Rentetan kasus yang seolah tak ada menimpa anak Indonesia yang membuat saya sempat kesulitan membuat janji wawancara dengan Erlinda Iswanto (37), salah seorang komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang merangkap Sekretaris Jenderal KPAI. “Hampir setiap hari ada saja laporan yang masuk ke KPAI tentang anak-anak yang ditelantarkan, mengalami kekerasan, diperkosa, dieksploitasi, diculik, dan sebagainya yang harus kami dampingi. Anak-anak Indonesia memang masih penuh masalah, karena banyak orang tua dan masyarakat kita belum paham bagaimana memperlakukan anak-anak dengan benar,” kata ibu dari dua anak praremaja ini ketika akhirnya berhasil saya ‘tangkap’ di kantornya.

Mungkin tak banyak yang mengenal sosok Erlinda -yang akrab disapa Elin- sebelum akti di KPAI. Padahal, mantan ibu guru fisika & IT di SMP 49 Kramat Jati, Jakarta, ini sudah sejak lama malang melintang sebagai aktivis pendidikan dan perlindungan anak, bahkan sejak masih kuliah. Suatu hari ia ikut menangani kasus bayi yang dibuang oleh orang tuanya di daerah Matraman Jakarta Timur, dan sejak itu hatinya tergerak ingin ikut memberi perlindungan terhadap anak-anak.
“Karena, anak-anak adalah golongan masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai ancaman,” ujar magister ilmu pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta ini. Ia antara lain pernah aktif sebagai relawan perlindungan anak di Wanita Syarikat Islam dan Yayasan Sayap Ibu. Ia juga pernah menjadi relawan di KPAI dan di Satgas Komnas Perlindungan Anak.
Karena aktivitasnya itulah, ketika pada tahun 2013, KPAI membuka pendaftaran untuk posisi komisioner periode baru, teman-temannya memberi dorongan agar Elin ikut mendaftar. Dan ternyata ia terpilih sebagai salah satu komisioner KPAI untuk periode 2014-2019.
Meskipun berkaitan dengan anak-anak, Elin paham betul bahwa aktivitas perlindungan anak sama sekali bukanlah dunia yang lemah lembut dan ramah, melainkan bisa sangat keras dan berbahaya, terutama bila sudah melibatkan sindikat perdagangan anak global. Karena itu, untuk menjadi aktivis perlindungan anak diperlukan nyali yang besar. “Untungnya ayah saya (seorang tentara angkatan laut – red) menempa anak-anaknya, termasuk yang perempuan, agar menjadi orang-orang pemberani. Alhasil, saya dan kedua kakak perempuan saya sering dijuluki ‘Charlie’s Angels’. Lagipula, kami ini berdarah Palembang, dan orang Palembang tidak kenal rasa takut,” kata Elin, tertawa.
Sudah Biasa Diteror
Bagi Elin, menjadi aktivis perlindungan anak adalah sebuah panggilan jiwa. Menjadi komisioner KPAI, berarti ia harus meninggalkan bisnis di bidang investment yang telah ia bangun bersama suaminya. Ia juga harus meninggalkan posisinya sebagai manajer sekaligus dosen di Smart Investment Institute, lembaga pendidikan yang didirikan oleh keluarganya.
Setelah resmi menjadi komisioner KPAI, semua risiko sebagai aktivis perlindungan anak akhirnya memang menjadi ‘makanan’ Elin sehari-hari. Mulai dari difitnah, dikuntit, hingga diancam akan dibunuh. Misalnya, ketika Elin mengamankan seorang anak yang disiksa ibunya di sebuah rumah aman milik Kementerian Sosial, ibu si anak melaporkan Elin ke polisi dan menuduh pihak KPAI telah menculik anaknya. Elin dan KPAI juga dituduh telah menggalang opini masyarakat oleh kuasa hukum ibu angkat Angeline yang dituduh sebagai pembunuh anak angkatnya itu.
