
Rumah milik Dwina Wijaya ini terkesan luas sekalipun disekat di sana-sini. Bergaya retro chic yang tetap modern.
Rumah dua lantai itu terlihat anggun di pojok sebuah town house di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Mencolok dengan pemilihan warna putih yang berbeda dari rumah-rumah di sekitarnya. Pintu utama setinggi kurang-lebih tiga meter warna hitam menunjukkan karakter berani. Ada apa di baliknya? Pertanyaan itu hadir dalam pikiran saya.
Melalui pintu hitam tersebut saya menginjakkan kaki ke dalam rumah. Mata saya langsung tertuju pada kursi di ruang tamu yang berwarna kuning—membuat semangat saya langsung melompat. Kemudian saya memandang ke sekitar, dan pandangan saya seolah menembus ke bagian terdalam rumah.
“Dari awal pemilik rumah ingin menerapkan konsep open space,” jelas Dini Singadipoera, desainer interior rumah tersebut. Pemilik rumah juga seorang arsitek, kakak kelas Dini, yaitu Dwina Wijaya, direktur sebuah perusahaan keuangan BUMN. Selera yang sama dengan pemilik mempermudah Dini dalam mengerjakan rumah ini. Mereka berdua senang dengan desain ala Skandinavia dan vintage modern.
Kesenangan yang sama itu lalu dituangkan ke dalam interior rumah tersebut. Contohnya, kursi kuning yang membangkitkan semangat bagi setiap orang yang masuk ke dalam rumah. Desainnya retro, sebuah gaya interior yang banyak digunakan ada 1950-an. Tidak lupa, kaki-kaki meja dan kursi dibentuk mengecil ke bawah, ciri khas gaya retro atau vintage. Begitu juga meja kecil di depannya yang berbentuk pallet.
Suasana hangat tercipta dari wallpaper yang berbeda di setiap ruangan. Pada ruang tamu, Dini memilih warna cokelat muda dengan sedikit detail gold untuk menyeimbangkan si Kursi Kuning. Tak lupa lukisan yang dipilih juga seirama. Dengan wallpaper yang sama, pada ruang kerja diletakkan kursi kulit sewarna dengan kayu-kayu yang digunakan.
Pada dasarnya rumah tersebut dibeli Dwina untuk kemudian disewakan, khususnya kepada warga negara asing. “Biasanya mereka senang (rumah yang) memiliki ruang kerja,” jelas Dini. Untuk memenuhi kebutuhan penghuni rumah nanti, kamar tamu diubah menjadi ruang kerja. Sekat dari kayu berbentuk “L” ia letakkan hanya pada dua pojok yang berseberangan, untuk memberi aksen adanya sebuah ruangan. Hal ini ia lakukan agar konsep open space tetap tercipta. Untuk memaksimalkan ruang, bagian bawah tangga dijadikan lemari buku dan tempat beberapa laci kecil.
Di setiap ruangan ada lemari kecil yang juga berfungsi sebagai meja. Lemari-lemari tersebut terbuat dari kayu jati dengan finishing yang dibuat halus agar lebih terlihat natural. Kaki-kakinya pun dibuat mengecil di bagian bawah. Dan sebuah lemari yang diletakkan di ruang tamu menyita perhatian saya. Oh, ternyata itu tempat majalah—bentuknya seperti keranjang yang berkaki.
Suasana berbeda terasa ketika saya berada di ruang makan. Ada meja berukuran cukup besar untuk enam orang dengan ornamen pahatan batu pada kaki-kakinya. “Meja ini peninggalan pemilik rumah sebelumnya. Jadilah rumah ini lebih eklektik,” jelasnya. Saya setuju, eklektik membuat rumah ini semakin unik.
Berjalan ke ruang keluarga, Dini menata ruang ini lebih santai dengan sofa-sofa besar serta beragam bantal bermotif bernuansa biru. Berhadapan langsung dengan taman yang dibatasi pintu kaca, taman itu sebetulnya tidak begitu luas. Agar tetap tampak asri, Dini menyiasatinya dengan membangun vertical garden. “Jadi, (dari sini) akan terlihat pemandangan cantik hijaunya dedaunan.”
Yang pasti, saya ingat ragam gambar yang melengkapi interior setiap sudut rumah. Sketsa bangunan-bangunan tua di London mencerminkan kepribadian sang pemilik rumah. “Gambarnya merupakan sketsa memakai Rapidograph dalam bentuk repro karya seorang seniman Prancis,” kata Dini menutup obrolan.
Foto: Shinta Meliza
Pengarah visual: Erin Metasari