Pagi hari berangkat ke sekolah dengan semangat, siang hari pulang dengan cemberut. Mengunci diri di kamar, tidak keluar sampai lewat jam makan siang. Sore hari menolak latihan dance, atau menghabiskan waktu untuk memotong kuku di saat guru piano sudah berdiri di depan pintu rumah Anda. Kalau Anda punya anak remaja putri, mungkin pernah mengalami hal semacam ini. Dalam bentuk lain, remaja laki-laki juga mengalami gejolak emosi yang sulit dipahami. Bertingkah semau-maunya, ngamuk kalau ditegur atau melawan diam-diam. Dua kali saya mengalami hal ini. Satu kali dengan anak laki-laki, satu kali dengan anak perempuan. Dulu, sewaktu menghadapi remaja laki-laki kepala saya sering beruap, dan berteriak mirip komandan upacara. Pasalnya saya belum pernah menjadi remaja laki-laki. Sekarang saya lebih siap ketika menghadapi remaja putri saya. Alih-alih ‘bertaring’ dan menggeram, saya kembali mengingat diri saya ketika menjadi ABG.

Hormon Bekerja
Banyak hal dihadapi remaja kita di sekolahnya. Tuntutan prestasi, persaingan untuk memperoleh perhatian lawan jenis, cemas menghadapi lomba pidato, takut tidak naik kelas, malu habis dimarahi guru karena lupa membawa buku, takut tidak masuk sekolah favorit, dan masih banyak peristiwa yang bisa mengubah emosi dalam sesaat. Di samping itu semua, tubuh mereka sebenarnya juga sedang mengalami gejolak. Hormon-hormon yang mulai aktif, menumbuhkan rambut di bagian tubuh tertentu, memperbesar buah dada yang membuat remaja putri malu berdiri tegak, menimbulkan mimpi basah, mengubah suara – dari sopran menjadi bariton yang membuat remaja laki-laki merasa serba salah. Badan yang tumbuh menjulang kerap membuat mereka tidak pede berada di antara teman-temannya.
Anak remaja kita tidak paham bahwa yang seperti ini merupakan bagian dari proses perkembangan manusia normal, yang akan berakhir. Banyak hal dikhawatirkan oleh remaja kita karena keterbatasan kemampuan nalarnya untuk menghadapi segala persoalan hidupnya. Mereka belum punya keterampilan untuk mengatasi berbagai tantangan sehingga mereka bingung. Tidak mendapat perhatian dari cowok yang dia suka bisa membuat remaja perempuan mengunci diri di kamar dan bercermin berjam-jam. Memeriksa dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki: jangan-jangan belahan rambutku salah, jerawatku, hidungku, atau dadaku terlalu gede? Mengapa aku tidak diterima geng dia? Aku terlalu cupu, dan kurang trendi? Ini kekhawatiran terbesar pada remaja, baik laki-laki maupun perempuan.
Wajar kalau Anda khawatir menghadapi kondisi ini. Anak-anak tercinta ini menjadi supersensitif, sulit dipahami tapi tidak mau membuka diri. Mereka takut disalahkan, karena ujung-ujungnya akan dinasihati (oleh kita) panjang lebar.
Transisi Otak
Dulu, dalam rangka ingin memahami perubahan pada remaja laki-laki saya, saya membuka sebuah jurnal Society for Neuroscience. Beruntung saya menemukan sebuah riset yang memberi tahu saya bahwa otak anak remaja sedang mengalami perubahan, mengalami proses pendewasaan menyerupai otak orang dewasa. Dalam masa transisi inilah peran orang tua sangat menentukan, apakah anak kita akan tumbuh menjadi orang dewasa muda yang sehat, atau sebaliknya, mengalami gangguan mental. Betul, masa ini sangat krusial.
Peran orang tua yang utama adalah menjadi pendengar, bukan orator. Anak usia ini semakin dinasihati akan semakin menjauh. Kalau mau bicara, berbicaralah seperti kepada orang dewasa, bukan kepada anak-anak. Hidup ini sudah penuh tekanan, jangan menambahkannnya lagi pada anak kita. Sebisa mungkin kurangi tekanan dengan mengendorkan tuntutan. Tekanan bertubi-tubi akan membuatnya depresi.
Bantuan penting lain adalah memastikan anak Anda makan dan tidur cukup. Perkembangan maksimal sangat ditentukan oleh kesehatan tubuh dan istirahat, karena pertumbuhan terjadi saat tidur. Untuk membuat anak lebih happy, ajak dia berolahraga untuk membantunya menghasilkan hormon endorfin -hormon rasa nyaman, agar tidak melulu terpaku pada persoalan sendiri. Memberi keterampilan mengatasi masalah dapat dilakukan dengan mengikutsertakan dia dalam youth program yang biasa diadakan pada hari libur sekolah. Izinkan anak berteman dengan sebayanya di luar jam sekolah.
