
Tapi kami sadar sepenuhnya bahwa waktu 35 tahun tentu sudah mengubah kami sangat banyaaak…, terutama secara fisik. Maklum, yang saya temukan di ajang reuni itu adalah sekelompok bapak-bapak (yang sebagian besar perutnya sudah ‘maju’ dan rambutnya sudah dihiasi kembang jambu alias uban) dan ibu-ibu yang sebagian besar sudah mengenakan kerudung, badannya sudah melebar ke samping, dan kulitnya sudah mulai ‘turun’.
Oleh karena itu, ketika kami berkumpul di sebuah meeting point sebelum ramai-ramai berangkat ke lokasi reuni di sebuah vila di pedesaan, dengan jujur dan rendah hati – meskipun tanpa dikomando oleh siapa pun — kami memulainya dengan saling meminta maaf apabila kami tidak mengenali lagi siapa mereka satu per satu, dan dilanjutkan dengan memperkenalkan diri sendiri. Itulah sikap dewasa pertama yang tanpa disadari telah sama-sama kami tunjukkan. Daripada berlagak masih ingat, lalu sok akrab, tapi sembari terus mikir “siapa ya, ini?”, atau dengan sok pede mengatakan, “Hayo, gue siapa coba? Lupa, ya?” (dan kalau teman kita ternyata tidak ingat, kita pun jadi sedih), lebih baik sejak awal kita saling berterus terang, bukan? Nyatanya, dengan kejujuran seperti itu, kami pun dengan mulus saling berkenalan lagi. Dan baru setelah itu berteriak-teriak senang saat mengenali kembali teman-teman lama kita, yang secara fisik memang sudah sulit dikenali lagi.
Kedewasaan kedua saya temukan setelah kami saling melepas kangen dan bercanda lagi. Kami memang tetap ledek-ledekan dan cela-celaan seperti dulu, mengenang kenakalan-kenakalan yang pernah kami lakukan, meledek oknum-oknum yang ‘jarang mandi’, si X yang pernah jatuh dari pohon saat nangkring dengan gaya di dahan untuk mencari perhatian seorang cewek yang ditaksirnya, si Y yang selalu tampil rapi jali seperti tim paskibraka, dan sebagainya. Kami juga menggoda mantan-mantan pasangan yang dulu pernah berpacaran sembari ‘mengipasi’ agar mereka menyelesaikan urusan CLBK (cinta lama belum kelar) mereka.
Namun, yang sangat saya apresiasi, meskipun ketua panitia hanya menitip pesan agar kami semua membaur dan “tidak nge-geng” seperti ketika kami masih bersekolah dulu, nyatanya kami malah melakukannya lebih dari itu. Menyadari bahwa mantan teman-teman SMP kami tidak semuanya berhasil menjadi orang sukses – baik dalam karier, ekonomi, atau perkawinan — tanpa dikomando kami pun tidak saling bertanya tentang pekerjaan dan rumah tangga secara detail. Paling banter hanya informasi sebatas si A sekarang jadi guru di SMA anu, si B jadi polisi di daerah anu, si C kerja di Kementerian Keuangan, atau si D jadi wartawan di media anu.
Tidak ada yang menanyakan apa pangkat si polisi, atau apa jabatan si C di Kementerian Keuangan. Tidak ada satu pun dari kami yang berinisiatif saling bertukar kartu nama –karena biasanya di kartu nama tercantum jabatan kita dalam pekerjaan. Tidak ada yang mencoba mengungkit-ungkit (tidak pula secara bisik-bisik) aib masa lalu yang kami tahu pernah menimpa satu-dua teman kami. Paling banter kami hanya saling bertukar nomor telepon, semata-mata agar kami bisa melanjutkan silaturahmi pasca reuni. Dan semua itu kami lakukan secara spontan dan sepenuh kesadaran, dengan maksud agar teman-teman – yang kurang beruntung — tidak merasa minder lalu menarik diri dari kegembiraan. Apalagi namanya kalau bukan kedewasaan yang mengambil kendali?
Reuni adalah ajang untuk temu kangen, refreshing sembari dangdutan dan ketawa-ketiwi mengenang ‘kegilaan’ masa lalu, menautkan kembali tali silaturahmi yang sempat terputus, dan syukur-syukur membuka networking untuk mendapatkan proyek bisnis atau menemukan jodoh (tentunya bagi yang available). Bukan ajang pamer kekayaan atau kesuksesan karier. Sepulang dari reuni, kita seharusnya merasa senang, gembira, hangat – bukan justru sedih meratapi ketidakberuntungan kita.
Tina Savitri