.jpg)
Yang ditodong merasa tersanjung, meskipun kita harus menyiapkan bujet tak sedikit. Kita tak sadar kalau sebenarnya telah menjadi korban intimidasi sosial.
“Mau tugas ke luar negeri? Asyik… Jangan lupa oleh-olehnya, ya….”
“Menang, ya? Aih, selamat…. Traktir, dong.”
Pastinya sekali waktu Anda pernah ‘ditodong’ untuk membawakan oleh-oleh atau menraktir, oleh orang-orang di sekitar Anda: Keluarga (besar), para sahabat, kolega kantor, bahkan tetangga rumah.
Dulu, ketika saya baru bekerja sebagai wartawan dan mendapat tugas-tugas pertama ke luar kota dan luar negeri, saya juga pernah merasa terbebani untuk memenuhi permintaan oleh-oleh dari orang-orang terdekat. Apalagi uang saku dari kantor hanya pas-pasan. Terpaksalah saya membobol tabungan untuk membeli dolar tambahan.
Padahal, oleh-oleh saya hanya untuk tak lebih 15 orang; untuk teman-teman di kantor saya anggap satu paket, biasanya berupa cokelat atau serenceng gantungan kunci atau magnet kulkas murah meriah.
Kalah jauh dibandingkan daftar oleh-oleh yang disusun oleh seorang teman dari media lain saat sama-sama bertugas ke Bangkok. Saya sebut “disusun,” karena dia punya daftar super panjang orang yang harus diberi oleh-oleh, yang ditulis di kertas ukuran folio dilipat empat.
Ketika saya intip sekilas, waduh…, jumlahnya lebih dari 50 orang! Siapa saja, tuh? Teman saya tertawa. “Semua…,” katanya. “Ibu, bapak, suami, anak-anak, gurunya anak-anak, kakak-kakak dan adik-adik, asisten rumah tangga, teman kantor, teman pengajian, teman arisan, Pak RT, beberapa tetangga….” Lalu dia menambahkan, “Celakanya, oleh-oleh buat diri sendiri justru sering lupa, ha ha ha….”
Buset, nggak salah, tuh? Dia tertawa lagi. “Ah, oleh-oleh seadanya saja, kok. Yang penting ‘pista’, tipis tapi rata, semua kebagian,” jelasnya. Alhasil, saat pulang ke Tanah Air, kopernya sudah ‘beranak’. Maksudnya, ia sampai membeli satu koper baru, khusus untuk menampung barang belanjaan dan oleh-oleh.
Tradisi membeli oleh-oleh saat kita ke luar kota atau luar negeri, lalu membagi-bagikannya untuk orang ‘sekampung’, ternyata bukan hanya ada di Indonesia. Tradisi ini juga ada di beberapa negara lain, khususnya yang ikatan kekerabatannya masih kuat dan tingkat ekonominya masih menengah ke bawah; sehingga hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa berkunjung ke luar kota apalagi ke luar negeri. Sebut saja India, Cina, Malaysia, Thailand.
Saya jadi ingat tulisan Umar Kayam dalam buku kumpulan kolomnya, “Mangan Ora Mangan Kumpul.” Menurut sastrawan sekaligus profesor sosiologi dari Universitas Gajah Mada ini, tradisi oleh-oleh ini memang menggambarkan sebuah masyarakat yang masih guyub dan terikat satu sama lain.
Pada satu sisi, hal ini memberikan rasa hangat di hati karena kita merasa diperhatikan oleh orang-orang sekitar, sehingga kita pun terdorong untuk membalas perhatian itu. Tapi, meski jarang yang menyadari, tradisi ini sebenarnya merupakan intimidasi sosial dari masyarakat sekitar yang sulit kita tolak atau elakkan.
Mengapa memberi oleh-oleh mampu membuat kita merasa terintimidasi dan merasa sulit mengelak, padahal tidak ada yang mewajibkan? Nah, ini merupakan sisi mata uang yang lain. Mungkin di dalam diri kita, disadari atau tidak, sebenarnya ada keinginan untuk pamer.
Bisa bepergian ke luar negeri, dalam rangka tugas maupun berlibur, bukanlah hal yang bisa dinikmati oleh sebagian besar masyarakat kita, kan? Tak heran bila banyak yang menganggap hal itu sebagai sebuah pencapaian yang patut dibanggakan. Kalau sudah begini, apalah artinya mengeluarkan sedikit bujet ekstra untuk membeli oleh-oleh!
Namun, untunglah sekarang saya sudah bisa membebaskan diri dari intimidasi sosial itu. Mungkin karena saya sudah membuang jauh-jauh unsur pamer dari dalam pikiran saya. Atau bisa jadi pula karena sekarang semakin banyak oreng mampu jalan-jalan ke luar negeri.
Selain itu, di kantor saya sekarang sudah ada kesepakatan tidak tertulis bagi siapa saja yang mendapat tugas ke luar kota atau luar negeri untuk tidak membebani diri dengan kewajiban membawakan oleh-oleh. Bahkan, sudah bertahun-tahun saya tidak pernah lagi mendengar teman-teman kantor mengatakan, “Jangan lupa oleh-olehnya, ya!” Kalaupun sesekali saya tetap membawa oleh-oleh sepulang dari luar kota atau luar negeri, itu lebih karena keinginan sendiri, bukan karena merasa terintimidasi.