“Niat tulus saja tak cukup. Yang lebih penting adalah persiapan lahir batin dalam menghadapi segala eksesnya di kemudian hari,” ujar A. Patra M. Zen, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Adopsi (resmi) ada dua macam. Pertama, pengangkatan anak (anak angkat), yaitu pihak pengadopsi (orang tua) mengambil alih hak dan kewajiban sebagai orang tua pengganti terhadap anak angkatnya, sama seperti hak dan kewajiban terhadap anak kandung. Bukan saja wajib mengasuh, memelihara, memberi pendidikan, termasuk memberi kasih sayang dan bimbingan moral, tetapi juga wajib memberikan hak waris seperti terhadap anak kandung. Untuk semua itu, pengadopsi berhak mencantumkan nama mereka sebagai orang tua/wali sah si anak di akte kelahiran, meskipun statusnya tetap disebut sebagai anak adopsi.
Yang kedua, pengasuhan anak (anak asuh), yaitu pengadopsi hanya mengambil alih sebagian tanggung jawab sebagai orang tua terhadap si anak asuh. Misalnya, memberi biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lain sesuai kesepakatan, karena kedua orang tua si anak (atau salah satunya) tidak mampu menjamin tumbuh-kembang anak secara wajar. Pengadopsi tidak punya kewajiban memberi hak waris (kecuali atas inisiatif sendiri). Dan, di dalam akte kelahiran, nama orang tua tetaplah orang tua kandung. Anak asuh bisa tinggal bersama orang tua asuh, bisa pula tetap dengan orang tua kandungnya.
Patra menekankan, proses adopsi anak angkat atau anak asuh sebaiknya dilakukan secara legal, yaitu melalui ketetapan pengadilan. Dengan begitu, hak anak adopsi maupun hak orang tua angkat sama-sama terjamin. Setidaknya, pengadopsi punya kekuatan hukum bila orang tua kandung si anak melakukan 'pemerasan' atau ngotot ingin mencampuri cara Anda mendidik anaknya.
Menurut Patra Zen, di Indonesia setidaknya ada tiga hukum yang mengatur tentang adopsi, yaitu hukum adat, hukum perdata, dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) No. 23 Tahun 2002 Pasal 39-41. Adapun teknisnya diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1983, dengan pengawasan dari Departemen Sosial (Dinas Sosial).
Psikolog dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, menyatakan, posisi anak-anak yang lemah –secara fisik, psikologis, maupun sosial-- memang wajib diberi perlindungan ekstra. “Karena itu, aturan tentang adopsi ditekankan lagi di UUPA, mengingat nasib anak-anak adopsi makin hari makin rawan untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab,” ujar Seto.
Boleh saja Anda ingin mengadopsi seorang anak atas dasar rasa kasihan dan demi perbaikan masa depannya. Tapi dari kaca mata UUPA, alasan utama tetaplah harus demi kepentingan terbaik si anak. Dengan kata lain, kepentingan si anaklah yang diutamakan, bukan kepentingan orang tua angkat. Jangan mentang-mentang merasa sudah 'menyelamatkan' nasib anak itu, maka Anda menganggap si anak wajib berterima kasih kepada Anda. Atau, dengan kata lain, 'Sudah bagus kamu saya angkat anak. Kalau tidak, kamu pasti jadi anak terlantar'.
“Kalau memang berniat mengadopsi anak, berikan cinta tanpa syarat dan pretensi. Karena sesungguhnya, kondisi terbaik bagi anak adalah tinggal dan diasuh oleh orang tua kandungnya sendiri. Selain itu, belum tentu juga masa depannya lebih buruk bila tidak Anda adopsi. Siapa tahu malah lebih baik, karena nasib manusia di tangan Tuhan,” papar Seto.
UUPA juga menetapkan, hanya anak-anak berusia lima tahun ke bawah yang boleh diadopsi. Alasannya, bila sudah di atas lima tahun, anak sudah menyadari kondisinya, sehingga lebih sulit menerima kenyataan bahwa dia hanya anak angkat. Selain itu, orang tua angkat dan anak angkat sebaiknya satu agama. Kalaupun tidak, orang tua angkat tidak boleh mengubah agama asal si anak. Lantas, bagaimana menentukan agama si anak bila identitas orang tuanya tak ketahuan? Menurut Patra, Sesuaikan dengan agama mayoritas penduduk di tempat ia dilahirkan.
