
Setiap memasuki halaman sekolah, Mia, 11, selalu khawatir tidak dapat mengikuti pelajaran. Di perjalanan pulang, ia juga khawatir ibunya tidak di rumah untuk selamanya. Mia merasa kesulitan belajar di rumah karena pernah mendengar kedua orang tuanya bertengkar karena sang ayah tidak bekerja lagi.
Saya yakin tidak sedikit anak seperti Mia. Di Inggris, sebuah lembaga sosial di bidang kesehatan mental Place2be mengadakan survei terhadap 700 anak usia 10-11 tahun. Menurut survei ini, dua pertiga dari mereka merasa cemas sepanjang hari. Yang paling membuat mereka cemas adalah gagal di sekolah.
Pada 2016, Place2be membuat survei yang melibatkan murid-murid kelas 6 SD di 20 sekolah di Inggris, Skotlandia, dan Wales. Hasilnya cukup mengejutkan:
54% mengkhawatirkan kesejahteraan keluarga
48% mengkhawatirkan kesejahteraan teman-temannya
41% mengkhawatirkan tugas-tugas sekolah, 40%-nya muncul rasa khawatir saat perjalanan menuju sekolah.
Dari semua itu, sebanyak 30% mengaku tidak bisa berhenti khawatir, sebanyak 21% mengatakan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk tidak khawatir. Anak laki-laki dan anak perempuan memiliki jenis kekhawatirannya masing-masing:
36% anak perempuan takut di-bully, sementara anak laki-laki sebanyak 22%
28% anak perempuan mengkhawatirkan penampilan, anak laki-laki 18%
24% anak laki-laki takut kemarahannya meledak, anak perempuan hanya 16%
Bagaimana anak-anak itu mengatasi rasa khawatirnya?
72% membicarakannya dengan anggota keluarga
65% membicarakannya dengan teman
65% anak laki-laki menenangkan diri dengan bermain game komputer, sementara anak perempuan sebanyak 39%
Kemampuan berpikir anak usia ini masih sangat terbatas. Kita sering berharap anak menyelesaikan sendiri persoalannya dengan cara mereka sendiri, menganggap mereka sebentar lagi dewasa. Padahal lebih dari 80% anak-anak itu mengatakan, mereka perlu bantuan. Bantuan terbaik dari orang dewasa adalah mendengarkan dengan sikap simpati.
Catherine Roche, pimpinan Place2be, mengatakan bahwa ciri khas anak usia ini masih polos dan selalu gembira. Tapi mereka ternyata juga menyimpan banyak kecemasan. Apa saja bisa dikhawatirkan: Kejadian di rumah, kejadian yang menimpa teman sekolah, dan hal-hal buruk yang terjadi di seluruh dunia seperti bencana alam dan peperangan.
Kata Catherine, wajar anak-anak merasa khawatir, tapi bila rasa khawatir ini menetap, anak harus diyakinkan bahwa mereka dapat mengatasinya. Kita dapat bertanya setiap saat kepada anak, “Apakah kamu bahagia?” “Apa yang membuatmu tidak bahagia?” Karena anak kita berhak untuk bahagia.