Seorang kawan perempuan sesama perantau di Bali, berusia 30-an dan menikah dengan pria usia 60-an, pernah curhat kepada saya. Ia mengeluhkan kecemasannya bahwa ia bisa kehilangan masa mudanya. Suaminya sudah sepuh dan tidak lagi menyukai kegiatan dan kenikmatan yang digandrunginya. Celakanya lagi, para tetangga dan teman-teman terdekatnya rata-rata juga berusia lebih tua darinya—40-an dan 50-an.
Sepertinya dia tidak percaya pada perspektif yang saya utarakan tentang usia—meskipun ia pura-pura menyimak. Buktinya, tak lama kemudian dia segera banting setir meluaskan lingkaran gaulnya di antara orang-orang sebayanya—lewat klub, grup arisan, dan sebagainya. Saya paham betul keputusannya. Tak seorang pun ingin melewatkan masa muda yang penuh kenikmatan, kan? Yang sulit saya pahami bukanlah keputusannya untuk bersenang-senang dengan lingkungan sebaya. Melainkan, mengapa dalam bersenang-senang dan menikmati hidup, ia harus berpatokan pada usia? Apakah itu berarti bahwa orang-orang yang sudah ‘matang’ tidak asyik lagi sebagai teman gaul?
Itu hanya satu contoh kasus kecemasan orang-orang di sekitar saya tentang usia. Bila saya berkesempatan ngobrol dengan teman-teman sebaya, akan segera terasa betapa kecemasan dan keresahan tentang penuaan kian memuncak, baik diam-diam maupun terang-terangan. Lagi-lagi saya dapat memaklumi—budaya populer kita memang termasuk yang mengagungkan kemudaan. Di banyak tayangan TV dan di media cetak, nyaris setiap hari kita saksikan yang muda dan belia tampil sebagai pusat di panggung sosial, lengkap dengan semangat yang menggebu-gebu dan penuh keceriaan. Yang sudah sepuh, kendati masih potensial, seolah tidak punya panggung lagi, karena tua dianggap tak lagi atraktif dan laku dijual. Paling-paling tempatnya hanya di belakang, jadi figuran.
Selain itu, hirarki usia di masyarakat kita termasuk yang ditekankan. Kita punya berbagai sebutan dan gelar hirarki bagi orang-orang yang lebih tua. Lagi-lagi semua itu baik adanya, sampai ditemukan muatan penanda diskriminasi di dalamnya.
Saya sering mendengar kawan-kawan mengatakan, “Äh, saya, kan, sudah tua. Sudah tak pantas pakai baju seperti itu.” Atau, “Masa saya diajak arung jeram? Saya sudah tua!” Seolah-olah
ada pilihan gaya berpakaian, cara berdandan, dan jenis kegiatan berdasarkan batasan usia. Tentu saja saya setuju gaya berpakaian dan berdandan yang pantas dan sesuai situasi dan kondisi, tetapi itu bukan semata-mata berdasarkan usia. Rok mini bukan terlarang bagi seorang nenek, tetapi mungkin tak elok lagi bila kita menampilkan betis dan paha yang sudah berkeriput.
Sebenarnya saya membuat tulisan ini karena dipicu oleh dua kejadian beruntun di awal kedatangan saya di Belanda, kampung halaman suami saya. Cucu keponakan saya yang masih balita, begitu melihat saya, langsung menyapa dengan gaya akrab, “Hei, Rani,” seolah-olah kami sebaya saja. Ia memang tidak suka memanggil saya “oma” sejak pertama kali kami diperkenalkan. Dan memanggil nama kepada orang yang lebih tua, bahkan kepada yang sudah sangat tua sekalipun, sudah biasa dan tidak akan dianggap sebagai tidak sopan di Eropa.
Tanpa disebut “oma”, toh, saya tidak lantas merasa jauh lebih muda, apalagi merasa sebaya dengan balita itu. Saya tetap sadar ia balita dan saya pantas jadi neneknya. Saya tak keberatan dipanggil “nenek” oleh cucu saya—oh ya, saya baru saja punya cucu. Yang mau saya sampaikan, tidak perlu ada penekanan kesenjangan usia pada panggilan-panggilan hirarki yang ada.
