
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA sebelumnya telah dibahas di link ini. Bukankah MEA 2015 suatu ancaman bagi ekonomi Indonesia? Pertanyaan senada itu paling sering dajukan dalam setiap pertemuan tentang MEA.
Sebelum menjawab, mari kita lihat dulu beberapa angka. Saat ini ekspor Indonesia ke ASEAN mencapai sekitar USD 45 miliar, atau sekitar Rp 500 triliun, dan sejak 2003 sampai 2013 selalu bertumbuh positif sekitar 7 persen per tahun. Saat ini terdapat sekitar 250 perusahaan Indonesia yang juga telah membuka cabang atau berbisnis di negara-negara ASEAN. Beberapa merek yang terkenal adalah J-Co (makanan), Es Teler 77 (makanan), Sour Sally (makanan), Indofood (makanan olahan), Silver Queen (cokelat), Kapal Api (kopi), Edward Forrer (sepatu), Mustika Ratu (kosmetik), dan banyak merek lain. Angka perusahaan ini belum mencatat banyak tenaga-tenaga ahli dan terampil dari Indonesia yang telah bekerja di negara-negara ASEAN. Ratusan dokter, dosen, akuntan, periset, programer komputer, dan profesi lain orang Indonesia dan hasil didikan Indonesia bekerja di negara-negara ASEAN.
Angka-angka itu menunjukkan bahwa banyak kegiatan usaha besar dan kecil yang telah mengambil peluang di pasar ASEAN dan mewujudkannya menjadi bisnis yang menguntungkan. Dan angka-angka itu bertumbuh semakin besar setiap tahun, karena potensi bisnis ASEAN masih terbuka untuk digarap. Tetangga kita Filipina misalnya, kini memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi -hingga 6-7% per tahun- dan dengan jumlah penduduk yang relatif besar, mencapai 100 juta orang, merupakan pasar yang sangat menarik. Vietnam yang berpenduduk 90 juta orang dengan ekonomi yang sedang tumbuh, atau Myanmar negara berpenduduk 60 juta yang baru memasuki demokrasi dan sedang bersemangat untuk mulai membangun ekonomi, juga merupakan pasar potensial baru yang sangat menjanjikan.
Di sisi lain, apabila masuknya barang dari negara ASEAN ke Indonesia dipandang sebagai ancaman, maka memang Indonesia juga mengimpor dari negara ASEAN. Thailand dan Malaysia adalah negara yang banyak mengirim produknya ke Indonesia. Impor Indonesia dari Singapura cukup besar, namun hal itu disebabkan karena memang Singapura memiliki peran dan posisi sebagai perantara dengan memberi jasa perdagangan kepada banyak negara di dunia. Ancaman lain adalah tekanan yang dihadapi produk Indonesia di negara tujuan ekspor. Produk Kopiko pernah dipalsukan di Malaysia dan menimbulkan kerugian yang besar. Cukup lama kasus ini tidak menemukan penyelesaian, baru awal tahun 2014 berhasul dimenangkan lewat pengadilan dan diplomasi. Atau kisah kosmetik Indonesia yang mendapat perlakuan diskriminatif di beberapa negara ASEAN karena dianggap tidak sesuai standar atas tekanan produsen lokal mereka yang kalah bersaing.
Ancaman impor tidak dapat dikesampingkan, tekanan di pasar tujuan juga sudah cukup banyak terjadi. Namun sebagian negara yang juga menginginkan ekspornya maju, Indonesia harus melihat impor secara lebih objektif. Apakah produk impor memang belum dapat dihasilkan di Indonesia? Apakah yang diimpor kemudian menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja di Indonesia? Apakah memang lebih efisien menggunakan kemampuan produksi kita pada produk-produk yang kita unggul dari memaksakan melakukan produksi dengan tidak efisien? Pendeknya, kita memang harus berhitung dengan cermat atas impor itu. Karena pada akhirnya, yang terpenting apakah kita surplus positif sehingga memberi manfaat bagi perekenomian. Tentu logika itu tidak dapat diterapkan pada kebutuhan pokok seperti pangan pokok atau energi yang kita memang tidak dapat membiarkan ketargantungan dari negara mana pun.
