
Pada dasarnya, anak-anak memiliki sifat yang murni dan tidak mengenal perbedaan. Namun virus diskriminasi secara langsung atau tidak langsung ditumbuhkan dari keluarga maupun orang-orang terdekat mereka, terutama orang tua. Misalnya, ketika Anda menyebut orang lain dengan label suku atau agama tertentu, apalagi dengan nada mencemooh, maka anak akan merekam hal itu dan kemudian menirunya. Begitu pula jika Anda sering memperlakukan wong cilik, misalnya asisten rumah tangga, dengan kasar, maka anak akan menconteknya. Karena, di usia balita, anak-anak cenderung belajar perilaku melalui modeling terhadap orang tua atau orang-orang di sekitarnya.
Selain keluarga, pihak yang juga turut andil menyebarkan virus diskriminatif adalah sekolah (dalam konteks ini adalah guru), terutama di level pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan di Indonesia faktanya belum mencerminkan karakter asli bangsa kita yang multikultural. Ditambah lagi, pemerintah belum terlalu memperhatikan kualitas guru dan lebih cenderung memfokuskan pada sisi akademis siswa, bukan pada pembinaan karakter atau mentalnya.
Prof. Musdah Mulia, pendiri dan ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mengemukakan salah satu temuannya di lapangan yang cukup mengejutkan. Ternyata bibit-bibit diskriminatif sudah ditanamkan kepada anak-anak di tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) oleh guru agama mereka sendiri. Bayangkan, kalau sejak kecil mereka sudah diajarkan bahwa agama atau suku bangsa merekalah yang paling kuat dan benar, jangan heran kalau di kemudian hari mereka akan ikut memberi 'label' pada orang lain yang berbeda keyakinan dengan mereka, misalnya dengan menyebut mereka kafir, pantas dibenci, bahkan wajib dimusnahkan. 'Doktrin' inilah yang tanpa sadar meracuni hati mereka yang polos dan kemudian diyakini hingga mereka dewasa.
Karena itu, untuk menyelamatkan bangsa ini, kita perlu menumbuhkan kembali rasa toleransi di dalam masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan di lingkungan keluarga adalah membiasakan perbedaan sejak dini. Jangan mensterilkan anak-anak di lingkungan yang serba homogen. Misalnya, menyekolahkan mereka di sekolah umum yang bukan berbasis agama atau gender tertentu. Bukan hanya terhadap hal-hal yang berbau SARA, toleransi juga perlu ditumbuhkan untuk menyikapi perbedaan lainnya, termasuk perbedaan penampilan fisik, tingkat kecerdasan, sampai orientasi seksual.
Selain keluarga, pihak yang juga turut andil menyebarkan virus diskriminatif adalah sekolah (dalam konteks ini adalah guru), terutama di level pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan di Indonesia faktanya belum mencerminkan karakter asli bangsa kita yang multikultural. Ditambah lagi, pemerintah belum terlalu memperhatikan kualitas guru dan lebih cenderung memfokuskan pada sisi akademis siswa, bukan pada pembinaan karakter atau mentalnya.
Prof. Musdah Mulia, pendiri dan ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mengemukakan salah satu temuannya di lapangan yang cukup mengejutkan. Ternyata bibit-bibit diskriminatif sudah ditanamkan kepada anak-anak di tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) oleh guru agama mereka sendiri. Bayangkan, kalau sejak kecil mereka sudah diajarkan bahwa agama atau suku bangsa merekalah yang paling kuat dan benar, jangan heran kalau di kemudian hari mereka akan ikut memberi 'label' pada orang lain yang berbeda keyakinan dengan mereka, misalnya dengan menyebut mereka kafir, pantas dibenci, bahkan wajib dimusnahkan. 'Doktrin' inilah yang tanpa sadar meracuni hati mereka yang polos dan kemudian diyakini hingga mereka dewasa.
Karena itu, untuk menyelamatkan bangsa ini, kita perlu menumbuhkan kembali rasa toleransi di dalam masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan di lingkungan keluarga adalah membiasakan perbedaan sejak dini. Jangan mensterilkan anak-anak di lingkungan yang serba homogen. Misalnya, menyekolahkan mereka di sekolah umum yang bukan berbasis agama atau gender tertentu. Bukan hanya terhadap hal-hal yang berbau SARA, toleransi juga perlu ditumbuhkan untuk menyikapi perbedaan lainnya, termasuk perbedaan penampilan fisik, tingkat kecerdasan, sampai orientasi seksual.
Shinta Kusuma