
Bagaimana Toton, Rani Hatta, Peggy Hartanto, Major Minor Maha dan Hian Tjen, mengartikan Modernism melalui koleksi terbaru mereka?
Melalui proses kurasi yang panjang dari Dewi Fashion Panel yang terdiri atas Dian Sastrowardoyo, Indra Leonardi, Daisy Musin, Hidajat Jati, Syahmedi Dean, dan Ruben William, terpilihlah lima desainer/label yang menjadi ksatria di fashion show paling bergengsi di Jakarta Fashion Week (JFW) 2018, Dewi Fashion Knights (DFK) 2017.
Dewi Fashion Panel memilih Toton, Rani Hatta, Peggy Hartanto, Major Minor Maha dan Hian Tjen, untuk mewujudkan tema tahun ini, Modernism.
“Punk!” adalah kata pertama yang terlontar dari pikiran saya ketika DFK 2017 dibuka oleh koleksi Toton. Garis desainnya seperti kembali ke tahun 70-an, dan koleksi Toton didominasi bahan denim di setiap koleksinya. Toton juga menggunakan bahan daur ulang dari koleksinya terdahulu, yang kemudian digabungkan dengan denim-denim lamanya. Detail bunga hingga potongan pada bagian lengan, memperlihatkan ketelitian Toton yang nyaris sempurna.
Ksatria kedua adalah Rani Hatta. Untuk DFK 2017, ia mempersembahkan koleksi yang genderless, tidak lagi dirancang khusus untuk wanita saja maupun pria saja, namun dapat digunakan siapa pun. Permainan warna pun tidak banyak berubah; monokromatis dengan aksen warna primer. Sekilas koleksinya mungkin terinspirasi banyak rumah mode dunia lain, tapi menurut saya koleksinya di DFK seperti sekuel dari koleksi Rani Hatta di Tokyo Fashion Week, Maret 2017.
Terinspirasi letusan nuklir yang terjadi akibat gempa di Fukushima, Jepang, Maret 2011 silam,, melalui koleksinya Peggy Hartanto, menampilkan bagaimana bahaya radiasi yang menyebar dan mengganggu kehidupan makhluk sekitar. Tak ubahnya kupu-kupu yang memiliki deformasi pada bagian sayap dan abdomennya. Konsep berat, namun hasil begitu wearable dan menggugah mata. Warna abu, biru tua, putih, terlihat semakin segar dengan sentuhan kunyit kulit menonjol.
Bagi Major Minor Maha, sosok seniman Pablo Picasso dan Henri Matisse tepat menggambarkan Modernism. Terpilih untuk kedua kalinya di DFK, wujud koleksi mereka kali ini seperti karya seni pada sebuah kanvas. Permainan layering tetap terlihat ringan. Koleksi Major Minor Maha juga sangat wearable dengan permainan patches yang bisa dipindah-pindahkan.
Penutup yang menyegarkan, begitu kesan yang saya dapatkan dari penampilan ksatria terakhir, Hian Tjen. Seperti mesin waktu, sekejap suasana runway berubah ke era 60-an. Makeup dan hairdo mengingatkan kita akan ikon tahun tersebut, Twiggy. Symmetrophilia adalah temanya; Hian ingin memperlihatkan sosok wanita yang terlihat simetris dari busana dan juga riasan. Walau nuansa terasa begitu nostalgia, koleksi Pemenang Favorit Lomba Perancang Mode 2007 ini tetap membawa DNA Hian Tjen: Mewah, cantik, seksi.
Foto: Image.net/Jakarta Fashion Week 2018