Masih pada hari yang sama di Belanda, saya pergi ke sebuah department store untuk membeli kebutuhan mandi. Saat melintasi rak yang memajang berbagai merek krim, saya terperangah saat
menemukan krim antipenuaan untuk wanita usia di atas 60! Wah! Akomodatif sekali negeri ini terhadap orang usila. Soalnya, seingat saya, krim antipenuaan di Indonesia rata-rata bagi usia 40 tahun ke atas. Yang terpikir oleh saya saat membaca krim untuk ‘60 plus-plus’ itu adalah: Apakah di negeriku perempuan di atas 60 sudah dianggap terlalu tua, sehingga dianggap tak perlu lagi menggunakan kosmetik antipenuaan dan harus pasrah saja menerima penuaan?
Kalau demikian, pantas saja bila kawan saya tadi sampai begitu cemasnya bila ia tak berpuas-puas menikmati masa mudanya dengan teman-teman sebaya. Soalnya, menjadi tua sama saja dengan memasuki masa dengan batasan-batasan dalam hal mencicipi berbagai kenikmatan duniawi. Tak lagi punya tempat, peran, dan keleluasaan untuk menikmati kesenangan kesenangan dan keriangan hidup.
Saya jadi berpikir, banyak nggak orang macam saya, yang tak pernah merasa menua? Usia saya memang bertambah setiap tahun. Tetapi saya begitu malas dan lamban dalam menerima kenyataan itu. Rasanya, saya masih saja ada di usia 30-an, yang sudah lewat 20 tahun lalu.
Ini bukan soal penyangkalan, tetapi mungkin soal sikap dan kebiasaan. Pertama, gaya berpakaian, gaya berdandan, jenis kegiatan, dan peran saya belum banyak berubah sejak 20 tahun lalu. Di cermin, saya tentu melihat perubahan tetapi tidak signifikan—terutama setelah saya menemukan bubuk daun henna alami yang membantu saya menyamarkan uban menjadi warna burgundy yang keren seperti highlight.
Begitu pula dalam pergaulan. Boleh dibilang sehari-hari saya berteman dan bergaul dengan semua umur. Kawan saya termuda adalah seorang bocah bernama Raisa, 3,5 tahun, anak asisten
rumah tangga saya. Saya sering kali sangat menikmati bercakap-cakap dengannya. Percakapan yang menghibur dan mencerahkan. Lalu ada Komang, remaja putri kelas 3 SMP. Dan Kadek, remaja SMA, tetangga dekat rumah yang sering mengajak saya ngobrol. Meski beda generasi, obrolan kami masih nyambung, tuh. Mulai soal sekolah, cowok, pacar, lingkungan, dan masa depan.
Tapi saya juga punya banyak kawan yang sudah senior, yang berusia antara 60 hingga 80, yang—anehnya—rata-rata masih cantik-cantik, energik, dan tampil menarik. Mereka bahkan jauh lebih menarik, atraktif, dan bersemangat ketimbang beberapa kawan yang berusia 20-30 tahun, yang masih gampang cemas, suntuk, dan banyak mengeluhkan hidup. Kesimpulan saya, bila tidak serius dipikirkan dan tidak dipersoalkan, usia tidak banyak berpengaruh dalam kehidupan pergaulan, kok. Kita tetap bisa menjadi teman yang asyik di usia berapa pun.
Omong-omong, jujur saja, sampai saat ini saya belum merasa perlu mengenakan krim antipenuaan. Bahkan sewaktu menulis ini, saya lupa berapa usia saya. Dan saya boleh tenang-tenang saja, toh, kini (meski baru saya lihat di Belanda), sudah tersedia krim anti penuaan untuk 60 tahun ke atas!
Penulis:
Rani Rachmani Moediarta, penulis lepas, tinggal di Bali