Pada 2009, Oline membangun Oline Workrobe. Mulai dengan dua karyawan saja. Jenis pakaian ini dipilihnya denga alasan yang sederhana. Saat masih ngantor, ia sering merasa kesulitan mencari baju kerja yang agak nyetrik tapi tetap representable. Satu potong pakaian karya Oline dapat terdiri dari delapan jenis bahan dan warna. Bentuknya pun bermacam-macam. Motif dan warna saling bertabrakan namun bisa menciptakan kesatuan yang harmonis. Saya mengira-ngira mungkin wanita yang akrab dipanggil Oline ini seperti sedang bermain puzzle saat mencipta. “Dulu semasa sekolah dan bekerja, saya sering berinteraksi dengan bentuk-bentuk geometris. Sekarang coba saya tuangkan ke sesuatu yang wearable,” Oline menjelaskan. Walau demikian, ia memiliki kekaguman pada perancang-perancang yang dapat menghasilkan kreasi outstanding dengan satu warna saja. “Mungkin otak gue yang nggak sampe”, kelakarnya.
Begini proses Oline merancang. Pertama, ia menyampirkan bahan-bahan di manekin. Setelah puas dengan bentuknya, baru bahan-bahan tersebut dibuka untuk dibuat polanya kemudian dibuat sample baju. Ia dan tim kemudian berdiskusi tentang sample tersebut. “Kalau ada yang kurang, kami revisi,” ujarnya. Bisa saja di tengah-tengah proses itu, Oline merasa ada yang kurang dengan rancanganya. Jika itu terjadi, ia biasanya ‘semedi’ di kamar bahan untuk mencari inspirasi.
Lewat Oline Workrobe, Oline tak lagi mencari-cari alasan mengapa rancangannya tidak bisa feminin atau cantik. Ia kembali ke sesuatu yang sangat ia kenal, dirinya sendiri. Ia merancang sesuatu yang sangat dinamis. Ada atasan yang bisa dipakai bolak-balik. “Orang-orang sekarang mobile, jadi tantangannya bagaimana menciptakan sesuatu agar orang tidak perlu bawa banyak barang saat mereka harus bekerja, lalu pergi ke suatu acara,” kata Oline. Walau ia mengaku kesulitan juga karena warna-warna di bajunya itu. Sulit menemui jenis dan warna bahan yang ia inginkan untuk mengulang satu desain spesifik. Karena itu ia masih mencari formulasi memajang rancangannya di situs. Di Instagram saja bisa mengakibatkan kehebohan di antara para pelanggannya jika posting-nya telat. Masalahnya, barang sering kali sudah tidak ada dan sudah bisa dipastikan tidak bisa diulang lagi. Cilaka!
Satu prinsip yang dipegang teguh oleh Oline, “jangan ngutang di awal”. Meski modal awal yang ia punya tidak begitu besar, di awal-awal bisnis, Oline, seperti juga orang yang baru memulai bisnis, tetap mengalami kesulitan karena uang belum berputar. “Pernah ada penjahit yang minta uang untuk beli benang. Saya bilang ATM ketinggalan, padahal saya tidak punya uang”. Ini sepertinya yang sering menjadi alasan orang tidak berani membangun bisnis mereka sendiri, walau keinginan itu ada. Takut jika tidak ada modal untuk terus berjalan dan harus berhenti di tengah jalan.
Buku-buku bisnis dilahapnya untuk memelajari bisnis baru yang ia jalani. “Tapi bisnis fashion di Indonesia beda dengan negara lain, kadang rumusannya tidak applicable di sini,” katanya. Prinsip bisnis Oline mudah saja. Ia merasa belum perlu membuat strategi jangka panjang asalkan bisnis tidak berhenti di tengah jalan. “Pegawai bisa terus gajian dan bahan untuk produksi selanjutnya bisa dibeli”. Ini membuatnya semangat, mengejar order dan memperbaiki produksi.
Bisnis Oline Workrobe mulai membuahkan hasil saat ia diterima di bazar di Cilandak Town Square pada akhir Desember 2009. Oline diminta mengisi slot fashion show di bazar yang terkenal ramai itu. Pembelinya banyak! Rasa senang langsung mengisi hati Oline. Ia bertekad, sebesar apa pun brandnya nanti, ia akan selalu hadir di bazar itu.
