
Pengalaman berikut ini juga menggambarkan, pekerjaan bisa dijadikan ‘pelampung’ bagi wanita yang hampir ‘tenggelam’. Laura, yang menikah 10 tahun lalu, semula bekerja penuh di sebuah perusahaan periklanan. Setelah melahirkan anak pertama, ia memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Dan ketika anak kedua lahir, ia melepaskan pekerjaannya sama sekali. Beberapa tahun kemudian, apa mau dikata, pernikahannya gonjang-ganjing dan berakhir dengan perceraian. “Aku kalang kabut,” kata Laura.
“Sedih rasanya menatap mata polos anak-anak. Apa yang harus kulakukan?”
Untunglah ia masih punya naluri untuk bekerja. Pelan-pelan ia merintis jalan, dimulai dengan bekerja paruh waktu di perusahaan retail kecil. Ketika kantornya diambil alih oleh perusahaan besar, Laura memindahkan ‘persneling’ dan menjadi karyawan penuh. “Rupanya aku terlambat berkembang,” katanya. “Dulu aku sekadar bekerja. Pekerjaan bagiku hanyalah sesuatu yang harus dikerjakan. Kini, aku mencintai pekerjaanku dan melakukannya dengan penuh semangat.”
Baru-baru ini ia bahkan dianugerahi predikat sebagai satu dari 10 tenaga penjual yang paling berhasil. “Bila dikenang kembali, memang apa yang kualami itu berat,” katanya. “Tapi aku bersyukur bisa mengatasinya. Dan, ternyata aku kini semakin pede…”
Bekerja keras memang bisa menjadi ‘obat’, kata Quinland, asalkan Anda tidak memakainya sebagai topeng untuk menutupi kesedihan dan kebutuhan sendiri. Contohnya, apa yang terjadi pada Lisna. Suaminya, Doni, mengidap penyakit leukemia, dan selama enam tahun Doni berulang kali menjalani kemoterapi di rumah sakit. Kalau penyakit ini sedang kambuh, Lisna diizinkan oleh atasannya untuk bekerja jarak jauh dari rumah sakit, menggunakan lap top. “Orang-orang sering memuji aku. Kata mereka, ‘Lisna, kamu tabah sekali!’ Memangnya aku harus bagaimana? Menyerah? Meratap? Aku ‘kan wanita bekerja, aku harus maju terus.”
Akhirnya suami Lisna meninggal. Untuk mengatasi kesedihannya ia semakin menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Hebatnya, justru dalam kemelut hidupnya itu, ia mendapat promosi-dobel di kantornya. Tapi sayang, tekadnya yang keras itu lambat laun membuat dia mengalami depresi sehingga akhirnya terpaksa berhenti bekerja untuk menjalani konseling. Sekarang, sebagai pengajar di lembaga pendidikan eksekutif, ia berubah pikiran tentang konsep bekerja-keras-melawan-tragedi. “Ambil cuti,” sarannya.
“Menghadapi rasa duka tanpa berkelit pada akhirnya akan menempa kepribadian kita.”
Ya, ambil cuti. Tapi jangan terlalu lama. Jangan menunggu sampai kesedihan Anda benar-benar hilang, baru kembali bekerja. Bisa-bisa Anda keburu terlena dan tidak bangkit-bangkit lagi!
Andaikata Anda berada dalam situasi krisis seperti yang dialami wanita-wanita ini, ada baiknya Anda meniru Siska. Jangan buru-buru berhenti bekerja. Cari tahu dulu apakah Anda bisa bekerja paruh waktu, atau cuti di luar tanggungan. Karena, jika Anda berhenti bekerja, sementara you love Mondays so much, wah … bisa bahaya!
“Sedih rasanya menatap mata polos anak-anak. Apa yang harus kulakukan?”
Untunglah ia masih punya naluri untuk bekerja. Pelan-pelan ia merintis jalan, dimulai dengan bekerja paruh waktu di perusahaan retail kecil. Ketika kantornya diambil alih oleh perusahaan besar, Laura memindahkan ‘persneling’ dan menjadi karyawan penuh. “Rupanya aku terlambat berkembang,” katanya. “Dulu aku sekadar bekerja. Pekerjaan bagiku hanyalah sesuatu yang harus dikerjakan. Kini, aku mencintai pekerjaanku dan melakukannya dengan penuh semangat.”
Baru-baru ini ia bahkan dianugerahi predikat sebagai satu dari 10 tenaga penjual yang paling berhasil. “Bila dikenang kembali, memang apa yang kualami itu berat,” katanya. “Tapi aku bersyukur bisa mengatasinya. Dan, ternyata aku kini semakin pede…”
Bekerja keras memang bisa menjadi ‘obat’, kata Quinland, asalkan Anda tidak memakainya sebagai topeng untuk menutupi kesedihan dan kebutuhan sendiri. Contohnya, apa yang terjadi pada Lisna. Suaminya, Doni, mengidap penyakit leukemia, dan selama enam tahun Doni berulang kali menjalani kemoterapi di rumah sakit. Kalau penyakit ini sedang kambuh, Lisna diizinkan oleh atasannya untuk bekerja jarak jauh dari rumah sakit, menggunakan lap top. “Orang-orang sering memuji aku. Kata mereka, ‘Lisna, kamu tabah sekali!’ Memangnya aku harus bagaimana? Menyerah? Meratap? Aku ‘kan wanita bekerja, aku harus maju terus.”
Akhirnya suami Lisna meninggal. Untuk mengatasi kesedihannya ia semakin menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Hebatnya, justru dalam kemelut hidupnya itu, ia mendapat promosi-dobel di kantornya. Tapi sayang, tekadnya yang keras itu lambat laun membuat dia mengalami depresi sehingga akhirnya terpaksa berhenti bekerja untuk menjalani konseling. Sekarang, sebagai pengajar di lembaga pendidikan eksekutif, ia berubah pikiran tentang konsep bekerja-keras-melawan-tragedi. “Ambil cuti,” sarannya.
“Menghadapi rasa duka tanpa berkelit pada akhirnya akan menempa kepribadian kita.”
Ya, ambil cuti. Tapi jangan terlalu lama. Jangan menunggu sampai kesedihan Anda benar-benar hilang, baru kembali bekerja. Bisa-bisa Anda keburu terlena dan tidak bangkit-bangkit lagi!
Andaikata Anda berada dalam situasi krisis seperti yang dialami wanita-wanita ini, ada baiknya Anda meniru Siska. Jangan buru-buru berhenti bekerja. Cari tahu dulu apakah Anda bisa bekerja paruh waktu, atau cuti di luar tanggungan. Karena, jika Anda berhenti bekerja, sementara you love Mondays so much, wah … bisa bahaya!