Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Sri Lanka memiliki sebuah hutan safari bernama Wilpattu National Park. Mata anak saya langsung berbinar-binat ketika ayahnya mengajak kami ke sana. "Kita akan berburu macan tutul," bisik suami saya, penuh rahasia. Menumpang minivan, kami pun berkendara sekitar 4,5 jam ke utara Colombo menuju Wilpattu National Park untuk menikmati Leopard Safari.

Tentu saja kami tidak benar-benar berburu macan tutul. Setiba di Wipattu menjelang sore, kami tidak diajak menginap di hotel, melainkan di sebuah tenda terpal yang dipasang di pinggir hutan -tentunya di bagian yang aman dari serangan binatang buas. Harus tinggal di hutan selama 3 hari 2 malam tanpa fasilitas listrik dan wi-fi, awalnya saya menduga anak remaja saya -dari generasi internet- pasti tidak betah dan merengek minta pulang.
Tapi, di luar dugaan, dia justru sangat excited dan menganggapnya sebagai petualangan yang seru. Faktanya, justru karena terputus total dari dunia luar, bonding di antara kami bertiga semakin kuat, karena kami jadi lebih banyak saling bercerita dan bercanda. Di malam hari, kami membuat api unggun dan membakar marshmallow. Kami juga menciicpi beragam masakan lokal yang menggugah selera, yang disediakan oleh pihak pengelola safari. Cita rasanya mirip masakan India, tapi bumbu-bumbunya tidak terllau tajam. Karena dimakan dengan nasi putih, terasa pas di lidah Melayu saya.
Keesokan harinya sekitar pukul 5.30 pagi, kami naik jip safari untuk berkeliling Willpatu National Park, yang merupakan taman safari terbesra dan tertua di Sri Lanka. Untuk melihat binatang-binatang liar langsung di habitat asli mereka. Kami melambai-lambai kepada rombongan gajah, burung merak, rusa, dan monyet. Kami juga bertemu seekor macan tutul, tapi dia sedang asyik tidur siang di batang sebuah pohon di kejauhan. Lucunya, saking terpukaunya melihat binatang-binatang itu, saya nyaris lupa mengambil foto. Kembali ke perkemahan, malam sudah menjelang dna alam sekitar menjadi gelap gulita. Dengan penerangan lampu minyak -untung tidak ada nyamuk- kami duduk berkumpul di luar tenda untuk mengobrol sampai tiba waktu tidur.
Waktu tiga hari dua malam menginap di tenda di tengah hutan ternyata berlalu begitu cepat. Ketika kami mulai menikmati petualangan kami, tahu-tahu waktu liburan sudah habis. Kembali ke Colombo, kami tak perlu lagi melewati perjalanan yang melelahkan dengan mobil, karena sebuah water taxi atau pesawat terbang amfibi kecil telah menunggu kami di dermaga. Kami harus kembali ke kehidupan nyata.
Nita Strudwick seperti diceritakan kepada Tina Savitri
Baca juga: Colombo yang Hening dan Ramah

Tentu saja kami tidak benar-benar berburu macan tutul. Setiba di Wipattu menjelang sore, kami tidak diajak menginap di hotel, melainkan di sebuah tenda terpal yang dipasang di pinggir hutan -tentunya di bagian yang aman dari serangan binatang buas. Harus tinggal di hutan selama 3 hari 2 malam tanpa fasilitas listrik dan wi-fi, awalnya saya menduga anak remaja saya -dari generasi internet- pasti tidak betah dan merengek minta pulang.
Tapi, di luar dugaan, dia justru sangat excited dan menganggapnya sebagai petualangan yang seru. Faktanya, justru karena terputus total dari dunia luar, bonding di antara kami bertiga semakin kuat, karena kami jadi lebih banyak saling bercerita dan bercanda. Di malam hari, kami membuat api unggun dan membakar marshmallow. Kami juga menciicpi beragam masakan lokal yang menggugah selera, yang disediakan oleh pihak pengelola safari. Cita rasanya mirip masakan India, tapi bumbu-bumbunya tidak terllau tajam. Karena dimakan dengan nasi putih, terasa pas di lidah Melayu saya.
Keesokan harinya sekitar pukul 5.30 pagi, kami naik jip safari untuk berkeliling Willpatu National Park, yang merupakan taman safari terbesra dan tertua di Sri Lanka. Untuk melihat binatang-binatang liar langsung di habitat asli mereka. Kami melambai-lambai kepada rombongan gajah, burung merak, rusa, dan monyet. Kami juga bertemu seekor macan tutul, tapi dia sedang asyik tidur siang di batang sebuah pohon di kejauhan. Lucunya, saking terpukaunya melihat binatang-binatang itu, saya nyaris lupa mengambil foto. Kembali ke perkemahan, malam sudah menjelang dna alam sekitar menjadi gelap gulita. Dengan penerangan lampu minyak -untung tidak ada nyamuk- kami duduk berkumpul di luar tenda untuk mengobrol sampai tiba waktu tidur.
Waktu tiga hari dua malam menginap di tenda di tengah hutan ternyata berlalu begitu cepat. Ketika kami mulai menikmati petualangan kami, tahu-tahu waktu liburan sudah habis. Kembali ke Colombo, kami tak perlu lagi melewati perjalanan yang melelahkan dengan mobil, karena sebuah water taxi atau pesawat terbang amfibi kecil telah menunggu kami di dermaga. Kami harus kembali ke kehidupan nyata.
Nita Strudwick seperti diceritakan kepada Tina Savitri
Baca juga: Colombo yang Hening dan Ramah