Ini memang tujuan utama saya datang ke Liverpool. Meskipun saya masih balita ketika Beatles bubar (1970), saya termasuk ‘khatam’ lagu-lagu mereka. Setelah mengunjungi salah satu museum Beatles, yaitu The Beatles Story, saya bersiap mengikuti tur. Tur yang saya pilih (dari berbagai tur yang ada) adalah The Magical Mystery Tour – ini judul salah satu lagu Beatles di album Sgt. Pepper’s Lonely Heart Club Band — yang tiketnya saya beli lewat internet.
Sebuah bus besar berwarna kuning cerah bertuliskan The Magical Mystery Tour sudah menunggu di depan kantor penyelenggara tur di Albert Doc. Awalnya saya pikir penumpangnya hanya beberapa orang saja, karena selain kami berdua, saya hanya melihat empat turis Jepang dan dua turis Jerman yang menunggu di depan bus. Tapi tak lama kemudian datang sebuah bus besar berisi para wisatawan dari Amerika. Separuhnya sudah berusia di atas 60-an – generasi yang mengalami masa kejayaan Beatles — tapi separuhnya lagi berusia 30-40-an, bahkan ada beberapa remaja. Lucunya, para remaja itu tak kalah antusias mengikuti tur ini. Buktinya mereka hafal dan ikut menyanyikan lagu-lagu Beatles yang diputar di bus selama perjalanan.
Kalau Anda bukan fans Beatles atau tidak banyak mengenal lagu-lagu mereka, mungkin tur ini tidak menarik. Namun bila Anda seorang penggemar berat Beatles seperti saya, tur ini benar-benar membuat saya terbang ke surga. Bagaimana tidak, kami diajak mengunjungi 251 Menlove Avenue, rumah tempat John Lennon menghabiskan masa kecilnya bersama bibi dan pamannya, Mimi dan George Smith. Orang tuanya bercerai dan ibunya lebih suka bertualang cinta, sementara ayahnya, seorang pelaut-pedagang, sering bepergian. Namun rumah ini sudah beberapa lama ditutup untuk umum. Jadi kami hanya bisa melihat dari jendela bus.
Rumah di Forthlin Road 20 adalah tujuan kami selanjutnya. Ini adalah rumah masa kecil dan remaja Paul McCartney, sekaligus tempat ia berlatih musik bersama John Lennon dan George Harrison sebelum mereka membentuk band. Sebenarnya kami sudah mendapat izin untuk melihat-lihat rumah itu, tapi sayangnya saat itu sedang ada beberapa tamu penting di sana (dengar-dengar dari parlemen), sehingga kami hanya bisa masuk sampai halamannya. Baik rumah John Lennon maupun rumah Paul McCartney kini masuk dalam daftar heritage nasional, terlihat dari plang ‘The National Trust’ yang terpasang di halamannya. Sayangnya rumah masa kecil George Harrison kini sudah jadi milik orang lain, sementara rumah Richard Starkey alias Ringo Starr sudah lama dirubuhkan, sehingga kami tidak bisa mengunjunginya.
Sepanjang perjalanan, seorang pemandu bertubuh gemuk yang ramah, dengan bahasa Inggris berdialek pesisir yang lucu, menceritakan tentang latar belakang keluarga keempat musisi itu ketika masih ‘pemuda kampung’, cerita-cerita di balik lagu-lagu mereka, berikut gosip-gosipnya yang seru. Lagu Strawberry Field Forever menggema ketika kami melewati wilayah pedesaan dan bus berhenti di depan pagar besi berwarna merah. Di tembok kiri-kanannya ada tulisan kecil ‘Strawberry Field’ plus coretan-coretan graffiti. Dari balik pagar terlihat sebuah kebun yang rimbun dan agak tak terurus. Rupanya tempat ini salah satu tempat main favorit John Lennon di masa kecil, sehingga ia kemudian menggubah lagu berjudul Strawberry Fields Forever.
Lain lagi dengan lagu Penny Lane. Judul ini diambil dari nama sebuah jalan kecil dan sepi di sebuah wilayah suburban Liverpool. Jalanan itu memanjang sampai ke pasar desa (market place) yang hangat; ada barber shop, pos petugas pemadam kebakaran, rumah seorang bankir yang suka naik sepeda motor, dan hal-hal lain yang disebutkan dalam lirik lagu tersebut. Kalau Anda seorang penggemar Beatles, pasti kenal dong, sepotong lirik lagu ini: “Penny Lane is in my ears and in my eyes. Wet beneath the blue suburban skies…” Dan tanpa disadari, (hampir) semua penumpang bus ikut bernyanyi, termasuk saya, hahaha…
Tur berakhir di Matthew Street yang merupakan pusat keramaian kota Liverpool. Di sepanjang jalan ini berderet pub-pub, salah satunya adalah Cavern Club yang merupakan tempat manggung awal The Beatles sebelum mereka hijrah ke London. Namun pub-pub lain juga ikut memajang berbagai atribut tentang Beatles, sehingga jalanan ini kerap disebut sebagai ‘Beatles Street’. Sebuah patung perunggu John Lennon setinggi manusia tampak menyandar di dinding gang, yang tentu saja dijadikan tempat selfie favorit oleh wisatawan. Tak jauh dari sana ada sebuah hotel bernama Hard Day’s Hotel – diambil dari judul lagu Hard Day’s Night. Di depannya ada papan besi yang mengiklankan acara afternoon tea di hotel tersebut, dengan foto hitam putih George Harrison sedang memegang cangkir teh. Ada-ada saja.
Warga Liverpool memang sangat bangga dengan The Beatles. Bukan hanya karena keempat pemuda itu berhasil menggangkat Liverpool ke mata dunia, tetapi juga karena semua personelnya berasal dari kelas pekerja. Tak heran bila mereka dijuluki sebagai ‘Our Working Class Heroes’. Seperti kata Andrew Blake tadi, “We, Liverpool people, are truly proud to be working class society.”