Menjadi vegetarian, apalagi vegan, ternyata bukan keputusan yang mudah dilakukan. Lebih mudah dibayangkan ketimbang dijalankan.
Seorang vegetarian hanya mengonsumsi tumbuh-tumbuhan tetapi masih bisa mengonsumsi telur, susu, dan produk susu, seperti keju, yoghurt, atau mentega.
Sedangkan menjadi seorang vegan lebih berat lagi, karena sama sekali tidak mengonsumsi segala jenis bahan makanan yang berasal dari hewan (termasuk telur dan madu). Tak heran bila banyak calon vegetarian dan vegan akhirnya tak tahan godaan.
Setidaknya, ada tiga alasan mengapa orang memutuskan menjadi vegetarian atau vegan. Pertama, alasan kesehatan. Menghilangkan konsumsi daging (termasuk ikan) dianggap sebagai gaya hidup yang lebih sehat.
Alasan kedua lebih bersifat spiritual. Selain tidak sampai hati melihat hewan disembelih, ada anggapan bahwa energi negatif dari hewan yang kesakitan dan ketakutan saat disembelih akan menjadi bagian dari orang yang mengonsumsi daging mereka.
Alasan ketiga adalah lingkungan hidup. Pakan dan kotoran dari hewan ternak akan menimbulkan polusi rumah kaca yang merusak lingkungan hidup.
Sebagai jalan tengah, sekarang muncul gaya hidup yang disebut reducetarian, Ini adalah pola makan yang tetap bisa mengonsumsi daging, tapi menguranginya seminimal mungkin. Gerakan yang antara lain didirikan oleh Brian Kateman ini menganggap, kita tidak perlu menyiksa diri dengan meninggalkan daging sama sekali. Lebih baik tetap makan daging tapi sedikit saja.
Kateman mengatakan, sekarang ini ada kecenderungan orang makan daging bukan lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh. Melainkan lebih untuk menuruti selera makan, yang tak pernah ada puasnya bila tidak dikendalikan, hanya karena mereka mampu membelinya.
“Makan steik sampai setengah kilo (daging) sekali makan, apa enaknya? Itu terhitung rakus. Toh, yang terasa nikmat di lidah hanya setengahnya, bahkan seperempatnya saja. Selebihnya Anda makan hanya karena sayang bila tidak dihabiskan. Atau dibuang ke tong sampah. Kini orang juga berlomba-lomba membuat burger yang ukurannya makin besar dan makin besar saja. Untuk apa?” kata Kateman dalam sebuah wawancara.
Ia menambahkan, selain malah menimbulkan berbagai penyakit pada tubuh, konsumsi daging yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya tindakan eksploitasi terhadap hewan ternak akibat permintaan daging yang terus meningkat.
“Hewan ternak akan tinggal di kandang-kandang yang semakin sempit dan tidak manusiawi, bahkan disembelih sebelum waktunya. Hewan-hewan ternak itu hidup dan mati sia-sia, hanya untuk memenuhi selera makan manusia yang tak ada cukup dan puasnya, yang pada akhirnya malah menimbulkan berbagai penyakit pada manusia.
“Kesadaran seperti inilah yang ingin kami, para reducetarian, tumbuhkan pada masyarakat. Kesadaran untuk peduli pada kesehatan, kesejahteraan hidup hewan ternak, sekaligus lingkungan hidup.
“Bila permintaan akan daging di dunia berkurang, dengan sendirinya hewan ternak tidak perlu dieksploitasi lagi dan mereka bisa hidup lebih layak dan manusiawi, sehingga bisa memberi manfaat yang baik bagi manusia,” jelas Kateman, yang juga menulis buku berjudul The Reducetarian Solution.
Dengan menjadi reducetarian, kita bisa mengurangi konsumsi daging dengan berbagai cara. Bisa diatur selang-seling (hari ini makan daging, besok tidak makan daging), bisa pula selang-seling dua atau tiga kali dalam seminggu.
Setiap kali mengonsumsi daging, usahakan jumlahnya seminimal mungkin, hanya sekadar melepas selera. Anak-anak bisa mengonsumsi lebih banyak, karena mereka masih dalam masa pertumbuhan.
Anda tertarik menjadi reducetarian? Saya sangat tertarik, dan bahkan sudah mulai menerapkannya!