
Krisis ekonomi global memang masih terus berlangsung di tahun 2017, meskipun efeknya tidak lagi mengejutkan karena orang sudah mulai beradaptasi.
Namun, dunia—termasuk Indonesia—masih wait and see menyangkut langkah-langkah yang diambil Donald Trump setelah ia resmi menjadi Presiden Amerika Serikat. Maklum, AS penyumbang mata uang terbanyak di dunia.
“Kalau kebijakan Trump tidak sekontroversial seperti janji-janji kampanyenya, Indonesia aman. Tapi kalau sebaliknya, mungkin akan terjadi gejolak, dan krisis ekonomi akan berlangsung lebih panjang,” kata Eka Setyawibawa, pengamat bisnis dan investasi yang juga menjabat Business Development Director EC Consulting.
Kendati begitu, Eka merasa optimistis mengingat arah kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia dianggapnya sudah on the track. “Proyek-proyek pembangun infrastruktur sudah berjalan—jalan raya, pelabuhan, jembatan, dan sebagainya. Pembangunan infrastruktur memang merupakan lokomotif pembangunan ekonomi. Selain uang mengucur ke sektor riil dan menciptakan lapangan kerja dari hulu ke hilir, infrastruktur yang baik akan menggerakkan perekonomian di seluruh pelosok Nusantara,” jelas Eka.
Pemerintah juga sedang menggalakkan sektor pangan untuk menekan masuknya produk impor dan memberdayakan petani, yang antara lain diwujudkan dengan membangun waduk dan membuka lahan pertanian. “Dan kedua sektor ini—infrastruktur dan pertanian—merupakan peluang bagus untuk berinvestasi. Apalagi kini pemerintah sudah mempermudah perizinan, memperketat pengawasan, sekaligus aktif memberantas praktik pungutan liar,” Eka menambahkan.
Pandai-pandai mengukur risiko Berani mengambil risiko memang kunci utama bagi orang-orang yang ingin berinvestasi di tahun 2017. “Karena sesungguhnya tak ada investasi yang tak mengandung risiko. Bila ada tawaran investasi yang memberi iming-iming ‘dijamin untung’ atau ‘dijamin dana Anda aman’, saya jamin itu investasi bodong,” Eka mengingatkan.
Selain itu, “Kita saat ini berada di bawah pemerintahan yang cukup berani mengambil risiko. Dan bersamaan dengan itu, Generasi Y atau disebut juga Generasi Milenium, sudah mulai memasuki dunia kerja, dan mereka tak mau terjun ke dunia kerja konvensional dengan menjadi pegawai. Generasi ini sangat berani mengambil risiko, misalnya dengan membuat bisnis-bisnis start-up sendiri atau berinvestasi di sektor-sektor yang penuh risiko.
“Mereka tak terlalu njelimet menghitung untung rugi. Kalau rugi, ya, mulai lagi dari nol. Kalau untung pun, mereka tidak mau berlama-lama mempertahankan bisnis mereka. Pada suatu titik, mereka akan melepas dan menjual sebagian besar saham mereka dan memulai bisnis baru dari awal lagi,” Eka menjelaskan.
Lantas bagaimana dengan generasi kita yang mentalnya tidak senekat Generasi Y? Kalau tak mau tersalip oleh anak-anak muda itu, tak ada salahnya kita juga belajar mengambil risiko daripada sekadar jadi pemain aman. Tapi tentunya dengan lebih berhati-hati dalam mengukur setiap risiko yang akan diambil.
“Mengingat sekarang pemerintah sedang menggalakkan pembangunan infrastruktur dan pertanian, tak ada salahnya Anda mencoba membeli saham perusahaan-perusahaan alat berat, kontraktor, atau agribisnis,” Eka menyarankan.
Sektor pariwisata tetap menjanjikan, apalagi sekarang semakin banyak orang Indonesia yang menjadikan liburan sebagai kebutuhan primer. Menanam saham di hotel-hotel bintang dua atau tiga, atau di amusement park, mungkin bisa dipertimbangkan. “Asal jangan di wilayah B2 (Bali dan Bandung), karena benar-benar sudah jenuh,” ujar Eka.
Bisnis kuliner umumnya juga tak pernah mati. Misalnya dengan membuka kedai kopi yang menyajikan racikan khas kopi Nusantara, yang prospeknya masih cukup cerah. Kalau malas membangun bisnis kuliner sendiri, Anda bisa berinvestasi dengan membeli franchise restoran atau kafe. Tapi pandai-pandailah mencari franchise yang masih bisa berkembang. Jangan pilih bisnis yang sudah jenuh dan siap meluncur turun, atau sebaliknya, terlalu banyak peminatnya.
Tapi tahan dulu bila Anda ingin membeli saham di perusahaan-perusahaan tambang dan migas. Selain harganya sedang turun, prospeknya di masa depan tak lagi semoncer dulu dengan munculnya sumber-sumber energi alternatif dan energi terbarukan. Misalnya dari tenaga angin, nuklir, atau matahari.