
Kebiasaan bangun siang di akhir minggu telah melahirkan pola makan baru, yakni sarapan (breakfast) dan lunch (makan siang) yang digabung menjadi brunch. Tentu saja menu brunch berbeda dengan sarapan di hari kerja. Umumnya terdiri dari kopi dan tartine namun dilengkapi sereal, kompot buah-buahan, omelet dengan sosis, bahkan kadang-kadang disertai segelas anggur. Maklumlah brunch mulai berlangsung sekitar jam dua belasan. Brunch pun kini menjadi acara makan yang patut dinikmati.
Kita bisa langsung menebak kebiasaan baru ini berasal dari negeri berbahasa Inggris. Di Prancis, brunch kerap berlanjut dengan, les entre-deux, yang maknanya kurang lebih “sarapan ke dua”. Setelah brunch yang begitu semarak, tentu saja tak akan ada orang yang sanggup makan siang. Mereka baru mulai lapar lagi sekitar jam 3 sore. Mengingat tak lama lagi makan malam, untuk “mengganjal perut” umumnya mereka akan memesan les entre-deux berupa hamburger selera Prancis yang bergelimang saus sehingga menyantapnya tak bisa lain harus menggunakan pisau dan garpu!

Tentu saja jam makan setiap orang tidak sama, terutama di akhir pekan. Anda bisa membayangkan kehebohan dapur restoran di sekitar jam satu siang. Masih ada yang memesan brunch, sudah ada yang memesan makan siang (termasuk saya) dan ada pula yang memesan les entre-deux. Konon bagi para pelayan restoran kehebohan tersebut merupakan hal yang lumrah. Mereka tetap santai dan menyempatkan diri membimbing para tamu memesan makanan beserta anggur pelengkapnya.
Di sebuah café di tepi jalan, sambil menunggu siang, saya pun ikut-ikutan menikmati semangkuk café crème dan sepotong tartine (separuh roti baget yang dibelah tengah lalu dilapisi mentega dan selai). Khusus saat sarapan, kopi dihidangkan dalam mangkuk tanpa telinga, diseruput dengan kedua belah telapak tangan yang menempel pada dinding mangkuk. Terbayang sarapan di musim dingin, selain tenggorokan, telapak tangan pun ikut hangat.
Di seberang jalan, sebuah toko roti kecil menarik perhatian saya. Antrian calon pembeli makin lama makin mengular. Semua bertujuan sama, ingin membeli roti baget baru untuk sarapan. Bagi orang Prancis, roti kemarin hanya pantas dikonsumsi oleh burung merpati. Konon, adegan ini akan berulang sekitar jam 5 hingga 6 petang. Yang berbeda adalah para pengantrinya. Kini giliran para ibu yang baru pulang menjemput anak dari sekolah di hari kerja atau ibu dan anak yang baru usai bermain di taman di hari libur. Kegiatan tiap sore ini berkaitan dengan persiapan makan malam.
Shopping a la Parisienne
Sejak lama telah terjadi pembagian alamiah: ada Paris wilayah turis dan ada bagian kota milik penduduk setempat. Sejatinya warga Paris adalah pejalan kaki. Untuk bepergian dengan kereta bawah tanah pun, mereka tetap harus berjalan kaki menuju statsiun Metro terdekat. Bila mereka juga tinggal di apartemen kuno tanpa lift, bisa dibayangkan berapa jumlah kalori yang terbakar setiap harinya.
Saya tidak pernah berpapasan dengan warga yang ribet dengan tentengan belanjaan. Keranjang belanja yang dilengkapi roda empat dan gagang yang bisa ditarik selalu menemani mereka. Mereka pun tak pernah membawa belanjaan melebihi kapasitas keranjang mereka. Selain karena di supermarket belanjaan bisa diantar ke rumah, alasan paling kuat adalah penampilan tetap harus dijaga.
.
Berbeda dengan turis, mereka lebih nyaman menyambangi toko atau butik kecil langganan sambil mengobrol dengan penjaga. Shopping bagi mereka adalah acara santai, dan harus dinikmati. Untuk membeli sebotol kecil parfum, saya pernah terpaksa menunggu sekitar 20 menit. Masalahnya, satu-satunya pelayan sedang meladeni seorang pembeli. Wanita tersebut mencoba berbagai aroma parfum, lilin wangi dan sabun mandi. Walaupun akhirnya transaksi yang terjadi hanyalah sebatang lilin wangi, ibu tersebut puas dan sang pelayan mengantarnya ke pintu.