Sikap Kita
MEA kini telah datang, dan memang kita menginginkannya karena akan mendatangkan manfaat yang besar. Namun ada dua sikap yang harus diambil agar manfaat besar itu memang dapat dirasakan. Pertama, harus lebih banyak melihat peluang daripada hanya ketakutan dengan ancaman. Harus percaya diri dan lebih berani menyerang, bukan hanya bertahan. Sangat jelas dan sudah terbukti bahwa pelaku usaha Indonesia dapat bersaing di pasar ASEAN, dapat memasuki pasar negara-negara ASEAN lainnya.
Kedua, bersikap sebagai konsumen yang cerdas. Keterbukaan selalu membawa pilihan. Konsumenlah yang memilih produk mana yang mau dibeli dan dikonsumsi. Maka kita harus cerdas. Pilih produk yang kita tahu produk itu produk Indonesia. Jika ada keraguan sedikit saja terhadap produk impor -misalnya soal kehalalan, keamanan pangan, aman bagi lingkungan- maka jangan beli. Jika kemasan produk impor tidak dapat dibaca atau tidak jelas keterangannya, jangan beli. Jika ada layanan jasa, dokter misalnya, yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik, jangan mau dilayani. Jika praktik dokter itu ada di Jakarta atau di kota mana pun di Indonesia, bukan kita yang harus belajar bahasa Inggris, tapi dokter itu yang harus belajar bahasa Indonesia, bahkan harusnya juga bisa bahasa Sunda atau Jawa atau lainnya. Kekuatan kita ada pada konsumen, pahami hak-hak konsumen serta lakukan konsumsi dan pembelian dengan cerdas.
Jika kedua sikap itu diterapkan, maka MEA benar-benar akan memberi peluang jauh lebih besar dibandingkan dengan ancamannya.
Sebelum menjawab, mari kita lihat dulu beberapa angka. Saat ini ekspor Indonesia ke ASEAN mencapai sekitar USD 45 miliar, atau sekitar Rp 500 triliun, dan sejak 2003 sampai 2013 selalu bertumbuh positif sekitar 7 persen per tahun. Saat ini terdapat sekitar 250 perusahaan Indonesia yang juga telah membuka cabang atau berbisnis di negara-negara ASEAN. Beberapa merek yang terkenal adalah J-Co (makanan), Es Teler 77 (makanan), Sour Sally (makanan), Indofood (makanan olahan), Silver Queen (cokelat), Kapal Api (kopi), Edward Forrer (sepatu), Mustika Ratu (kosmetik), dan banyak merek lain. Angka perusahaan ini belum mencatat banyak tenaga-tenaga ahli dan terampil dari Indonesia yang telah bekerja di negara-negara ASEAN. Ratusan dokter, dosen, akuntan, periset, programer komputer, dan profesi lain orang Indonesia dan hasil didikan Indonesia bekerja di negara-negara ASEAN.
Angka-angka itu menunjukkan bahwa banyak kegiatan usaha besar dan kecil yang telah mengambil peluang di pasar ASEAN dan mewujudkannya menjadi bisnis yang menguntungkan. Dan angka-angka itu bertumbuh semakin besar setiap tahun, karena potensi bisnis ASEAN masih terbuka untuk digarap. Tetangga kita Filipina misalnya, kini memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi -hingga 6-7% per tahun- dan dengan jumlah penduduk yang relatif besar, mencapai 100 juta orang, merupakan pasar yang sangat menarik. Vietnam yang berpenduduk 90 juta orang dengan ekonomi yang sedang tumbuh, atau Myanmar negara berpenduduk 60 juta yang baru memasuki demokrasi dan sedang bersemangat untuk mulai membangun ekonomi, juga merupakan pasar potensial baru yang sangat menjanjikan.