Menjadi role model yang baik bagi anak juga merupakan tugas orang tua. Tunjukkan anak cara mengatasi persoalan tanpa keluh kesah. Libatkan anak dalam proses mengatasi masalah di rumah, misalnya memintanya memanggil tukang servis AC ketika AC di kamarnya rusak. Mampu mengatasi masalah akan membuat remaja Anda merasa lebih berharga.
Foto: TPGNews

Hormon Bekerja
Banyak hal dihadapi remaja kita di sekolahnya. Tuntutan prestasi, persaingan untuk memperoleh perhatian lawan jenis, cemas menghadapi lomba pidato, takut tidak naik kelas, malu habis dimarahi guru karena lupa membawa buku, takut tidak masuk sekolah favorit, dan masih banyak peristiwa yang bisa mengubah emosi dalam sesaat. Di samping itu semua, tubuh mereka sebenarnya juga sedang mengalami gejolak. Hormon-hormon yang mulai aktif, menumbuhkan rambut di bagian tubuh tertentu, memperbesar buah dada yang membuat remaja putri malu berdiri tegak, menimbulkan mimpi basah, mengubah suara – dari sopran menjadi bariton yang membuat remaja laki-laki merasa serba salah. Badan yang tumbuh menjulang kerap membuat mereka tidak pede berada di antara teman-temannya.
Anak remaja kita tidak paham bahwa yang seperti ini merupakan bagian dari proses perkembangan manusia normal, yang akan berakhir. Banyak hal dikhawatirkan oleh remaja kita karena keterbatasan kemampuan nalarnya untuk menghadapi segala persoalan hidupnya. Mereka belum punya keterampilan untuk mengatasi berbagai tantangan sehingga mereka bingung. Tidak mendapat perhatian dari cowok yang dia suka bisa membuat remaja perempuan mengunci diri di kamar dan bercermin berjam-jam. Memeriksa dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki: jangan-jangan belahan rambutku salah, jerawatku, hidungku, atau dadaku terlalu gede? Mengapa aku tidak diterima geng dia? Aku terlalu cupu, dan kurang trendi? Ini kekhawatiran terbesar pada remaja, baik laki-laki maupun perempuan.
Wajar kalau Anda khawatir menghadapi kondisi ini. Anak-anak tercinta ini menjadi supersensitif, sulit dipahami tapi tidak mau membuka diri. Mereka takut disalahkan, karena ujung-ujungnya akan dinasihati (oleh kita) panjang lebar.
Transisi Otak
Dulu, dalam rangka ingin memahami perubahan pada remaja laki-laki saya, saya membuka sebuah jurnal Society for Neuroscience. Beruntung saya menemukan sebuah riset yang memberi tahu saya bahwa otak anak remaja sedang mengalami perubahan, mengalami proses pendewasaan menyerupai otak orang dewasa. Dalam masa transisi inilah peran orang tua sangat menentukan, apakah anak kita akan tumbuh menjadi orang dewasa muda yang sehat, atau sebaliknya, mengalami gangguan mental. Betul, masa ini sangat krusial.
Peran orang tua yang utama adalah menjadi pendengar, bukan orator. Anak usia ini semakin dinasihati akan semakin menjauh. Kalau mau bicara, berbicaralah seperti kepada orang dewasa, bukan kepada anak-anak. Hidup ini sudah penuh tekanan, jangan menambahkannnya lagi pada anak kita. Sebisa mungkin kurangi tekanan dengan mengendorkan tuntutan. Tekanan bertubi-tubi akan membuatnya depresi.
Bantuan penting lain adalah memastikan anak Anda makan dan tidur cukup. Perkembangan maksimal sangat ditentukan oleh kesehatan tubuh dan istirahat, karena pertumbuhan terjadi saat tidur. Untuk membuat anak lebih happy, ajak dia berolahraga untuk membantunya menghasilkan hormon endorfin -hormon rasa nyaman, agar tidak melulu terpaku pada persoalan sendiri. Memberi keterampilan mengatasi masalah dapat dilakukan dengan mengikutsertakan dia dalam youth program yang biasa diadakan pada hari libur sekolah. Izinkan anak berteman dengan sebayanya di luar jam sekolah.
Menjadi role model yang baik bagi anak juga merupakan tugas orang tua. Tunjukkan anak cara mengatasi persoalan tanpa keluh kesah. Libatkan anak dalam proses mengatasi masalah di rumah, misalnya memintanya memanggil tukang servis AC ketika AC di kamarnya rusak. Mampu mengatasi masalah akan membuat remaja Anda merasa lebih berharga.
Foto: TPGNews