Adopsi (resmi) ada dua macam. Pertama, pengangkatan anak (anak angkat), yaitu pihak pengadopsi (orang tua) mengambil alih hak dan kewajiban sebagai orang tua pengganti terhadap anak angkatnya, sama seperti hak dan kewajiban terhadap anak kandung. Bukan saja wajib mengasuh, memelihara, memberi pendidikan, termasuk memberi kasih sayang dan bimbingan moral, tetapi juga wajib memberikan hak waris seperti terhadap anak kandung. Untuk semua itu, pengadopsi berhak mencantumkan nama mereka sebagai orang tua/wali sah si anak di akte kelahiran, meskipun statusnya tetap disebut sebagai anak adopsi.
Yang kedua, pengasuhan anak (anak asuh), yaitu pengadopsi hanya mengambil alih sebagian tanggung jawab sebagai orang tua terhadap si anak asuh. Misalnya, memberi biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lain sesuai kesepakatan, karena kedua orang tua si anak (atau salah satunya) tidak mampu menjamin tumbuh-kembang anak secara wajar. Pengadopsi tidak punya kewajiban memberi hak waris (kecuali atas inisiatif sendiri). Dan, di dalam akte kelahiran, nama orang tua tetaplah orang tua kandung. Anak asuh bisa tinggal bersama orang tua asuh, bisa pula tetap dengan orang tua kandungnya.
Patra menekankan, proses adopsi anak angkat atau anak asuh sebaiknya dilakukan secara legal, yaitu melalui ketetapan pengadilan. Dengan begitu, hak anak adopsi maupun hak orang tua angkat sama-sama terjamin. Setidaknya, pengadopsi punya kekuatan hukum bila orang tua kandung si anak melakukan 'pemerasan' atau ngotot ingin mencampuri cara Anda mendidik anaknya.
Menurut Patra Zen, di Indonesia setidaknya ada tiga hukum yang mengatur tentang adopsi, yaitu hukum adat, hukum perdata, dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) No. 23 Tahun 2002 Pasal 39-41. Adapun teknisnya diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1983, dengan pengawasan dari Departemen Sosial (Dinas Sosial).
Psikolog dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, menyatakan, posisi anak-anak yang lemah –secara fisik, psikologis, maupun sosial-- memang wajib diberi perlindungan ekstra. “Karena itu, aturan tentang adopsi ditekankan lagi di UUPA, mengingat nasib anak-anak adopsi makin hari makin rawan untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab,” ujar Seto.
Boleh saja Anda ingin mengadopsi seorang anak atas dasar rasa kasihan dan demi perbaikan masa depannya. Tapi dari kaca mata UUPA, alasan utama tetaplah harus demi kepentingan terbaik si anak. Dengan kata lain, kepentingan si anaklah yang diutamakan, bukan kepentingan orang tua angkat. Jangan mentang-mentang merasa sudah 'menyelamatkan' nasib anak itu, maka Anda menganggap si anak wajib berterima kasih kepada Anda. Atau, dengan kata lain, 'Sudah bagus kamu saya angkat anak. Kalau tidak, kamu pasti jadi anak terlantar'.
“Kalau memang berniat mengadopsi anak, berikan cinta tanpa syarat dan pretensi. Karena sesungguhnya, kondisi terbaik bagi anak adalah tinggal dan diasuh oleh orang tua kandungnya sendiri. Selain itu, belum tentu juga masa depannya lebih buruk bila tidak Anda adopsi. Siapa tahu malah lebih baik, karena nasib manusia di tangan Tuhan,” papar Seto.
UUPA juga menetapkan, hanya anak-anak berusia lima tahun ke bawah yang boleh diadopsi. Alasannya, bila sudah di atas lima tahun, anak sudah menyadari kondisinya, sehingga lebih sulit menerima kenyataan bahwa dia hanya anak angkat. Selain itu, orang tua angkat dan anak angkat sebaiknya satu agama. Kalaupun tidak, orang tua angkat tidak boleh mengubah agama asal si anak. Lantas, bagaimana menentukan agama si anak bila identitas orang tuanya tak ketahuan? Menurut Patra, Sesuaikan dengan agama mayoritas penduduk di tempat ia dilahirkan.
TS