
Keluhan panjang lebar itu keluar dari mulut seorang sahabat setelah anak remajanya tak kunjung menjawab telepon darinya. Belakangan si anak memberi alasan kalau ponselnya waktu itu sedang low batt, jadi dia matikan saja.
Menanggapi seorang ibu yang sedang emosional dan khawatir terhadap keselamatan anaknya – walaupun penyebabnya sudah jelas dan si anak juga ternyata tidak kenapa-napa — saya memutuskan lebih baik diam saja. Namun ada dua hal yang tertinggal di kepala saya dan menjadi pertanyaan yang mengusik. Pertama: Wajarkah bila kita bersikap paranoid dan melihat segala sesuatu hanya dari sudut ancaman? Kedua: apa benar tugas orang tua sekarang lebih berat ketimbang tugas orang tua di zaman-zaman sebelumnya?
Kalau kita melihat dunia melulu dari sudut menakutkan, memang wajar saja bila fokus kita hanya berkisar pada berbagai ancaman, yang terutama berpotensi mencelakakan orang-orang yang kita cintai. Risikonya, kita pun menjadi paranoid terhadap segala sesuatu. Kita menjadi seperti Atlas, dewa yang ditugaskan untuk memanggul di Bumi di pundaknya. Beraaat….
Padahal, hidup nyatanya terus berjalan, orang tetap menikah dan punya anak, teknologi terus berkembang, gaya hidup terus berganti-ganti, dan kita tetap bisa menikmati hidup dengan semua perubahan itu. Karena, kita – manusia dan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan — diberi kemampuan (syukurlah) untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. Kita, khususnya manusia, diberi akal budi untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul akibat berbagai perubahan – separah dan seberat apa pun perubahan itu. Bahkan, bayi yang masih berusia beberapa bulan pun mampu menyesuaikan diri dan survive bila ibunya tiba-tiba meninggal dunia dan tak bisa lagi menyusuinya. Meskipun awalnya rewel karena kehilangan ASI dan dekapan hangat ibunya, lama kelamaan dia akan menyesuaikan diri dan akhirnya mau minum susu formula dan digendong oleh orang lain selain ibunya.
Selama ini kita dibikin cemas dengan isu perubahan iklim, Bumi yang makin panas karena melelehnya es di Kutub Utara dan Selatan akibat efek rumah kaca. Para aktivis lingkungan hidup berteriak-teriak seolah Bumi sudah akan meledak sebentar lagi. Kita pun ikut kelimpungan.
Karena itu, saya bersyukur karena sempat membaca sebuah artikel di guardian.com, 3 Mei lalu. Artikel yang ditulis oleh Tamsin Edwards, pengajar mata kuliah environmental sciences di Universitas Terbuka di Inggris, itu memaparkan hasil sebuah konferensi ilmiah di Bavaria yang dihadiri para pakar lingkungan hidup sedunia. Anehnya, tulis Edwards, bila sebelumnya ada dua kubu yang selalu berseberangan – yaitu kubu yang mengatakan bahwa climate change sudah sangat darurat dan kubu yang menganggap bahwa orang terlalu membesar-besarkan efek perubahan iklim — dalam konferensi ini muncul kubu baru, yaitu mereka yang menganut aliran ‘The Lukewarm’ alias aliran ‘hangat-hangat kuku’. Para lukewarmer ini tidak menyepelekan ancaman pemanasan Bumi, tapi juga tidak menganggap bahwa ‘kiamat’ sudah demikian dekatnya.
Mereka setuju bahwa karbon dioksida yang dihasilkan dari efek rumah kaca membuat Bumi makin panas, dan bahwa semua itu merupakan hasil ulah manusia, dan manusia perlu memperbaiki perlakuan buruknya terhadap Bumi. Namun, mereka juga percaya bahwa Bumi memiliki sensitivitas dan kemampuan tersendiri untuk menyesuaikan diri dan menahan gempuran karbon dioksida tersebut. Mungkin untuk sementara akan muncul kondisi chaos, misalnya dalam bentuk serangan hawa panas, serangan hawa dingin, gempa, gunung meletus, dan sebagainya di beberapa bagian Bumi, tapi itu semua dalam rangka Bumi mencapai keseimbangan baru. Nah, yang membuat Edwards terheran-heran, teori para lukewarmer itu justru disambut baik oleh dua kubu yang lain. Sungguh angin sejuk yang menyegarkan!
Jadi, benarkah tugas orang tua sekarang lebih berat daripada tugas para orang tua dari generasi-generasi sebelumnya? Hati-hati, Anda bisa disambit sandal bila mengatakan hal itu di depan ayah, ibu, nenek, kakek, atau orang-orang dari generasi sebelum kita. Mereka justru akan akan mengatakan betapa beruntungnya dan betapa mudahnya hidup yang dijalani oleh anak-anak dan cucu-cucu mereka sekarang.
Ibu atau nenek kita yang hidup di zaman penjajahan Jepang, misalnya, harus berakrobat untuk menyediakan pangan yang cukup untuk anak-anaknya, di tengah ancaman kelaparan yang melanda negeri ini. Banyak wanita berpendidikan – terutama di daerah — yang terpaksa berhenti sekolah karena tak mau terlihat oleh para prajurit Jepang yang tak tahan melihat wanita-wanita muda.
Di zaman perang kemerdekaan, para ibu harus rela melepas putra-putra mereka untuk ikut berperang, tentunya dengan risiko besar anaknya tewas. Di sepanjang tahun 1960-an, sebelum, saat, dan usai pecahnya Gerakan 30S/PKI, kondisi keamanan di seluruh negeri benar-benar chaos. Pembantaian massal pasca G30S/PKI terhadap orang-orang yang diduga berhaluan komunis, dan orang-orang yang menghilang tanpa bekas, membuat para orang tua cemas dan ketakutan akan nasib anak-anak dan keluarganya.
Memasuki awal ‘70-an, ketika perekonomian Indonesia mulai bangkit, tantangan yang dihadapi orang tua lain lagi beratnya. Di masa ini, para ibu sudah mulai banyak yang bekerja di luar rumah, dan dengan demikian mereka harus berani melepas anak-anaknya yang masih kecil untuk naik angkot sendiri ke sekolah. Memang saat itu jalanan belum ramai, tapi tetap saja sesuatu yang baru akan menimbulkan rasa cemas. Apalagi di zaman itu berita-berita tentang penculikan anak banyak beredar. Tahun ’70-an juga masa yang rawan bagi remaja akibat masuknya aliran kebebasan (flower generation) yang super bebas dari Barat, sehingga banyak orang tua harus mengawasi anak-anak mereka dengan ketat.
Nah, itu baru sebagian kecil contoh, dan itu baru di Indonesia. Di luar sana keadaan tentu tak jauh berbeda dengan kita, bahkan bisa jadi lebih parah. Karena itu, kesimpulannya, setiap zaman memiliki tantangan masing-masing, dan setiap orang tua memiliki kecemasan tersendiri terhadap nasib dan keselamatan anak-anak mereka. Namun, meskipun melalui banyak trial and error, nyatanya sebagian besar dari mereka berhasil melewatinya dengan selamat. Karena, sesungguhnya manusia adalah makhluk yang tangguh, tahan banting, dan selalu mencari segala cara untuk survive.
Jadi, jangan ge-er dulu dengan mengatakan bahwa orang tua zaman sekarang tugasnya paling berat dibanding para orang tua dari generasi-generasi sebelumnya.
Teks: Tina Savitri
Foto: TPGNews