
Peneliti senior dan pendiri Lembaga Eijkman, Herawaty Sudoyo, 65, bercerita tentang dunia penelitian yang kerap dianggap ‘tak seksi’.
Orang awam mungkin membayangkan dunia penelitian sebagai ‘kering’ dan ‘tidak seksi’. Dan para peneliti adalah orang-orang nerd yang senang mengubur diri di laboratorium. Padahal kami sama normalnya dengan para profesional lain. Yang senior kayak saya umumnya suka fashion dan budaya, sedangkan yang muda-muda suka nonton film dan konser. Peneliti justru harus gaul supaya hidupnya balanced.
Kalau ‘kering’ dari segi materi, memang tidak terlalu salah, ha ha ha…. Bagi seorang peneliti, kepuasan batin nomor satu, terutama bila kami berhasil menemukan sesuatu yang berguna bagi sebanyak-banyaknya umat manusia. Dari sisi akademis kami juga terus didorong untuk mencapai jenjang akademis tertinggi (Ph.D). Peluang bagi peneliti untuk mendapatkan beasiswa sangat besar. Peneliti juga tak kenal pensiun—selama fisik dan otaknya masih bekerja dengan baik.
Menjadi peneliti sebenarnya bukanlah cita-cita awal saya. Saya dulu ingin jadi arsitek. Tapi di keluarga besar saya hanya ada satu dokter, paman saya. Ayah lantas mendorong saya untuk jadi dokter, dan ternyata saya diterima di FKUI (1971). Tapi karena saya menikah di tahun kedua dan punya anak di tahun ketiga, saya tidak jadi memilih jalur klinis dengan menjadi dokter, karena tak tega terus-terusan meninggalkan anak. Saya memilih masuk ke jalur praklinis dengan mempelajari ilmu-ilmu penunjang kedokteran, antara lain biologi dan kimia. Biarlah suami saya saja (Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD—red) yang jadi dokter klinis. Setelah mendalaminya, ternyata dunia penelitian itu mengasyikkan dan saya sangat menikmatinya.
Pekerjaan meneliti di lab adalah scientific art. Setiap orang bisa menemukan atau memodifikasi caranya sendiri. Sama seperti seni memasak, nama masakan, resep, dan cara membuatnya boleh sama, tapi rasa dan penampilan akhirnya bisa beda-beda tergantung tangan orang yang masak. Saat mengambil studi doktoral di Monash University, Australia, saya mengambil bidang biologi molekul, cabang biologi yang mengkaji kehidupan organisme pada skala molekul.
Pada dekade 90-an, bidang ini masih baru di dunia dan diprediksi akan booming di masa depan karena berdampak luas bagi kemaslahatan manusia. Saya merasa tertantang karena seolah dicemplungkan ke sebuah dunia baru. (Herawati dan Prof. Dr. Sangkot Marzuki—mentornya di Monash—lalu diminta untuk menghidupkan kembali Lembaga Eijkman, tapi kali ini dikhususkan untuk penelitian biologi molekul—red).
Di Indonesia, bidang ilmu ini baru menjadi perhatian publik saat terjadi bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004). Eijkman bekerja sama dengan polisi mengidentifikasi tersangka pelaku—yang tubuhnya sudah menjadi serpihan—dengan pemeriksaan DNA. Hasilnya keluar dalam dua minggu, dan sangat memuaskan. Ini adalah terobosan baru yang baru pertama kali digunakan oleh polisi kita (Herawati dianugerahi Habibie Award 2008 sebagai peletak dasar pemeriksaan DNA bagi korban dan pelaku bom bunuh diri—red).
Penelitian DNA juga bisa dilakukan untuk mencari hubungan darah antara kelompok manusia di wilayah yang berbeda. Tim saya—bekerja sama dengan para peneliti dari Selandia Baru, AS, dan Prancis—belum lama ini berhasil menemukan pemetaan genetik yang menunjukkan adanya hubungan darah antara penduduk Indonesia dan penduduk Madagaskar di Afrika. Ini sangat menarik, karena sesungguhnya saat ini hampir tidak ada lagi manusia di dunia yang berdarah murni. Dengan kesadaran ini, seharusnya kita akan lebih mudah untuk memahami dan menerima konsep pluralitas.
Foto: Radhitya Wisnu Satriawan
Pengarah gaya: Erin Metasari