
Mia Sutanto, Nia Umar, Farahdibha T. Aditya lewat Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) konsisten melindungi bayi agar mendapatkan hak mereka: ASI eksklusif.
Sejak didirikan satu dekade tahun silam, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) ini masih berjuang untuk bayi dan anak-anak. Dalam rentang waktu tersebut, AIMI telah memiliki 15 cabang di seluruh Indonesia. Perjuangannya tetap sama—hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan. Mungkin kita menganggap perjuangan itu sepele, namun pada kenyataannya memperjuangkan hak bayi memperoleh makanan sehat dari ibunya tidaklah mudah.
Di banyak perusahaan dan kantor, tidak mudah bagi ibu untuk memerah dan menyimpan ASI. Dengan kendala tidak tersedianya tempat untuk memerah, juga tidak mendapat izin memerah ASI, para ibu kerap menyerah dan tergoda mengganti ASI dengan susu formula.
Padahal, ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, dan setiap bayi berhak mendapatkannya. Kalau pun fasilitas umum dan kantor memadai, ketidakpahaman ibu soal menyusui sering menimbulkan kegagalan mengeluarkan ASI, dan lagi-lagi mereka akan melirik susu formula. Gencarnya produsen susu bayi dan botol susu dalam beriklan disorot tajam oleh para pendiri AIMI.
“Selama ini kegiatan inti AIMI ada tiga, yaitu melindungi, mempromosikan, dan mendukung kegiatan menyusui. Bentuk kegiatannya antara lain menerima pengaduan dari masyarakat tentang rumah sakit yang ingkar janji soal rawat gabung, memberikan konsultasi bagi ibu-ibu yang kesulitan menyusui, sampai advokasi ke pemerintah,” jelas Nia Umar, Wakil Ketua AIMI, yang telah mendapat sertifikat IBCLC (Internatioan Board Certified Lactation Consultant).
Dalam hal melakukan advokasi ke pemerintah, peran AIMI cukup signifikan. Sejak diamandemenkannya UU Kesehatan tahun 2009, AIMI ikut memasukkan nilai-nilai pemberian ASI. Dalam usianya yang baru dua tahun, AIMI bersama para pejuang ASI lainnya pergi ke DPR, bicara dengan anggota Komisi VII untuk meyakinkan mereka mengapa pasal-pasal tentang menyusui itu penting.
“Setelah itu kami lanjutkan perjuangan advokasi ke pemerintah hingga ada PP no. 33 tahun 2012 tentang ASI eksklusif,” kisah Farahdibha Tenrilemba Aditya, Sekjen AIMI. Setelah munculnya PP No. 33/2012, pemerintah saat ini sampai pada tahap akhir membuat Rancangan Peraturan Pemerintah untuk iklan pangan.
“Kami mengawasi itu karena menurut World Health Asembly (WHA) tahun 2016 di Jenewa, pemerintah sudah setuju adanya aturan yang melarang produsen beriklan susu untuk usia 0 sampai 36 bulan. Tapi praktiknya di Indonesia cuma sampai (anak usia) 12 bulan. Kami mendorong pemerintah konsisten melalui Kementerian Kesehatan untuk menyuarakan itu. Bukan berarti tidak boleh dijual, tetapi (ada aturan) soal advertising and promotion,” jelas Mia Sutanto, Ketua Umum AIMI.
Namun Rancangan Peraturan Pemerintah ini menjadi alot karena Kementerian lain seperti Perindustrian dan Perdagangan didesak juga oleh industri agar peraturan itu jangan dibuat sampai anak usia 36 bulan. Padahal sudah banyak kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa produk susu untuk anak usia di atas satu tahun ini mengganggu pemberian ASI.
“Kami menyiasati kondisi ini dengan empowering the mothers—menyadarkan ibu-ibu, keluarga muda tentang hak mereka untuk menyusui. Mereka bisa menuntut hak mereka kepada atasan di tempat kerja untuk memerah ASI di kantor, minta ruangan dan waktu untuk memerah, atau meminta kepada fasilitas kesehatan untuk inisiasi menyusui dini. Jadi kami melakukan dua hal, yaitu memberdayakan ibu dan advokasi pemerintah,” jelas Nia.
Mia juga mengatakan, perjuangan memajukan kegiatan menyusui di Indonesia berbenturan dengan banyak pihak. Dengan Kementerian Perindustrian, dan Perdagangan soal promosi dan iklan susu bayi, dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk perjuangan cuti maternitas enam bulan, serta dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk kurikulum Fakultas Kedokteran yang memasukkan laktasi, karena masih ada dokter yang tidak paham soal laktasi.
AIMI merasa harus terus berjuang—apalagi dibandingkan negara tetangga dengan Vietnam, Indonesia masih kalah. Pertumbuhan ekonomi Vietnam melesat tinggi seiring tingginya angka menyusui. “Indonesia lebih dulu merdeka dibanding Vietnam, tapi Vietnam memberlakukan cuti maternitas selama tujuh bulan,” Mia menandaskan.
Meski pekerjaan rumah masih banyak, patut disyukuri karena dalam kurun 10 tahun ini AIMI telah menjadi focal point dalam pemberian ASI, dan bekerja sama dengan pemerintah dalam acara seperti World Breastfeeding Week yang setiap tahun digelar pada tanggal 1 sampai 7 Agustus, mengadakan pelatihan, dan seminar yang berkaitan dengan pemberian makan bayi. Di daerah, pemerintah daerah melibatkan AIMI cabang daerah dalam membuat peraturan daerah.
Foto: Dachri Megantara
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Ina Juntak