
Semakin bertambah usia, kesuksesan tidak hanya dinilai dari apa yang kita capai atau kita miliki. Tetapi kepekaan kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain di sekitar kita.
Pada kenyataannya, kesuksesan yang kita perjuangkan selama ini belum tentu membahagiakan. Ada kalanya ketika kita meraih sukses dalam karier, tetapi di sisi lain kita harus ‘mengorbankan’ hal lain.
Seperti yang dirasakan Sita (42). Ketika ia sudah mencapai semua cita-citanya: meraih gelar master, bekerja di perusahaan IT terkemuka, dan punya jabatan tinggi, pada akhirnya ia justru merasa sedih. “Karena terlalu sibuk di kantor, saya hampir tidak punya waktu untuk anak-anak. Setiap hari saya pulang malam, weekend terkadang harus tetap ngantor. Saya sempat terhenyak ketika melihat anak sulung saya beranjak ABG tanpa ‘kehadiran’ saya. Sedih sekali rasanya,” ungkapnya yang kemudian banting stir menjalankan bisnis online demi membayar ‘utang’ waktunya untuk keluarga.
Sementara Nana (45), public relations manager di sebuah perusahaan multinasional, diberi ‘ujian berat’ ketika ia menapaki puncak kariernya. “Di usia 40 tahun, di saat karier saya sedang bersinar dan kehidupan ekonomi keluarga sudah berkecukupan, saya ‘ambruk’. Karena stres berat, saya mengalami serangan jantung koroner dan kanker payudara. Belum lagi ditambah masalah domestik hingga akibatnya anak-anak jadi kurang perhatian. Saya merasa semua kesuksesan saya tidak ada artinya.”
Semua pembelajaran hidup itu sesungguhnya telah menempa diri kita agar bisa ‘naik kelas’. Dengan begitu, kita bisa belajar mengerem ego dan membuka hati untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. “Dulu sikap saya kepada anak saya, cenderung otoriter, tegas. Saya ingin mereka menuruti semua aturan dan keinginan saya. Karena sejak kecil saya dididik seperti itu oleh ibu saya. Tetapi setelah sadar hubungan saya dan anak makin jauh, saya kemudian berpikir dan mengevaluasi diri. Saya mulai mengasah keibuan saya dengan belajar memeluk atau memuji dia. Hubungan saya dengan mereka pun jadi lebih hangat dan terbuka. Ini merupakan kesuksesan sendiri sebagai ibu, ” ujar Okky Asokawati, wakil rakyat yang juga single mom itu.
Ukuran kesuksesan seseorang pun mengalami perubahan sejalan dengan bertambahnya usia dan pemahaman hidup. Jika dulu di usia 20 tahunan, kita merasa sukses ketika semakin banyak tepuk tangan ditujukan kepada prestasi dan apa yang kita miliki: baik itu materi, jabatan, dan popularitas. Menginjak usia 45 – 50 tahun, kesuksesan tidak hanya dinilai dari apa yang kita capai atau kita miliki. Tetapi kepekaan kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain di sekitar kita. Dan jika itu terjadi, sukses yang kita raih akan terasa lebih membahagiakan.
Pada kenyataannya, kesuksesan yang kita perjuangkan selama ini belum tentu membahagiakan. Ada kalanya ketika kita meraih sukses dalam karier, tetapi di sisi lain kita harus ‘mengorbankan’ hal lain.
Seperti yang dirasakan Sita (42). Ketika ia sudah mencapai semua cita-citanya: meraih gelar master, bekerja di perusahaan IT terkemuka, dan punya jabatan tinggi, pada akhirnya ia justru merasa sedih. “Karena terlalu sibuk di kantor, saya hampir tidak punya waktu untuk anak-anak. Setiap hari saya pulang malam, weekend terkadang harus tetap ngantor. Saya sempat terhenyak ketika melihat anak sulung saya beranjak ABG tanpa ‘kehadiran’ saya. Sedih sekali rasanya,” ungkapnya yang kemudian banting stir menjalankan bisnis online demi membayar ‘utang’ waktunya untuk keluarga.
Sementara Nana (45), public relations manager di sebuah perusahaan multinasional, diberi ‘ujian berat’ ketika ia menapaki puncak kariernya. “Di usia 40 tahun, di saat karier saya sedang bersinar dan kehidupan ekonomi keluarga sudah berkecukupan, saya ‘ambruk’. Karena stres berat, saya mengalami serangan jantung koroner dan kanker payudara. Belum lagi ditambah masalah domestik hingga akibatnya anak-anak jadi kurang perhatian. Saya merasa semua kesuksesan saya tidak ada artinya.”
Semua pembelajaran hidup itu sesungguhnya telah menempa diri kita agar bisa ‘naik kelas’. Dengan begitu, kita bisa belajar mengerem ego dan membuka hati untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. “Dulu sikap saya kepada anak saya, cenderung otoriter, tegas. Saya ingin mereka menuruti semua aturan dan keinginan saya. Karena sejak kecil saya dididik seperti itu oleh ibu saya. Tetapi setelah sadar hubungan saya dan anak makin jauh, saya kemudian berpikir dan mengevaluasi diri. Saya mulai mengasah keibuan saya dengan belajar memeluk atau memuji dia. Hubungan saya dengan mereka pun jadi lebih hangat dan terbuka. Ini merupakan kesuksesan sendiri sebagai ibu, ” ujar Okky Asokawati, wakil rakyat yang juga single mom itu.
Ukuran kesuksesan seseorang pun mengalami perubahan sejalan dengan bertambahnya usia dan pemahaman hidup. Jika dulu di usia 20 tahunan, kita merasa sukses ketika semakin banyak tepuk tangan ditujukan kepada prestasi dan apa yang kita miliki: baik itu materi, jabatan, dan popularitas. Menginjak usia 45 – 50 tahun, kesuksesan tidak hanya dinilai dari apa yang kita capai atau kita miliki. Tetapi kepekaan kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain di sekitar kita. Dan jika itu terjadi, sukses yang kita raih akan terasa lebih membahagiakan.
Shinta Kusuma