
“Ngapain ke Guatemala? Memangnya kamu nggak takut?” Itu adalah pertanyaan yang paling sering dilontarkan teman-teman ketika tahu saya akan mengunjungi negara itu, sendirian pula, pada awal Agustus tahun lalu. Selain Guatemala tidak termasuk dalam daftar tujuan wisata favorit wisatawan dunia – kecuali mungkin wisatawan dari Amerika Serikat (AS), karena hanya dibutuhkan empat jam penerbangan dari Los Angeles – Guatemala City, ibu kota negara ini, juga dikenal berbahaya karena merupakan salah satu dari lingkaran perdagangan narkoba di Amerika Tengah.
Sebenarnya saya datang ke Guatemala untuk mengikuti Foundry Photo Journalism Workshop yang berbasis di AS. Lima tahun terakhir ini saya hampir selalu berpartisipasi dalam workshop yang setiap tahunnya diselenggarakan di tempat yang berbeda-beda itu, dan tahun lalu Antigua menjadi tuan rumah. Jujur saja, saya sama sekali ‘buta’ tentang kota ini, tapi justru itulah yang membuat saya tertantang.
Antigua bisa dicapai hanya sekitar satu jam perjalanan mobil dari La Aurora International Airport (GUA) di Guatemala City. Dari sengatan udara panas di Guatemala City, tahu-tahu saya disambut oleh kesejukan yang menyenangkan saat memasuki kota Antigua. Meski di tengah-tengah musim panas, kota yang terletak di sebuah lembah ini tetap sejuk, karena dikelilingi oleh tiga gunung berapi: Agua, Acatenango, dan Fuego. Pemandangan ketiga gunung itu terlihat jelas di siang yang cerah dengan langit biru jernih itu. Pada siang hari temperaturnya sekitar 23 derajat Celcius dan di malam hari 21 derajat.

Dari catatan sejarah, Antigua semula adalah ibu kota Guatemala — bernama Santiago de Guatemala — didirikan pada awal abad ke-16, tepatnya tahun 1524. Berada di ketinggian 1.500 meter dpl, kota ini pernah hancur luluh akibat gempa bumi besar pada 1773, tapi untunglah beberapa monumen utamanya selamat dari kehancuran. Namun sejak itu ibu kota dipindahkan ke Guatemala City.
Arco de Catalina atau gerbang kota berwarna kuning cerah dengan menara jamnya segera mencuri perhatian saya. Bangunan peninggalan abad ke-17 ini rupanya bagian dari kompleks biara, dengan jalanan yang terbuat dari cobblestone yang rapi. Suasana santai juga langsung terasa, terlihat dari para penduduknya yang bergerak tanpa tergesa.
Antigua adalah kota antik yang ditahbiskan sebagai salah satu World Heritage Site oleh UNESCO, karena di sini banyak tersimpan gedung-gedung tua bergaya Spanish Baroque, peninggalan zaman kolonial Spanyol. Tidak terlalu bersih memang, tapi juga tidak kotor. Ada banyak hotel mewah serta hacienda-hacienda (rumah-rumah bergaya hispanik kolonial) yang eksotis milik para orang kaya. Tapi juga ada daerah-daerah miskin, meski tidak kumuh. Butut tapi menyenangkan.
Workshop yang saya ikuti jadwalnya sangat padat. Karena itu saya sengaja datang beberapa hari sebelumnya. Selain untuk mencari tambahan data, juga untuk menikmati kota ini. Dan saya beruntung karena pada saat itu di Antigua sedang berlangsung festival musim panas yang dimeriahkan oleh seluruh warga setempat, khususnya kaum mudanya. Mereka berpawai dalam kostum warna-warni yang menor, mengelilingi alun-alun kota yang disebut Parque Central atau Central Park.
Penduduk asli Guatemala adalah keturunan Indian Maya. Secara umum mereka berkulit gelap, bertubuh gempal, dan cenderung pendek. Karena selama ratusan tahun dijajah Spanyol, sebagian besar penduduknya kini beragama Katolik. Tak heran bila gereja ada di mana-mana, di setiap sudut kota. Yang paling menarik perhatian saya adalah Iglesia del Carmen atau Gereja Carmen yang tinggal fasadnya. Gereja ini didirikan tahun 1728, namun hancur akibat gempa bumi. Namun tak seperti fasad gereja St. Paul di Makau yang dirawat dengan baik, pelataran Iglesia del Carmen agak telantar, dan malah dijadikan pasar tumpah oleh warga setempat setiap pagi sampai malam. Di sinilah para pedangan menggelar lapaknya di atas jalanan batu, menjual berbagai macam cendera mata, khususnya aneka tenunan setempat – yang di mata saya motifnya mirip dengan tenun dari wilayah Nusa Tenggara Timur.
Yang juga tak kalah menarik adalah sebuah bangunan – juga berwarna kuning — yang sehari-hari dijadikan sebagai public laundry. Ada sebuah kolam berair bersih yang dipecah menjadi beberapa saluran. Ada yang khusus untuk dijadikan air minum, ada juga yang dijadikan tempat mencuci baju oleh warga setempat. Konon, di zaman dulu, para pedagang beserta kuda mereka yang melewati Antigua, beristirahat sejenak dan menumpang minum di kolam ini – hm, sepertinya mirip latar film-film Zorro. Sayangnya, saya tak menemukan banyak informasi tentang public laundy ini. Tapi kalau ditilik dari bangunannya, usianya tentu sudah ratusan tahun pula.
Foto: Dilla Djalil-Daniel