
Tentunya Anda perlu berpikir masak-masak bila ingin berubah jalur ke sektor nirlaba. Sesuai tujuannya, sektor nirlaba bergerak di bidang pelayanan masyarakat, sehingga tidak menjanjikan penghasilan bagi pengurusnya. Simak kisah Riana Tjokrosoeseno yang berhasil menikmati kehidupan di jalur nirlaba untuk karier kedua:
"Dalam keadaan galau karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bekerja nine to five, saya menerima tawaran mengurus sebuah yayasan yang khusus membantu anak-anak yatim piatu berkebutuhan khusus (cacat ganda). Bersama beberapa teman pengajian, pada tahun 2005 kami mulai jadi pengurus yayasan tersebut.
Awalnya saya bingung karena tidak punya keahlian apa pun. Pekerjaan terakhir saya di sebuah bank. Karena yayasan sudah punya ketua umum, kami perlu bendahara, sekretaris, dan humas. Saya memilih mengurus keuangan karena sesuai dengan latar belakang saya di bank. Seorang teman yang mantan sekretaris di bank, mengambil posisi sekretaris yayasan. Seorang teman lain menempati posisi sebagai humas dengan mengandalkan pengalaman kerjanya di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang informatika.
Dana yayasan diperoleh dari para donatur. Lima bulan pertama kami 'ngos-ngosan'. Dengan dana awal sebesar Rp 200 juta dari pengurus pusat, kami memulai membangun yayasan. Tentu saja kami butuh suntikan dana. Namun mendatangi perusahaan untuk minta sumbangan ternyata tidak mudah. Banyak perusahaan lebih senang memberikan bantuan untuk pendidikan karena 'ujungnya' jelas. Tetapi minta dana untuk membantu anak cacat ganda yang yatim piatu tidaklah mudah. Alhamdulillah, seiring waktu, dengan bantuan para donatur, yayasan kami mulai membesar. Ada pembina dan pengawas, dan kami mulai diaudit. Saat itu saya baru sadar bahwa laporan keuangan yayasan juga harus dikelola dengan sistem auditorial.
Belajar dari sebuah yayasan besar, kami lantas memperbaiki manajemen kami. Tugas pengurus yayasan dan pelaksana dipisah. Tugas pengurus adalah mencari uang dan membuat kebijakan. Sedangkan pelaksana menjalankan kebijakan dan digaji secara profesional, di bawah seorang manajer yang punya pendidikan di bidang manajemen. Tetapi menjadi pengurus harus rela untuk tidak digaji. Undang-Undang Yayasan menyebut, gaji diberikan kepada pengurus bila dia bekerja setiap hari nine to five.
Bila selama ini ada anggapan bahwa yayasan adalah tempat yang cocok untuk nenek-nenek, itu tidak benar. Meski tidak ada peningkatan karier bagi pengurus, untuk membangun sebuah yayasan yang bisa bertahan diperlukan tenaga muda dari berbagai latar belakang profesi. Dokter, misalnya, bisa saja menduduki posisi ketua, asalkan punya waktu untuk menyumbangkan pikiran dan pengalamannya. Peluang karier terbuka untuk bagian pelaksana.
Siapa pun yang berniat untuk menjadi pengurus yayasan, ada hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, jangan pernah punya kepentingan apa pun. Menjadi pengurus di bagian keuangan, misalnya, sangat rentan godaan untuk korupsi. Kedua, siapkan mental sebagai pekerja part time dan tidak bergaji. Ketiga, mampu bersikap fleksibel dan bersedia belajar apa pun termasuk teknologi informasi dengan berbagai aplikasi terbaru untuk memajukan yayasan."
"Dalam keadaan galau karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bekerja nine to five, saya menerima tawaran mengurus sebuah yayasan yang khusus membantu anak-anak yatim piatu berkebutuhan khusus (cacat ganda). Bersama beberapa teman pengajian, pada tahun 2005 kami mulai jadi pengurus yayasan tersebut.
Awalnya saya bingung karena tidak punya keahlian apa pun. Pekerjaan terakhir saya di sebuah bank. Karena yayasan sudah punya ketua umum, kami perlu bendahara, sekretaris, dan humas. Saya memilih mengurus keuangan karena sesuai dengan latar belakang saya di bank. Seorang teman yang mantan sekretaris di bank, mengambil posisi sekretaris yayasan. Seorang teman lain menempati posisi sebagai humas dengan mengandalkan pengalaman kerjanya di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang informatika.
Dana yayasan diperoleh dari para donatur. Lima bulan pertama kami 'ngos-ngosan'. Dengan dana awal sebesar Rp 200 juta dari pengurus pusat, kami memulai membangun yayasan. Tentu saja kami butuh suntikan dana. Namun mendatangi perusahaan untuk minta sumbangan ternyata tidak mudah. Banyak perusahaan lebih senang memberikan bantuan untuk pendidikan karena 'ujungnya' jelas. Tetapi minta dana untuk membantu anak cacat ganda yang yatim piatu tidaklah mudah. Alhamdulillah, seiring waktu, dengan bantuan para donatur, yayasan kami mulai membesar. Ada pembina dan pengawas, dan kami mulai diaudit. Saat itu saya baru sadar bahwa laporan keuangan yayasan juga harus dikelola dengan sistem auditorial.
Belajar dari sebuah yayasan besar, kami lantas memperbaiki manajemen kami. Tugas pengurus yayasan dan pelaksana dipisah. Tugas pengurus adalah mencari uang dan membuat kebijakan. Sedangkan pelaksana menjalankan kebijakan dan digaji secara profesional, di bawah seorang manajer yang punya pendidikan di bidang manajemen. Tetapi menjadi pengurus harus rela untuk tidak digaji. Undang-Undang Yayasan menyebut, gaji diberikan kepada pengurus bila dia bekerja setiap hari nine to five.
Bila selama ini ada anggapan bahwa yayasan adalah tempat yang cocok untuk nenek-nenek, itu tidak benar. Meski tidak ada peningkatan karier bagi pengurus, untuk membangun sebuah yayasan yang bisa bertahan diperlukan tenaga muda dari berbagai latar belakang profesi. Dokter, misalnya, bisa saja menduduki posisi ketua, asalkan punya waktu untuk menyumbangkan pikiran dan pengalamannya. Peluang karier terbuka untuk bagian pelaksana.
Siapa pun yang berniat untuk menjadi pengurus yayasan, ada hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, jangan pernah punya kepentingan apa pun. Menjadi pengurus di bagian keuangan, misalnya, sangat rentan godaan untuk korupsi. Kedua, siapkan mental sebagai pekerja part time dan tidak bergaji. Ketiga, mampu bersikap fleksibel dan bersedia belajar apa pun termasuk teknologi informasi dengan berbagai aplikasi terbaru untuk memajukan yayasan."