Banyak wanita bersikap acuh tak acuh alias cuek terhadap uang pribadinya, sekalipun mungkin sehari-hari mengurusi miliaran rupiah uang perusahaan. Membuat rencana keuangan rumah tangga per bulan –apalagi per tahun– dianggap merepotkan. Menyusun pembukuan rumah tangga? Mana sempat, dan buat apa? Hidup ini cuma sekali, sebaiknya dinikmati saja mumpung rezeki masih terbuka.
Rani juga begitu. Kedudukan tinggi di kantor membuatnya leluasa mengeluarkan uang dan menikmati gaya hidup ‘kelas atas’ yang identik dengan pemborosan. Uang mengalir ke rekeningnya, lalu keluar lagi dengan derasnya. Barulah dia tersentak ketika perusahaannya melakukan re-organisasi dan Rani diminta untuk pensiun dini. Rani gelagapan. Selama ini uangnya masuk dari satu sumber saja. Dan kini dengan tertutupnya sumber itu, ia seperti buntu. Memang ada uang golden shakehand dari perusahaan. Tapi setelah dihitung, ternyata –kalaupun didepositokan– hasil yang diperoleh per bulan tak sampai seperenam gajinya selama ini.
Kisah Sanny lain lagi. Ketika terjadi krisis moneter dan bank-bank menawarkan bunga deposito yang gila-gilaan, dia membiarkan uangnya hanya ‘beristirahat’ di tabungan. Berburu bunga rasanya kok, materialistis. Seakan-akan mencari kesempatan dalam kesempitan. Saran abangnya, Harry, untuk memindahkan uangnya ke deposito, tidak diindahkan.
Sementara itu Harry dengan gesit membuka deposito di bank swasta. Dia tidak segan-segan bernegosiasi dengan bank untuk mendapat bunga lebih besar, mengganti-ganti jangka waktu deposito, bahkan memindahkan uangnya ke bank lain bila lebih menguntungkan. Harry meraup untung besar selama dua tahun keadaan tidak normal itu, sementara uang Sanny hanya merayap pelan bagai siput.
(bersambung ke Jangan Cuek Soal Uang dan Investasi [2])