Agaknya mengobrol antar sesama adalah budaya mereka. Pelayan restoran, penjaga toko atau penjual bunga di kelok jalan selalu punya waktu untuk bercengkrama dengan (calon) pembeli. Kalau Anda tidak berbahasa Prancis seperti saya, sebaiknya berbelanja di depstor bersama turis-turis lain.
Kita bisa langsung menebak kebiasaan baru ini berasal dari negeri berbahasa Inggris. Di Prancis, brunch kerap berlanjut dengan, les entre-deux, yang maknanya kurang lebih “sarapan ke dua”. Setelah brunch yang begitu semarak, tentu saja tak akan ada orang yang sanggup makan siang. Mereka baru mulai lapar lagi sekitar jam 3 sore. Mengingat tak lama lagi makan malam, untuk “mengganjal perut” umumnya mereka akan memesan les entre-deux berupa hamburger selera Prancis yang bergelimang saus sehingga menyantapnya tak bisa lain harus menggunakan pisau dan garpu!

Tentu saja jam makan setiap orang tidak sama, terutama di akhir pekan. Anda bisa membayangkan kehebohan dapur restoran di sekitar jam satu siang. Masih ada yang memesan brunch, sudah ada yang memesan makan siang (termasuk saya) dan ada pula yang memesan les entre-deux. Konon bagi para pelayan restoran kehebohan tersebut merupakan hal yang lumrah. Mereka tetap santai dan menyempatkan diri membimbing para tamu memesan makanan beserta anggur pelengkapnya.
Di sebuah café di tepi jalan, sambil menunggu siang, saya pun ikut-ikutan menikmati semangkuk café crème dan sepotong tartine (separuh roti baget yang dibelah tengah lalu dilapisi mentega dan selai). Khusus saat sarapan, kopi dihidangkan dalam mangkuk tanpa telinga, diseruput dengan kedua belah telapak tangan yang menempel pada dinding mangkuk. Terbayang sarapan di musim dingin, selain tenggorokan, telapak tangan pun ikut hangat.
Di seberang jalan, sebuah toko roti kecil menarik perhatian saya. Antrian calon pembeli makin lama makin mengular. Semua bertujuan sama, ingin membeli roti baget baru untuk sarapan. Bagi orang Prancis, roti kemarin hanya pantas dikonsumsi oleh burung merpati. Konon, adegan ini akan berulang sekitar jam 5 hingga 6 petang. Yang berbeda adalah para pengantrinya. Kini giliran para ibu yang baru pulang menjemput anak dari sekolah di hari kerja atau ibu dan anak yang baru usai bermain di taman di hari libur. Kegiatan tiap sore ini berkaitan dengan persiapan makan malam.
Shopping a la Parisienne
Sejak lama telah terjadi pembagian alamiah: ada Paris wilayah turis dan ada bagian kota milik penduduk setempat. Sejatinya warga Paris adalah pejalan kaki. Untuk bepergian dengan kereta bawah tanah pun, mereka tetap harus berjalan kaki menuju statsiun Metro terdekat. Bila mereka juga tinggal di apartemen kuno tanpa lift, bisa dibayangkan berapa jumlah kalori yang terbakar setiap harinya.
Saya tidak pernah berpapasan dengan warga yang ribet dengan tentengan belanjaan. Keranjang belanja yang dilengkapi roda empat dan gagang yang bisa ditarik selalu menemani mereka. Mereka pun tak pernah membawa belanjaan melebihi kapasitas keranjang mereka. Selain karena di supermarket belanjaan bisa diantar ke rumah, alasan paling kuat adalah penampilan tetap harus dijaga.
.
Berbeda dengan turis, mereka lebih nyaman menyambangi toko atau butik kecil langganan sambil mengobrol dengan penjaga. Shopping bagi mereka adalah acara santai, dan harus dinikmati. Untuk membeli sebotol kecil parfum, saya pernah terpaksa menunggu sekitar 20 menit. Masalahnya, satu-satunya pelayan sedang meladeni seorang pembeli. Wanita tersebut mencoba berbagai aroma parfum, lilin wangi dan sabun mandi. Walaupun akhirnya transaksi yang terjadi hanyalah sebatang lilin wangi, ibu tersebut puas dan sang pelayan mengantarnya ke pintu.
Agaknya mengobrol antar sesama adalah budaya mereka. Pelayan restoran, penjaga toko atau penjual bunga di kelok jalan selalu punya waktu untuk bercengkrama dengan (calon) pembeli. Kalau Anda tidak berbahasa Prancis seperti saya, sebaiknya berbelanja di depstor bersama turis-turis lain.
Teks & foto: WGM