
Sejak kecil saya suka membaca. Di Sumedang, sewaktu saya masih di sekolah dasar, saya selalu mendatangi satu-satunya taman baca di sana. Saya membaca buku apa saja hingga tak ada lagi buku yang tersisa.
Saya pernah gelut (berkelahi) karena membela teman perempuan. Saya ingat, waktu itu Subandi, seorang siswa, mengganggu teman saya. Saya tendang saja alat vitalnya, dan pantaslah dia marah sekali. Akhirnya saya didorong dan menabrak kursi. Gigi saya patah.
Ayah dan ibu sangat berperan dalam mendidik. Keduanya adalah guru, sehingga disiplin yang diterapkan memang ketat sekali. Tetapi hasilnya, saya selalu juara kelas. Ketika SMP, saya mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat, Sanusi Hardjadinata. Saya menerima hadiah uang sebesar Rp50. Dulu, itu sudah lumayan sekali.
Seseorang akan menjadi sarjana atau durjana tergantung dari didikan keluarga. Meski tidak mutlak, seperti itulah kirakira pentingnya peran keluarga dalam membangun kepribadian seseorang. Orang tua jugalah yang memperkenalkan saya pada dunia bahasa. Selain guru ilmu alam, ayah saya guru Bahasa Inggris. Kami sendiri orang Sunda. Dan di era itu, banyak orang memakai Bahasa Belanda.
Pengetahuan bahasa membuat perasaan seseorang lebih tajam dan lebih halus. Ia tahu mana yang salah dan kurang tepat. Dalam politik, kesalahan berbahasa bisa menimbulkan kesan yang salah. Sebaliknya, seseorang dengan kemampuan berbahasa yang baik dapat menyampaikan sesuatu dengan runut dan terstruktur. Sekolah yang memakai Bahasa Inggris sebagai bahasa utama itu melanggar undang-undang. Bukan berarti sekolah internasional dilarang, tetapi ada aturan.
Pokoknya, jangan sampai anak-anak lebih bangga berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia. Saya pernah mengritik menteri yang memakai Bahasa Inggris saat presentasi. Saya bilang, “Pak, ini di Jakarta, pakailah Bahasa Indonesia.”
Perempuan memiliki enam dimensi. Tiga di antaranya bersifat mutlak, yaitu perempuan sebagai individu, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara. Ini mesti diatur. Tiga lainnya adalah perempuan sebagai istri, ibu, dan wanita karier. Yang tiga ini tidak mutlak. Apakah ia mau menjadi istri, mau punya anak, atau mau berkarier, itu hak dan urusan masing-masing.
Di DPR, saya meminta agar perempuan tidak boleh dibedakan, terkecuali terkait kodrat ilahi, seperti hal-hal terkait kehamilan atau kewanitaan lain. Tetapi, jangan sampai para perempuan menyalahgunakan. Misalnya, seorang perempuan menolak ditugaskan ke Afrika atau daerah-daerah pedalaman, maunya ke London saja. Ini tidak benar. Kalau terkait kodrat sebagai wanita, harus dibedakan. Tetapi yang lainnya tidak. Filosofi pendidikan yang saya pakai adalah milik leluhur Sunda. Cageur (sehat lahir batin), bageur (baik), bener (lurus), pinter.
Jadi, menjadi pintar sebetulnya nomor empat. Yang utama adalah soal budi pekerti. Kalau sekarang, kan, yang didahulukan kepintarannya. Pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) saja sempat ditiadakan. Padahal PMP itu penting. Silasilanya bagus buat pendidikan.
Revolusi Mental itu absurd. Mental dan moral tidak bisa direvolusikan. Perbaikan tidak bisa instan, mesti melalui sebuah proses. Dan terjemahan dari proses itu adalah pendidikan.
Foto: Previan F. Pangalila