Di sisi lain, apabila masuknya barang dari negara ASEAN ke Indonesia dipandang sebagai ancaman, maka memang Indonesia juga mengimpor dari negara ASEAN. Thailand dan Malaysia adalah negara yang banyak mengirim produknya ke Indonesia. Impor Indonesia dari Singapura cukup besar, namun hal itu disebabkan karena memang Singapura memiliki peran dan posisi sebagai perantara dengan memberi jasa perdagangan kepada banyak negara di dunia. Ancaman lain adalah tekanan yang dihadapi produk Indonesia di negara tujuan ekspor. Produk Kopiko pernah dipalsukan di Malaysia dan menimbulkan kerugian yang besar. Cukup lama kasus ini tidak menemukan penyelesaian, baru awal tahun 2014 berhasul dimenangkan lewat pengadilan dan diplomasi. Atau kisah kosmetik Indonesia yang mendapat perlakuan diskriminatif di beberapa negara ASEAN karena dianggap tidak sesuai standar atas tekanan produsen lokal mereka yang kalah bersaing.
Ancaman impor tidak dapat dikesampingkan, tekanan di pasar tujuan juga sudah cukup banyak terjadi. Namun sebagian negara yang juga menginginkan ekspornya maju, Indonesia harus melihat impor secara lebih objektif. Apakah produk impor memang belum dapat dihasilkan di Indonesia? Apakah yang diimpor kemudian menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja di Indonesia? Apakah memang lebih efisien menggunakan kemampuan produksi kita pada produk-produk yang kita unggul dari memaksakan melakukan produksi dengan tidak efisien? Pendeknya, kita memang harus berhitung dengan cermat atas impor itu. Karena pada akhirnya, yang terpenting apakah kita surplus positif sehingga memberi manfaat bagi perekenomian. Tentu logika itu tidak dapat diterapkan pada kebutuhan pokok seperti pangan pokok atau energi yang kita memang tidak dapat membiarkan ketargantungan dari negara mana pun.
Sikap Kita
MEA kini telah datang, dan memang kita menginginkannya karena akan mendatangkan manfaat yang besar. Namun ada dua sikap yang harus diambil agar manfaat besar itu memang dapat dirasakan. Pertama, harus lebih banyak melihat peluang daripada hanya ketakutan dengan ancaman. Harus percaya diri dan lebih berani menyerang, bukan hanya bertahan. Sangat jelas dan sudah terbukti bahwa pelaku usaha Indonesia dapat bersaing di pasar ASEAN, dapat memasuki pasar negara-negara ASEAN lainnya.
Kedua, bersikap sebagai konsumen yang cerdas. Keterbukaan selalu membawa pilihan. Konsumenlah yang memilih produk mana yang mau dibeli dan dikonsumsi. Maka kita harus cerdas. Pilih produk yang kita tahu produk itu produk Indonesia. Jika ada keraguan sedikit saja terhadap produk impor -misalnya soal kehalalan, keamanan pangan, aman bagi lingkungan- maka jangan beli. Jika kemasan produk impor tidak dapat dibaca atau tidak jelas keterangannya, jangan beli. Jika ada layanan jasa, dokter misalnya, yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik, jangan mau dilayani. Jika praktik dokter itu ada di Jakarta atau di kota mana pun di Indonesia, bukan kita yang harus belajar bahasa Inggris, tapi dokter itu yang harus belajar bahasa Indonesia, bahkan harusnya juga bisa bahasa Sunda atau Jawa atau lainnya. Kekuatan kita ada pada konsumen, pahami hak-hak konsumen serta lakukan konsumsi dan pembelian dengan cerdas.
Jika kedua sikap itu diterapkan, maka MEA benar-benar akan memberi peluang jauh lebih besar dibandingkan dengan ancamannya.
Bayu Krisnamurthi
Dosen IPB, mantan Wakil Menteri Perdagangan RI