Lulus dari Desain Grafis Universitas Trisakti, Vivi selalu tertarik pada seni dan desain. Setelah sepuluh tahun menimba pengalaman di balai lelang Sotheby, ia mulai menjalankan galeri seninya sendiri, viviyip artroom. Awalnya, galeri itu menempati sebuah ruang mungil di daerah perkantoran dan toko di Warung Buncit yang sibuk. Namun semenjak Mei 2014, ia memindahkan galerinya jauh ke selatan, satu plot di Bintaro yang lebih tenang. Sebuah bangunan yang tak hanya berfungsi sebagai galeri, melainkan juga tempat tinggal.
Terletak di lingkungan perumahan, arsitektur bangunan ini langsung terlihat berbeda. Dari luar, kita akan mendapati tampak yang “industrial” - menyerupai bangunan pabrik atau gudang: atap dari polivinil klorida atau biasa disebut PVC, struktur tiang dan balok besi, dinding-dinding bata ringan tanpa plesteran, krawangan yang dibiarkan telanjang, pintu lipat dari besi, dan jendela-jendela besar dari bekas pintu kontainer - masih dengan cap keterangan kapasitas maksimal dan ijin transport dari bea cukai.
Tapi, sesuai namanya, “artroom”, kita boleh berharap lebih pada bangunan ini dari sekedar apa yang ditampilkan oleh kulitnya. Di lantai dasar, tak terlihat satu furnitur pun. Beberapa karya dari Agan Harahap dan Arkiv Vimansa berjejer di dinding. Beberapa karya lagi, masih terbungkus rapi, menumpuk di sudut ruang. Hari-hari ini, orang jarang pergi ke galeri seni, jelas Vivi. Sebagian besar bisnis dijalankan lewat internet. Sering pula, art dealer mengirim karya seni ke calon pembeli untuk dilihat. Sehingga ruang bawah ini, lanjut Vivi, memang dimaksudkan hanya untuk mengumpulkan karya seni. “Juga untuk latihan silat,” tambahnya. Suami Vivi, Bre Redana, memang seorang pendekar silat Bangau Putih.
Sebuah pantry kecil diletakkan menempel pada bagian belakang rumah, bersisian dengan taman kecil dengan tetumbuhan yang juga masih kecil-kecil. Satu tahun lebih memang waktu yang singkat dalam usia pohon. Tapi di hari yang tak panas, nyaman sekali untuk duduk-duduk di sana. Dan meskipun sore itu Vivi kehabisan air, ia punya cukup banyak koleksi anggur. Salah satunya adalah Sababay, anggur lokal dari Gianyar, Bali, yang disuguhkan dingin dan segar.
Lantai dua adalah cerita lain. Ekspresi keras dari langgam industrial melunak dengan perabot-perabot yang nyaman dan padu padan eklektik yang berani. Kita akan jumpai sofa klasik off white yang posh bersisian dengan lounge chair dan spin lounger berwarna cerah dari accupunto yang ultra modern. Di sisi lain, kursi-kursi jengki dijodohkan dengan meja-cum-ottoman dari anyaman yang berkesan etnik. Rak bergaya retro dari besi membagi dua ruang secara ringan. Meskipun terlihat gaya, rak tersebut ternyata buatan tukang besi Ciawi, dengan arahan dari Bre Redana.
“Kamar tidur” mungkin istilah yang kurang tepat, karena di sini, Vivi menyisakan area kosong yang cukup luas tempat ia mengolah raga – yoga, atau sekedar leyeh-leyeh membaca. Sambil bercerita, Vivi duduk santai di bangku panjang di samping jendela. Kelihatan sekali ia menikmati area itu sebagai “me space”-nya. Saat-saat langka, mungkin, di sela jadwalnya yang padat (ia baru pulang dari Barcelona dan berencana ke Singapore keesokan harinya).
Entah nama apa yang bisa kita berikan pada bangunan serupa gudang serupa pabrik yang berfungsi sebagai rumah juga galeri itu. Namun, lepas dari ekspresi arsitekturnya yang keras, tempat ini menyimpan atmosfir yang kasual dan rileks. Dua hal vital yang dibutuhkan seorang dengan ritme hidup sesibuk Vivi Yip.
Foto: Dennie Ramon