Perbedaan budaya dan batas negara justru menjadi bumbu penyedap yang dapat menghasilkan sebuah karya fashion memukau. Perpaduannya patut ditunggu-tunggu.
Di sebuah Sabtu pagi, saya dan sembilan teman berangkat dari Jakarta menuju Desa Ciboleger, Banten. Desa yang berlokasi 40 kilometer dari Rangkas Bitung ini adalah tempat kami akan memulai perjalanan ke kampung suku Baduy. Di antara teman-teman perjalanan saya adalah Amanda Indah Lestari, akrab dipanggil Mandy, Creative Director brand fashion Lekat, dan Billie Jacobina, seorang desainer tekstil asal Inggris.
Untuk kedua kalinya Jakarta Fashion Week dan The British Council bekerja sama dalam residency program yang memungkinkan desainer atau brand dari Indonesia dan Inggris menghasilkan sebuah karya bersama. Kali ini kerja sama terjadi antara Billie dan Lekat, brand fashion yang mengusung tenun Baduy dalam setiap koleksinya.
Dari Ciboleger, kami berjalan kaki menuju Kampung Gajeboh suku Baduy Luar. Untuk mencapainya, kami berjalan kaki selama kirakira satu jam. Dari kampung yang pertama, telah terlihat para wanita yang duduk di depan rumah mereka sambil menenun. Kain-kain tenun berwarna-warni yang telah rampung pun diperlihatkan kepada para pembeli.
Sejak dulu Mandy sudah menyukai tekstil Indonesia. Ibunya yang selalu mengajarkannya untuk menghargai budaya negeri sendiri. Karakter Indonesia itulah yang ingin ia baurkan dalam karyanya ketika ingin memperluas usahanya dari perhiasan menjadi brand fashion. Don Hasman, seorang fotografer senior, adalah orang yang memperkenalkan Mandy dengan Baduy. “Dia bercerita tentang pengalamannya ke Baduy dan mengusulkan agar saya ke sana,” cerita Mandy. Don pun belum tahu apa yang bisa Mandy lakukan—tapi ia punya keyakinan jika berhasil, apa pun itu, akan menjadi sesuatu yang menakjubkan.
Mandy pun berangkat dan melihat Baduy dengan matanya sendiri. “Saya lihat cara mereka menenun, cara mereka hidup, mindset mereka yang hidup sederhana saja sudah happy,” ujarnya. Karena melihat itu, Mandy pun dengan yakin mengangkat budaya kerajinan mereka melalui koleksi fashionnya.
Sesampainya di kampung Baduy Luar, kami disambut oleh camilan berupa gula aren. Siang itu matahari bersinar dengan terik. Saya tergoda sekali untuk langsung menceburkan diri ke sungai yang ada di hadapan saya. Kami pun berjalan-jalan mengelilingi kampung, menyeberangi sungai di atas jembatan bambu yang, jujur saja, membuat saya sedikit deg-degan.
Bunyi para wanita yang sedang menenun bersahut-sahutan ketika kami berjalan di antara rumah-rumah yang jaraknya berdekatan. Walau tampak jelas bahwa kami adalah pendatang—pakaian wanita di sini seperti seragam, atasan seperti kebaya, dengan bawahan kain batik—mereka tampak cuek saja dengan kehadiran kami dan terus melakukan aktivitas.
“Satu bulan,” begitu kata seorang ibu yang sedang menenun. Itu adalah waktu kira-kira untuk menyelesaikan satu potong kain tenun bermotif. Waktunya bisa beragam sesuai tingkat kesulitan motifnya. Dan waktunya akan lebih pendek jika kain tersebut polos saja. Sambil bicara, walau hanya sepotong-sepotong, tangannya bergerak meluncurkan gulungan benang dari kanan ke kiri, kiri ke kanan. Proses penenunan Baduy sama seperti proses penenunan di daerah lain. Yang membuatnya berbeda adalah motif-motifnya. “Motifnya lebih geometris,” kata Mandy. Selain itu, menurut Mandy, warna-warna tenun Baduy lebih memungkinkan untuk ‘ditabrakkan’ dengan warna atau bahan lain.
Dari kain tenun tersebut, Mandy mengolahnya menjadi busana siap pakai yang bergaya modern. “Saya ingin semua orang bisa memakainya dan menghargai budaya Indonesia,” katanya. Sekarang banyak desainer yang menggunakan kain Nusantara sebagai bagian dari desain mereka. Batik atau tenun ikat sudah bukan sesuatu yang aneh lagi. Melalui desainnya, Mandy ingin mengingatkan ada tempat yang begitu dekat dari Jakarta, hanya empat jam perjalanan, yang juga punya kain tradisional yang cantik.
Di setiap koleksinya, Mandy memiliki tema besar Woman Empowerment. Ini adalah upaya merepresentasikan suara dan hati wanita Baduy yang punya tugas berat. Mereka mengurus keluarga, anak, memasak, membersihkan rumah, dan juga menenun yang nantinya akan dijual oleh para pria ke luar atau di dalam perkampungan Baduy. Mereka tidak bisa keluar dari Baduy dan dilarang untuk menerima pendidikan, sehingga mereka tidak bisa membaca. Dengan demikian, kesempatan bekerja di luar Baduy bisa dibilang hampir tidak ada.
Mandy selalu bercerita tentang desain-desainnya menggunakan tenun Baduy. Kain tenun tersebut bisa menjadi apa dan bagaimana tanggapan orang-orang melihatnya. “Menurut saya, sayang saja mereka sudah membuat (kain) bagus-bagus tapi tidak ada yang tahu. Ini tantangan untuk saya, mempackage agar lebih bagus,” katanya saat kami berbincang di depan lumbung desa tersebut.
Tema pemberdayaan wanita pun tak dilupakan Mandy untuk koleksi kolaborasinya dengan Billie. Konsisten memakai tenun Baduy, Mandy menghadirkan koleksi yang terinspirasi cerita Nyi Roro Kidul dan Putri Mandalika. Billie, lulusan University for the Creative Arts Rochester, menerjemahkan kedua cerita rakyat tersebut menjadi motif tekstil pada pakaian rancangan Mandy.
Bicara soal kesederhanaan saat bekerja dalam konteks ini mungkin hanya dimiliki suku Baduy. Awalnya, Mandy dan Billie sama-sama menemukan kesulitan. Berbeda kebudayaan, Billie tidak terbiasa memahami cerita rakyat seperti Nyi Roro Kidul dan Putri Mandalika. “Kami punya cerita peri dan monster,” ujar Billie. Untuk membantu Billie memahami cerita tersebut, Mandy dan timnya menyiapkan buku untuk dibaca, memasang tulisan-tulisan pendek di workshop mereka.
Hasilnya diperlihatkan di Rumah Lekat, Jakarta, beberapa hari setelah itu. Motif-motif karya Billie dan sketsa Lekat berkolaborasi lintas budaya. Interpretasi Billie akan cerita rakyat Indonesia dan kain-kain penuh warna dari Baduy membuat koleksi Lekat kali ini begitu spesial. Tak sabar menunggu koleksi kolaborasi mereka di runway Jakarta Fashion Week 2017 nanti!
Foto: Jane Djuarahadi, Previan F. Pangalila