
Menjelang pergantian tahun, ritual yang nyaris tak pernah kita lewatkan adalah menyusun resolusi untuk tahun baru. Dengan mudahnya kita menyusun sederet rencana yang ingin kita capai di tahun depan, mulai dari keinginan menjadi pribadi “baru” yang lebih sabar dan disiplin, meraih jenjang karier lebih tinggi, sampai menerapkan gaya hidup yang lebih sehat. Menulis daftar resolusi memang mudah, namun mewujudkan rencana itulah yang penuh tantangan. Seringkali bulan Januari belum lewat tapi kita sudah lupa dengan resolusi yang telah kita susun dengan semangat menggebu. Dan akhirnya, di tahun baru kita terjebak lagi pada kebiasaan yang lama.
Seperti yang diungkapkan Alexander Sriewijono, psikolog dan sahabat diskusi dari Daily Meaning, “People love to write resolutions karena menikmati sensasinya. Dengan menuliskan saja, seakan-akan ia sudah bergerak menuju ke sana untuk mendapatkannya, padahal kenyataannya belum melakukan apa-apa. Itulah yang membuat resolusi sering gagal diterapkan.” Nah, jika kita harus mencantumkan poin resolusi yang sama berkali-kali di setiap pergantian tahun karena belum berhasil merealisasikannya, ini pertanda ada yang salah dalam diri kita dan perlu dibenahi.
Salah satu penyebab kegagalan seseorang dalam meraih resolusi adalah faktor kepribadian. Seperti yang tertulis dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient (AQ), Paul Stoltz, PhD mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang dalam mewujudkan impiannya tidak hanya dipengaruhi kualitas intelegensi (IQ) atau kualitas emosi (EQ), namun dipengaruhi pula oleh AQ (adversity quotient) yakni kecerdasan atau kemampuan dalam mengatasi setiap tantangan.
Stoltz menganalogikannya dengan perjalanan mendaki gunung. Menurutnya, ada tiga tipe pendaki. Pertama adalah Quitters yaitu mereka yang mudah menyerah dan memutuskan berhenti di tengah pendakian. Kedua adalah Campers yaitu mereka yang mudah merasa puas dan gampang beralih haluan. Walaupun hanya melihat puncak gunung dari kejauhan, mereka cukup puas dan merasa tak perlu melanjutkan pendakian lagi dan memilih berkemah saja. Ketiga adalah Climbers yaitu mereka yang selalu optimistis dan konsisten terhadap tujuan yang hendak dicapai, tak peduli rintangan yang dihadapinya. Sehingga apapun yang terjadi, ia akan terus melakukan pendakian sampai berhasil menaklukkan puncak gunung.
Menurut Stoltz, semakin besar nilai AQ seseorang akan semakin cepat bangkit dari keterpurukan, memiliki semangat juang yang tinggi dan mampu mengatasi tantangan untuk berhasil menggapai impiannya. Dengan begitu dapat diprediksi bahwa tipe Climber akan berhasil mewujudkan resolusi yang dirancangnya dalam waktu yang telah ditargetkan, bahkan bisa lebih cepat. Sementara tipe Camper mungkin saja bisa mewujudkannya namun membutuhkan waktu lebih lama dari tengat waktu yang telah ditentukan. Sedangkan tipe Quitter akan lebih sulit dalam mencapai resolusi yang dibuatnya.
Menurut Alexander, meskipun karakter merupakan sifat bawaan secara genetik, namun bukan mustahil jika karakter kita ‘digeser’ ke arah yang diharapkan. Tapi memang tidak bisa berubah secara ekstrem. Pergeseran karakter pun membutuhkan waktu yang tidak singkat supaya bisa menetap menjadi suatu kebiasaan baru. Alex memberikan ilustrasi dari pengalaman pribadinya, “Sebenarnya saya seorang yang introvert. Sementara sebagai sahabat diskusi, saya dituntut lebih ekstrovert. Tapi saya tidak bisa langsung menjadi sangat ekstrovert, tapi bisa bergeser secara perlahan semampu saya,” ungkap Alex. Namun yang paling penting, kata Alex, keberhasilan kita dalam merealisasikan resolusi sangat tergantung pada komitmen untuk menerapkan semua rencana yang sudah kita buat.