Akhir 2010, Oline Workrobe resmi masuk ke The Goods Dept, sebuah department store terkurasi di Jakarta. Bangganya luar biasa karena tidak sembarang merek bisa dijual di sana. Beberapa bulan setelah hadir di The Goods Dept, Oline Workrobe tercatat sebagai brand dengan penjualan tertinggi. Tekadnya bulat sudah. Hilang rasa rendah hati akibat suara-suara sumbang yang ia dengar. Apresiasi, sekecil apa pun, menumbuhkan semangat di hati Oline dan membuatnya tetap di jalur yang ia pilih, menjadi perancang busana.
Mungkin klise, tapi uang bukan hal utama yang Oline cari melalui profesi ini. Jumlah mungkin tidak seberapa, tapi ia merasa cukup. Energi untuk menjalani bisnis sendiri itu lebih besar jika dibandingkan ketika ia bekerja kantoran dulu. Tapi ada kesenangan saat melakukannya sehingga lelah pun tak dirasa. Ada kepuasan yang ia dapatkan. Sulit digambarkan dengan kata-kata namun terasa dengan sangat jelas. Hidup Oline jelas berubah dengan hadirnya Oline Workrobe. Yang awalnya tidak percaya diri dan cenderung pesimis, kini menjadi lebih menikmati hidup. Saya menemukan dunia yang menakjubkan di sini, begitu katanya. Berbincang tentang profesinya saja ia nikmati, buktinya saya bisa memonopoli waktunya padahal ada konsumen yang sedang ramai di tokonya. Oline sedang berada di ruang bahan saat itu. Ia menggunting potongan-potongan bahan, membawanya ke gulungan bahan lain untuk mencari padanan yang cocok. Kadang ia langsung berpindah ke bahan lain, kadang cukup lama ia menghabiskan waktu di sebuah warna, motif, atau jenis bahan. Tangan kirinya memegang bahan sementara tangan kanannya bergerak-gerak, ke rambut, ke bahan yang lain.
Saya pernah membaca sebuah buku. Di sana dijelaskan betapa hebatnya panca indera manusia. Misalnya saat kita merasa ada orang yang bermaksud tidak baik kepada kita. Kita mungkin tidak tahu dari mana asalnya. Kita sering menyebutnya sebagai feeling atau intuisi, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Padahal sebenarnya panca indera kita sudah menangkap sinyal-sinyal itu. Pupil matanya melebar, cuping hidungnya mengembang, atau suaranya meninggi. Oline mungkin tidak paham mengapa ia dulu sering sekali melihat majalah interior dan fashion. Tapi ini mungkin bisa dianggap sebagai sebuah sinyal. Alam bawah sadarnya sedang mencoba memanggilnya untuk menyelami panggilan hati. Untuk merekonstruksi rasa cintanya lewat helai pakaian yang ia ciptakan.
Foto: Dennie Ramon, Oline Workrobe
Rias Wajah dan Rambut: Tania Ledezma
Baca juga: Membangun Oline Workrobe dari Nol
Begini proses Oline merancang. Pertama, ia menyampirkan bahan-bahan di manekin. Setelah puas dengan bentuknya, baru bahan-bahan tersebut dibuka untuk dibuat polanya kemudian dibuat sample baju. Ia dan tim kemudian berdiskusi tentang sample tersebut. “Kalau ada yang kurang, kami revisi,” ujarnya. Bisa saja di tengah-tengah proses itu, Oline merasa ada yang kurang dengan rancanganya. Jika itu terjadi, ia biasanya ‘semedi’ di kamar bahan untuk mencari inspirasi.
Lewat Oline Workrobe, Oline tak lagi mencari-cari alasan mengapa rancangannya tidak bisa feminin atau cantik. Ia kembali ke sesuatu yang sangat ia kenal, dirinya sendiri. Ia merancang sesuatu yang sangat dinamis. Ada atasan yang bisa dipakai bolak-balik. “Orang-orang sekarang mobile, jadi tantangannya bagaimana menciptakan sesuatu agar orang tidak perlu bawa banyak barang saat mereka harus bekerja, lalu pergi ke suatu acara,” kata Oline. Walau ia mengaku kesulitan juga karena warna-warna di bajunya itu. Sulit menemui jenis dan warna bahan yang ia inginkan untuk mengulang satu desain spesifik. Karena itu ia masih mencari formulasi memajang rancangannya di situs. Di Instagram saja bisa mengakibatkan kehebohan di antara para pelanggannya jika posting-nya telat. Masalahnya, barang sering kali sudah tidak ada dan sudah bisa dipastikan tidak bisa diulang lagi. Cilaka!
