
Pastinya banyak wisatawan pernah mengunjungi Danau Toba. Tapi ternyata lebih banyak yang hanya mampir untuk sakadar menikmati pemandangan danau dari Parapat -kota di tepian Danau Toba. Padahal hanya dibutuhkan 15 menit naik feri untuk mencapai pulau itu.
Mengikuti wisatawan lain, saya memilih berangkat dari dermaga Parapat menuju dermaga di Pulau Samosir, karena jaraknya paling dekat. Tapi Anda juga bisa berangkat dari Ajibata menuju dermaga Tomok. Rute ini banyak digunakan oleh penduduk setempat. Dan ternyata Pulau Samosir juga dapat dicapai lewat jalan darat, yaitu melalui Pangururan, titik di mana daratan Pulau Samosir dan Pulau Sumatra dihubungkan dengan jembatan kecil.
Pulau Samosir adalah sebuah pulau vulkanik yang seolah 'menclok' di tengah-tengah Danau Toba. Dari catatan arkeologis, danau dan pulau ini terbentuk dari letusan gunung berapi mahadahsyat sekitar 69.000-77.000 tahun lalu. Dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut menjadikan pulau ini berudara sejuk cenderung dingin. Secara administratif, Pulau Samosir termasuk dalam Kabupaten Samosir -kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir- yang berdiri sejak tahun 2003 lalu, dengan Pangururan sebagai ibu kota kabupaten. Kabupaten Samosir sendiri terdiri dari 9 kecamatan: Harian, Nainggolan, Onan Rungu, Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mulamula, Simanindo, dan Sitio-tio. Enam kecamatan berada di Pulau Samosir dan 3 kecamatan ada di wilayah lingkar luar Danau Toba.
Karena nyaris tak ada papan penunjuk arah, hanya berbekal sepotong peta hasil fotokopian, bisa dibilang saya hanya menggelinding mengikuti roda sepeda motor. Tak lama setelah meninggalkan hotel, saya langsung disambut dengan pemandangan padang rumput yang menghijau dengan latar belakang danau yang biru damai. Sebuah gereja tua berdiri persis di tepi danau, sementara beberapa kerbau merumput di dekatnya. Saya termangu-mangu memandanginya. Pemandangan itu persis seperti latar film serial TV jadul, Little House on The Prairie, yang pernah mengisi masa kecil saya. Di antara padang rumput, terdapat hutan-hutan kecil, semak-semak, dan pemukiman penduduk -lengkap dengan tugu dan prasasti penanda wilayah marga.
Sayup-sayup, dari kejauhan, saya mendengar suara gondang sabagunan -ensambel musik tradisional Batak yang terbuat dari bambu. Itu tandanya ada margondang pesta atau perhelatan. Penasaran, saya mengikuti arah suara itu, sampai akhirnya tiba di sebuah keramaian di suatu pemukiman penduduk. Ah, rupanya sedang ada perhelatan perkawinan! Meski tak diundang, diam-diam saya ikut menyelip di antara para undangan. Kebetulan pada saat itu keluarga pengantin wanita sedang mengadakan upacara mengulosi (menyampirkan ulos ke pundak pengantin pria) sembari menari tor-tor di halaman rumah. Pemberian ulos itu bermakna memberikan tanggung jawab kepada pengantin pria untuk menjaga istrinya seumur hidup. Meski sebelumnya beberapa kali menghadiri upacara serupa di Jakarta, saya merasa beruntung karena bisa menyaksikannya langsung di tanah aslinya!
Mengikuti wisatawan lain, saya memilih berangkat dari dermaga Parapat menuju dermaga di Pulau Samosir, karena jaraknya paling dekat. Tapi Anda juga bisa berangkat dari Ajibata menuju dermaga Tomok. Rute ini banyak digunakan oleh penduduk setempat. Dan ternyata Pulau Samosir juga dapat dicapai lewat jalan darat, yaitu melalui Pangururan, titik di mana daratan Pulau Samosir dan Pulau Sumatra dihubungkan dengan jembatan kecil.
Pulau Samosir adalah sebuah pulau vulkanik yang seolah 'menclok' di tengah-tengah Danau Toba. Dari catatan arkeologis, danau dan pulau ini terbentuk dari letusan gunung berapi mahadahsyat sekitar 69.000-77.000 tahun lalu. Dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut menjadikan pulau ini berudara sejuk cenderung dingin. Secara administratif, Pulau Samosir termasuk dalam Kabupaten Samosir -kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir- yang berdiri sejak tahun 2003 lalu, dengan Pangururan sebagai ibu kota kabupaten. Kabupaten Samosir sendiri terdiri dari 9 kecamatan: Harian, Nainggolan, Onan Rungu, Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mulamula, Simanindo, dan Sitio-tio. Enam kecamatan berada di Pulau Samosir dan 3 kecamatan ada di wilayah lingkar luar Danau Toba.
Karena nyaris tak ada papan penunjuk arah, hanya berbekal sepotong peta hasil fotokopian, bisa dibilang saya hanya menggelinding mengikuti roda sepeda motor. Tak lama setelah meninggalkan hotel, saya langsung disambut dengan pemandangan padang rumput yang menghijau dengan latar belakang danau yang biru damai. Sebuah gereja tua berdiri persis di tepi danau, sementara beberapa kerbau merumput di dekatnya. Saya termangu-mangu memandanginya. Pemandangan itu persis seperti latar film serial TV jadul, Little House on The Prairie, yang pernah mengisi masa kecil saya. Di antara padang rumput, terdapat hutan-hutan kecil, semak-semak, dan pemukiman penduduk -lengkap dengan tugu dan prasasti penanda wilayah marga.
Sayup-sayup, dari kejauhan, saya mendengar suara gondang sabagunan -ensambel musik tradisional Batak yang terbuat dari bambu. Itu tandanya ada margondang pesta atau perhelatan. Penasaran, saya mengikuti arah suara itu, sampai akhirnya tiba di sebuah keramaian di suatu pemukiman penduduk. Ah, rupanya sedang ada perhelatan perkawinan! Meski tak diundang, diam-diam saya ikut menyelip di antara para undangan. Kebetulan pada saat itu keluarga pengantin wanita sedang mengadakan upacara mengulosi (menyampirkan ulos ke pundak pengantin pria) sembari menari tor-tor di halaman rumah. Pemberian ulos itu bermakna memberikan tanggung jawab kepada pengantin pria untuk menjaga istrinya seumur hidup. Meski sebelumnya beberapa kali menghadiri upacara serupa di Jakarta, saya merasa beruntung karena bisa menyaksikannya langsung di tanah aslinya!
Teks: Tina Savitri
Foto: Fotosearch