Namun yang paling membuat Elin stres dan lelah secara fisik dan mental adalah ketika ia dan KPAI serta Komnas Anak (yang diketuai Seto Mulyadi) menangani kasus dugaan kekerasan seksual terhadap para siswa sebuah sekolah internasional di Jakarta. Selain urusannya berlarut-larut, ia juga beberapa kali mendapat ancaman dari beberapa pihak. Ketika suatu hari ia sedang mengendarai mobil sendirian, Elin melihat ada beberapa mobil yang terus menguntitnya, sehingga ia terpaksa masuk ke parkiran sebuah mal.
“Pokoknya kayak adegan di film action, deh,” katanya, tertawa. Ia bersyukur mendapat dukungan penuh dari suami dan orang tuanya, terutama ayahnya. “Sebelum mendaftar ke KPAI, saya sudah minta izin kepada suami. Saya bilang, ‘Saya ingin membantu anak-anak. Dan kalau kamu mengizinkan, tolong saya jangan di-cut di tengah jalan.’ Ternyata suami saya justru bangga dengan aktivitas saya, meski sering ketar-ketir juga,” papar istri dari Dr. Bambang Heru Iswanto ini.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari kedua anak lelakinya, Herbian Alfarisi (11) dan Diffie Alfierie (9). Ketika sedang menangani kasus anak yang disiksa orang tuanya, Elin harus bolak-balik menengok anak itu di rumah aman, bahkan beberapa ia kali menginap di sana. Rupanya hal ini membuat kedua anaknya cemburu dan mengatakan, “Sebenarnya anak Mami itu siapa, sih?” Bukan hanya itu, si sulung bahkan sempat ‘mengancam’. Ia mengajak adiknya untuk melaporkan sang ibu ke Komnas Anak karena telah menelantarkan anak-anaknya!
“Saya tidak tahu ancaman itu serius atau tidak, karena saya tahu betul bahwa sebenarnya mereka bangga terhadap ibunya. Tapi protes itu membuat saya sadar bahwa boleh saja saya melindungi anak orang lain, namun saya tak boleh mengabaikan anak-anak saya sendiri. Sekarang, kalau tidak benar-benar emergency, setiap akhir minggu saya tidak mau diganggu. Itu adalah waktu saya untuk anak-anak dan suami,” ia menambahkan.
Sebelum kami berpisah, Elin tak lupa meminta agar seluruh masyarakat mau membaca, memahami, dan mematuhi Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 (hasil revisi dari UU No.23/2002). "Anak-anak belum sanggup melindungi diri sendiri, jadi kita sebagai orang dewasalah yang harus melindungi mereka," Elin berpesan.
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Erin Metasari
Rias wajah & rambut: Lala

Mungkin tak banyak yang mengenal sosok Erlinda -yang akrab disapa Elin- sebelum akti di KPAI. Padahal, mantan ibu guru fisika & IT di SMP 49 Kramat Jati, Jakarta, ini sudah sejak lama malang melintang sebagai aktivis pendidikan dan perlindungan anak, bahkan sejak masih kuliah. Suatu hari ia ikut menangani kasus bayi yang dibuang oleh orang tuanya di daerah Matraman Jakarta Timur, dan sejak itu hatinya tergerak ingin ikut memberi perlindungan terhadap anak-anak.
“Karena, anak-anak adalah golongan masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai ancaman,” ujar magister ilmu pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta ini. Ia antara lain pernah aktif sebagai relawan perlindungan anak di Wanita Syarikat Islam dan Yayasan Sayap Ibu. Ia juga pernah menjadi relawan di KPAI dan di Satgas Komnas Perlindungan Anak.
Karena aktivitasnya itulah, ketika pada tahun 2013, KPAI membuka pendaftaran untuk posisi komisioner periode baru, teman-temannya memberi dorongan agar Elin ikut mendaftar. Dan ternyata ia terpilih sebagai salah satu komisioner KPAI untuk periode 2014-2019.
Meskipun berkaitan dengan anak-anak, Elin paham betul bahwa aktivitas perlindungan anak sama sekali bukanlah dunia yang lemah lembut dan ramah, melainkan bisa sangat keras dan berbahaya, terutama bila sudah melibatkan sindikat perdagangan anak global. Karena itu, untuk menjadi aktivis perlindungan anak diperlukan nyali yang besar. “Untungnya ayah saya (seorang tentara angkatan laut – red) menempa anak-anaknya, termasuk yang perempuan, agar menjadi orang-orang pemberani. Alhasil, saya dan kedua kakak perempuan saya sering dijuluki ‘Charlie’s Angels’. Lagipula, kami ini berdarah Palembang, dan orang Palembang tidak kenal rasa takut,” kata Elin, tertawa.
