Keindahan Pantai Ora pertama kali saya dengar dari seorang teman yang baru saja kembali dari sana. Begitu terkesannya dia akan keindahan pantai itu sehingga saya jadi penasaran untuk membuktikannya sendiri. Pada pengujung Agustus lalu, saya pun berangkat ke sana bersama lima sahabat saya, perempuan semua!
Untuk mencapai Pantai Ora, kami memang harus melewati perjalanan panjang yang lumayan melelahkan. Start dari Kota Ambon, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju Pelabuhan Humala di Desa Tulehu, Pulau Ambon. Selanjutnya, kami menumpang kapal motor menuju Pulau Seram -yang membuat kami teler berat selama berjam-jam karena harus menghadapi ombak yang besar-besar. Setiba di Pulau Seram, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil selama dua jam lagi menuju Pelabuhan Amahai, dan kembali naik perahu motor menuju Pantai Ora yang terletak di bagian utara Pulau Seram, kepulauan Maluku.
Namun perjalanan panjang yang sangat menguras tenaga (dan emosi( itu terbayar lunas -berikut bonusnya- begitu kami menjejakkan kaki di Pantai Ora. Rasanya kata-kata semata tak cukup untuk menggambarkan keindahan yang sebenarnya. Air lautnya hijau muda, begitu bening seperti agar-agar. Dari permukaan kita bisa melihat terumbu karang di dasarnya. Juga ikan-ikan yang berenang berseliweran. Pantai yang terletak di sebuah teluk kecil ini juga dikelilingi oleh tebing-tebing batu karang tanpa nama -hanya disebut sebagai tebing batu oleh masyarakat setempat.
Sederet bungalow kayu terapung milih Ora Resort -yang sekaligus mengorganisir perjalanan kami dari Ambon- dibangun menjorok ke laut. Hanya ada tujuh bungalow dengan fasilitas standar namun bersih. Dengan listrik yang hanya tersedia sampai pukul 8 malam, tanpa AC, TV, dan tanpa sinyal Wi-Fi, pengunjung memang harus siap terputus koneksi dari dunia luar selama berada di Pantai Ora. Namun, memang itulah yang saya cari. Karena saya tak ingin liburan saya diinterupsi oleh urusan kantor di Jakarta.
Karena kami tiba di Pantai ora pada pukul 2 siang, maka agar tak buang-buang waktu, Once -guide kami- segera mengajak kami untuk berenang dan snorkeling di laut sekitar resor. Ajakan ini sempat membuat empat teman saya menciut ketakutan. Pasalnya, ada yang mengaku takut berenang di laut, meskipun pihak resor menyediakan pelampung. Apakah mereka kemudian menolak tawaran menari itu? Tentu tidak!
Dengan sampan kayu, kami dibawa ke sebuah pondok kayu kecil yang dibangun di tengah laut, sekitar 500 meter dari pantai. Meksi dasarnya terlihat jelas, kami tak tahu persis sedalam apa laut itu. Celakanya, Once sengaja tak mau mengatakannya. "Nona-nona harus mencari tahu sendiri," katanya sambil senyum-senyum. Terang saja teman-teman saya makin ciut nyalinya. Dan karena saya satu-satunya yang sering berenang dan menyelam di laut, saya pun didaulat untuk nyemplung duluan. Ahaii... ternyata airnya hanya setinggi dada, atau sekitar 1,2 meter saja. Melihat itu, barulah teman-teman saya beramai-ramai ikut terjun ke laut!
Hari itu kami akhiri dengan menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah dari dermaga. Dan setelah makan malam, kami bernyanyi-nyanyi dengan iringan gitar yang dipertik oleh pegawai resor.
Foto: Indira Sarasvati
Untuk mencapai Pantai Ora, kami memang harus melewati perjalanan panjang yang lumayan melelahkan. Start dari Kota Ambon, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju Pelabuhan Humala di Desa Tulehu, Pulau Ambon. Selanjutnya, kami menumpang kapal motor menuju Pulau Seram -yang membuat kami teler berat selama berjam-jam karena harus menghadapi ombak yang besar-besar. Setiba di Pulau Seram, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil selama dua jam lagi menuju Pelabuhan Amahai, dan kembali naik perahu motor menuju Pantai Ora yang terletak di bagian utara Pulau Seram, kepulauan Maluku.
Namun perjalanan panjang yang sangat menguras tenaga (dan emosi( itu terbayar lunas -berikut bonusnya- begitu kami menjejakkan kaki di Pantai Ora. Rasanya kata-kata semata tak cukup untuk menggambarkan keindahan yang sebenarnya. Air lautnya hijau muda, begitu bening seperti agar-agar. Dari permukaan kita bisa melihat terumbu karang di dasarnya. Juga ikan-ikan yang berenang berseliweran. Pantai yang terletak di sebuah teluk kecil ini juga dikelilingi oleh tebing-tebing batu karang tanpa nama -hanya disebut sebagai tebing batu oleh masyarakat setempat.
Sederet bungalow kayu terapung milih Ora Resort -yang sekaligus mengorganisir perjalanan kami dari Ambon- dibangun menjorok ke laut. Hanya ada tujuh bungalow dengan fasilitas standar namun bersih. Dengan listrik yang hanya tersedia sampai pukul 8 malam, tanpa AC, TV, dan tanpa sinyal Wi-Fi, pengunjung memang harus siap terputus koneksi dari dunia luar selama berada di Pantai Ora. Namun, memang itulah yang saya cari. Karena saya tak ingin liburan saya diinterupsi oleh urusan kantor di Jakarta.
Karena kami tiba di Pantai ora pada pukul 2 siang, maka agar tak buang-buang waktu, Once -guide kami- segera mengajak kami untuk berenang dan snorkeling di laut sekitar resor. Ajakan ini sempat membuat empat teman saya menciut ketakutan. Pasalnya, ada yang mengaku takut berenang di laut, meskipun pihak resor menyediakan pelampung. Apakah mereka kemudian menolak tawaran menari itu? Tentu tidak!
Dengan sampan kayu, kami dibawa ke sebuah pondok kayu kecil yang dibangun di tengah laut, sekitar 500 meter dari pantai. Meksi dasarnya terlihat jelas, kami tak tahu persis sedalam apa laut itu. Celakanya, Once sengaja tak mau mengatakannya. "Nona-nona harus mencari tahu sendiri," katanya sambil senyum-senyum. Terang saja teman-teman saya makin ciut nyalinya. Dan karena saya satu-satunya yang sering berenang dan menyelam di laut, saya pun didaulat untuk nyemplung duluan. Ahaii... ternyata airnya hanya setinggi dada, atau sekitar 1,2 meter saja. Melihat itu, barulah teman-teman saya beramai-ramai ikut terjun ke laut!
Hari itu kami akhiri dengan menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah dari dermaga. Dan setelah makan malam, kami bernyanyi-nyanyi dengan iringan gitar yang dipertik oleh pegawai resor.
Foto: Indira Sarasvati