
Era Soekamto selalu percaya tentang kekuatan mimpi.
Saat SD, ia punya sebuah buku yang ia namai dreambook. Foto-foto baju rancangan desainer dari majalah milik sang ibu ia gunting lalu ditempelkan di buku itu. Ada karya Ghea Panggabean, Samuel Wattimena, juga Chossy Latu. Ia juga membuat daftar julukan bagi nama-nama warna yang ia lihat, misalnya Biru Laut, Biru Langit, dan sebagainya.
Tahun-tahun berlalu, dan satu per satu mimpinya yang ada di dreambook mulai terwujud. “Lucunya, sepuluh tahun kemudian, setelah aku bikin dreambook, namaku ada di IPMI (Ikatan Perancang Mode Indonesia),” kata lulusan LaSalle International Fashion College Singapore jurusan Fashion Design ini.
Bergabung dalam IPMI di usia 22, ia bertemu dengan semua desainer hebat yang fotonya terpampang di dreambook-nya. Bahkan, ia pernah duduk di posisi ketua sehingga pernah mengurusi semua desainer yang ia kagumi itu.
Ada lagi mimpinya yang terwujud. Kegemarannya dengan warna juga tersalurkan saat ia menjadi dosen di LaSalle College Jakarta. Ia mengajar mata kuliah Color and Composition. Ia juga mengajar mata kuliah Trend Forecasting, Fashion Illustration, Fashion Design, dan Costume History. Itu dilakoninya selama sembilan tahun sejak berumur 23 tahun.
Dari dulu, Era memang sangat suka dengan sejarah sehingga sangat pas bila ia mengajar tentang sejarah pakaian. Di dunia pendidikan, bahkan Era pernah diberi kepercayaan untuk membuat kurikulum di sekolah fashion Indonesia International Fashion Institute yang didirikan oleh Poppy Dharsono.
Sejak 2012, Era juga menjadi Creative Director Iwan Tirta Private Collection. Era terpilih untuk menjaga 13 ribu motif batik peninggalan Iwan Tirta setelah sang maestro meninggal tahun 2010. Era percaya bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Keyakinannya memang beralasan—ia sering kali melihat bukti-bukti campur tangan Yang Di Atas dalam perjalanan hidupnya.
Minat Era akan budaya Indonesia sudah tertanam dalam. Era lahir di wilayah Mataram, NTB, namun ibunya dari Tegal, ayah dari Yogyakarta. Di usia dua tahun, ia pindah ke Bali, mengikuti tugas ayahnya yang jadi kontraktor. Di Bali, kecintaan Era pada kesenian mulai bersemi.
Dulu semasa kecil, tiap pagi hari Era terbiasa mendengarkan musik keroncong kegemaran ibunya, dan di malam hari sang ayah memutarkan musik klenengan khas Jawa. Cita-citanya sesungguhnya sederhana, ingin melestarikan kebudayaan yang dicintai oleh ayah-ibunya yang kini sudah tiada.
“Kata ibuku, aku harus bisa semua. Beliaulah yang memperkenalkan aku pada kesenian. Aku diajak ke museum, ke penenun dan pembatik. Dulu aku suka berantakin kain-kain batik ibuku,” kenang Era. Sampai kini, kain-kain dari seluruh Nusantara milik sang ibu masih ia rawat dengan baik.