Sudah Biasa Diteror
Bagi Elin, menjadi aktivis perlindungan anak adalah sebuah panggilan jiwa. Menjadi komisioner KPAI, berarti ia harus meninggalkan bisnis di bidang investment yang telah ia bangun bersama suaminya. Ia juga harus meninggalkan posisinya sebagai manajer sekaligus dosen di Smart Investment Institute, lembaga pendidikan yang didirikan oleh keluarganya.
Setelah resmi menjadi komisioner KPAI, semua risiko sebagai aktivis perlindungan anak akhirnya memang menjadi ‘makanan’ Elin sehari-hari. Mulai dari difitnah, dikuntit, hingga diancam akan dibunuh. Misalnya, ketika Elin mengamankan seorang anak yang disiksa ibunya di sebuah rumah aman milik Kementerian Sosial, ibu si anak melaporkan Elin ke polisi dan menuduh pihak KPAI telah menculik anaknya. Elin dan KPAI juga dituduh telah menggalang opini masyarakat oleh kuasa hukum ibu angkat Angeline yang dituduh sebagai pembunuh anak angkatnya itu.
Namun yang paling membuat Elin stres dan lelah secara fisik dan mental adalah ketika ia dan KPAI serta Komnas Anak (yang diketuai Seto Mulyadi) menangani kasus dugaan kekerasan seksual terhadap para siswa sebuah sekolah internasional di Jakarta. Selain urusannya berlarut-larut, ia juga beberapa kali mendapat ancaman dari beberapa pihak. Ketika suatu hari ia sedang mengendarai mobil sendirian, Elin melihat ada beberapa mobil yang terus menguntitnya, sehingga ia terpaksa masuk ke parkiran sebuah mal.
“Pokoknya kayak adegan di film action, deh,” katanya, tertawa. Ia bersyukur mendapat dukungan penuh dari suami dan orang tuanya, terutama ayahnya. “Sebelum mendaftar ke KPAI, saya sudah minta izin kepada suami. Saya bilang, ‘Saya ingin membantu anak-anak. Dan kalau kamu mengizinkan, tolong saya jangan di-cut di tengah jalan.’ Ternyata suami saya justru bangga dengan aktivitas saya, meski sering ketar-ketir juga,” papar istri dari Dr. Bambang Heru Iswanto ini.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari kedua anak lelakinya, Herbian Alfarisi (11) dan Diffie Alfierie (9). Ketika sedang menangani kasus anak yang disiksa orang tuanya, Elin harus bolak-balik menengok anak itu di rumah aman, bahkan beberapa ia kali menginap di sana. Rupanya hal ini membuat kedua anaknya cemburu dan mengatakan, “Sebenarnya anak Mami itu siapa, sih?” Bukan hanya itu, si sulung bahkan sempat ‘mengancam’. Ia mengajak adiknya untuk melaporkan sang ibu ke Komnas Anak karena telah menelantarkan anak-anaknya!
“Saya tidak tahu ancaman itu serius atau tidak, karena saya tahu betul bahwa sebenarnya mereka bangga terhadap ibunya. Tapi protes itu membuat saya sadar bahwa boleh saja saya melindungi anak orang lain, namun saya tak boleh mengabaikan anak-anak saya sendiri. Sekarang, kalau tidak benar-benar emergency, setiap akhir minggu saya tidak mau diganggu. Itu adalah waktu saya untuk anak-anak dan suami,” ia menambahkan.
Sebelum kami berpisah, Elin tak lupa meminta agar seluruh masyarakat mau membaca, memahami, dan mematuhi Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 (hasil revisi dari UU No.23/2002). "Anak-anak belum sanggup melindungi diri sendiri, jadi kita sebagai orang dewasalah yang harus melindungi mereka," Elin berpesan.
Foto: Hermawan
Pengarah gaya: Erin Metasari
Rias wajah & rambut: Lala