanyalah jadi penyangga perasaannya sampai pikirannya jernih kembali, menemaninya dalam perasaan, bukan ikut 'menari' di dalamnya, yang mungkin malah akan makin mengeruhkan suasana, bahkan bisa berakhir
dengan putusnya persahabatan.
Satu hal mesti kita sadari: yang merekat hubungan persahabatan bukanlah kabel komputer atau telepon, bukan pula segala sesuatu yang sifatnya material. Melainkan apa yang ada di dalam diri kita, yaitu hati kita. Dan kalau sudah menyangkut hati, mengutip ucapan seorang teman, ‘hubungan itu harus mutual'—bersifat timbal-balik. Bila tidak lagi timbal-balik, jangan biarkan diri kita merana akibat bertepuk sebelah tangan. Masih banyak sahabat yang bisa kita jadikan kawan seperjalanan dalam pasang dan surut kehidupan, yang kita bantu untuk tumbuh dan membantu kita tumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
Saya yang senang bicara blak-blakan kadang suka lupa itu. Yang membuat saya ingin melabrak diri sendiri, saya sering tidak dapat mengontrol spontanitas kata-kata saya. Biasanya, bila saya sudah ‘menyentil’ perasaan seorang sahabat, saya akan duduk dan menyalurkan rasa bersalah saya dengan mengelus kucing-kucing saya. Menyesal. Soalnya, ibarat mencabut paku di papan kayu, kayunya sudah kadung berlubang.
Iseng-iseng saya membuat daftar nama-nama sahabat yang berguguran dari phone dan e-mail list saya dalam kurun waktu 10 tahun. Hati saya berdebar ketika melihat ada sebuah pola yang mencuat: mereka yang tak lagi mengontak saya dan tak lagi saya kontak ternyata memiliki ciri yang sama: mereka ‘memecat’ saya sebagai sahabat setelah mendengar kejujuran saya dalam melihat masalah mereka! Dan sebaliknya, bila saya yang ‘memecat’ mereka, itu karena kejujuran mereka membuat saya tersinggung. Ya, kejujuran!
“Ya, Tuhan, statistik itu sungguh kenyataan yang menyulitkan,” kata saya kepada seorang kawan baru, sebut saja namanya Honesty.
“Jadi, apakah demi mempertahankan persahabatan, kita harus selalu menutup mulut menyangkut kenyataan tentang sahabat kita?” lontar Honesty.
“Ya, kenyataan, sih, kenyataan. Keriput dan uban yang mulai bermunculan di wajah dan rambut sahabat kita adalah suatu kenyataan, tetapi kita tidak perlu mengomentarinya, kan?” timpal saya.
“Iya, kalau hanya keriput dan uban. Tapi kalau kita tahu suaminya mengkhinatinya?” Honesty menyodorkan contoh. “Atau kalau dia melakukan tindakan kriminal? Tetap kita biarkan saja ...?”
Benar juga. Saya sudah pernah mengalami keduanya. Saya pernah menyampaikan kenyataan sebenarnya kepada seorang sahabat. Hasilnya? Saya dia musuhi. Karena tak mau dibilang usil, saya juga pernah membiarkan seorang sahabat terperosok dalam sebuah masalah besar. Hasilnya, saya seolah hanya menontonnya terjatuh, lalu dirundung rasa bersalah dan menyesal karena tidak memberitahu dia kenyataan sebenarnya dari awal...
Menyampaikan kenyataan pahit kepada sahabat pasti ada dilemanya, terutama bila kawan kita sedang ditimpa masalah. Saat ditimpa masalah, kita membutuhkan kearifan orang lain untuk membantu kita melihat masalah dengan lebih jernih. Namun, yang kita butuhkan dari sahabat adalah elusan, bukan ‘pentungan’ lewat nasehat-nasehat yang tidak kita inginkan.
Maka dilema itu saya sikapi secara trial and error, dengan akibat beberapa kali saya nyaris ‘dipecat’ sebagai sahabat. Sampai akhirnya, saya menemukan suatu strategi jitu, yang saya sebut cara berendah hati. Langkah itu saya temukan setelah menyadari bahwa hidup manusia tak lepas dari masalah. Perasaan kita kadang senang, kadang susah. Nah, bila perasaan sahabat kita sedang susah, adalah tugas kita untuk menariknya agar perasaannya seimbang lagi dan bisa berpikir jernih kembali.
Tetapi, ada yang saya catat baik-baik: sama sekali bukan tugas kita untuk menyelesaikan masalah sahabat. Soalnya, solusi yang mungkin ampuh buat kita, belum tentu ampuh juga buat sabahat kita. Biarkan dia menemukan kearifan sendiri dalam proses menyelesaikan masalahnya. Tugas kita hanyalah jadi penyangga perasaannya sampai pikirannya jernih kembali, menemaninya dalam perasaan, bukan ikut 'menari' di dalamnya, yang mungkin malah akan makin mengeruhkan suasana, bahkan bisa berakhir
dengan putusnya persahabatan.
Satu hal mesti kita sadari: yang merekat hubungan persahabatan bukanlah kabel komputer atau telepon, bukan pula segala sesuatu yang sifatnya material. Melainkan apa yang ada di dalam diri kita, yaitu hati kita. Dan kalau sudah menyangkut hati, mengutip ucapan seorang teman, ‘hubungan itu harus mutual'—bersifat timbal-balik. Bila tidak lagi timbal-balik, jangan biarkan diri kita merana akibat bertepuk sebelah tangan. Masih banyak sahabat yang bisa kita jadikan kawan seperjalanan dalam pasang dan surut kehidupan, yang kita bantu untuk tumbuh dan membantu kita tumbuh menjadi manusia yang lebih baik.