Satu prinsip yang dipegang teguh oleh Oline, “jangan ngutang di awal”. Meski modal awal yang ia punya tidak begitu besar, di awal-awal bisnis, Oline, seperti juga orang yang baru memulai bisnis, tetap mengalami kesulitan karena uang belum berputar. “Pernah ada penjahit yang minta uang untuk beli benang. Saya bilang ATM ketinggalan, padahal saya tidak punya uang”. Ini sepertinya yang sering menjadi alasan orang tidak berani membangun bisnis mereka sendiri, walau keinginan itu ada. Takut jika tidak ada modal untuk terus berjalan dan harus berhenti di tengah jalan.
Buku-buku bisnis dilahapnya untuk memelajari bisnis baru yang ia jalani. “Tapi bisnis fashion di Indonesia beda dengan negara lain, kadang rumusannya tidak applicable di sini,” katanya. Prinsip bisnis Oline mudah saja. Ia merasa belum perlu membuat strategi jangka panjang asalkan bisnis tidak berhenti di tengah jalan. “Pegawai bisa terus gajian dan bahan untuk produksi selanjutnya bisa dibeli”. Ini membuatnya semangat, mengejar order dan memperbaiki produksi.
Bisnis Oline Workrobe mulai membuahkan hasil saat ia diterima di bazar di Cilandak Town Square pada akhir Desember 2009. Oline diminta mengisi slot fashion show di bazar yang terkenal ramai itu. Pembelinya banyak! Rasa senang langsung mengisi hati Oline. Ia bertekad, sebesar apa pun brandnya nanti, ia akan selalu hadir di bazar itu.
Akhir 2010, Oline Workrobe resmi masuk ke The Goods Dept, sebuah department store terkurasi di Jakarta. Bangganya luar biasa karena tidak sembarang merek bisa dijual di sana. Beberapa bulan setelah hadir di The Goods Dept, Oline Workrobe tercatat sebagai brand dengan penjualan tertinggi. Tekadnya bulat sudah. Hilang rasa rendah hati akibat suara-suara sumbang yang ia dengar. Apresiasi, sekecil apa pun, menumbuhkan semangat di hati Oline dan membuatnya tetap di jalur yang ia pilih, menjadi perancang busana.
Mungkin klise, tapi uang bukan hal utama yang Oline cari melalui profesi ini. Jumlah mungkin tidak seberapa, tapi ia merasa cukup. Energi untuk menjalani bisnis sendiri itu lebih besar jika dibandingkan ketika ia bekerja kantoran dulu. Tapi ada kesenangan saat melakukannya sehingga lelah pun tak dirasa. Ada kepuasan yang ia dapatkan. Sulit digambarkan dengan kata-kata namun terasa dengan sangat jelas. Hidup Oline jelas berubah dengan hadirnya Oline Workrobe. Yang awalnya tidak percaya diri dan cenderung pesimis, kini menjadi lebih menikmati hidup. Saya menemukan dunia yang menakjubkan di sini, begitu katanya. Berbincang tentang profesinya saja ia nikmati, buktinya saya bisa memonopoli waktunya padahal ada konsumen yang sedang ramai di tokonya. Oline sedang berada di ruang bahan saat itu. Ia menggunting potongan-potongan bahan, membawanya ke gulungan bahan lain untuk mencari padanan yang cocok. Kadang ia langsung berpindah ke bahan lain, kadang cukup lama ia menghabiskan waktu di sebuah warna, motif, atau jenis bahan. Tangan kirinya memegang bahan sementara tangan kanannya bergerak-gerak, ke rambut, ke bahan yang lain.
Saya pernah membaca sebuah buku. Di sana dijelaskan betapa hebatnya panca indera manusia. Misalnya saat kita merasa ada orang yang bermaksud tidak baik kepada kita. Kita mungkin tidak tahu dari mana asalnya. Kita sering menyebutnya sebagai feeling atau intuisi, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Padahal sebenarnya panca indera kita sudah menangkap sinyal-sinyal itu. Pupil matanya melebar, cuping hidungnya mengembang, atau suaranya meninggi. Oline mungkin tidak paham mengapa ia dulu sering sekali melihat majalah interior dan fashion. Tapi ini mungkin bisa dianggap sebagai sebuah sinyal. Alam bawah sadarnya sedang mencoba memanggilnya untuk menyelami panggilan hati. Untuk merekonstruksi rasa cintanya lewat helai pakaian yang ia ciptakan.
Foto: Dennie Ramon, Oline Workrobe
Rias Wajah dan Rambut: Tania Ledezma
Baca juga: Membangun Oline Workrobe dari Nol