
Hasil survei oleh asosiasi keluarga berencana yang dilakukan pemerintah Jepang pada akhir 2016 memberikan hasil mengejutkan.
Survei yang melibatkan responden berusia 16-49 tahun itu mengungkapkan bahwa kebanyakan pasangan menikah di Jepang mengaku jarang sekali bercinta. Hampir separuhnya mengaku hanya berhubungan seks (lebih dari) sebulan sekali, dan mereka tidak berharap jadwal tersebut bakal lebih banyak di masa depan.
Perkawinan dengan jadwal bercinta sejarang itu sudah bisa dikategorikan sebagai sexless marriage atau perkawinan tanpa seks. Survei itu juga mengungkapkan bahwa angka tertinggi sexless marriage terdapat pada pasangan berusia pertengahan hingga akhir 40-an.
Sebanyak 47% responden pria dan wanita menikah mengakui bahwa (saat survei dilakukan) mereka sedang menjalani sexless marriage. Angka ini meningkat 2,6% dibandingkan hasil survei di tahun 2014, dan 31,9% lebih tinggi dibandingkan ketika survei ini pertama kali dilakukan pada tahun 2004.
Sejumlah ahli tak setuju pada kesimpulan bahwa orang Jepang modern telah kehilangan libido secara kolektif. Mereka meyakini bahwa masyarakat yang tinggal di negara-negara industri dan sangat kompetitif lain juga mengalami hal yang sama.
Kesibukan dan kelelahan dalam menjalani aktivitas sehari-hari, khususnya pekerjaan, telah membunuh keintiman di antara suami istri. Bahkan, lebih dari 22% respoden wanita menganggap aktivitas seksual sebagai gangguan.
Sebanyak 35% responden pria menikah mengaku bahwa pekerjaan mereka sehari-hari telah membuat mereka terlalu lelah dan tak punya tenaga lagi untuk melakukan hubungan seksual dengan istri mereka. Angka ini meningkat drastis dari 21,3% di tahun 2014.
Sebagian responden mengaku kehidupan seks mereka mendingin setelah kelahiran anak-anak. Sebagian lagi mengaku melihat istri lebih sebagai anggota keluarga ketimbang pasangan seksual.
Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir Pemerintah Jepang telah memberi peringatan kepada perusahaan-perusahaan di negeri itu agar tidak menerapkan jam kerja yang terlalu banyak dan tidak memberi tekanan pekerjaan yang tinggi kepada para pegawainya, agar mereka punya lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama keluarga.
Pemerintah Jepang bahkan sedang mengupayakan undang-undang yang mengatur agar setiap karyawan hanya boleh bekerja lembur tak lebih dari 60 jam per bulan. Pembatasan waktu lembur ini sepertinya semakin mendesak, menyusul kasus bunuh diri yang dilakukan seorang pegawai perusahaan periklanan pada 2015, akibat stres karena dipaksa untuk lembur sampai 100 jam sebulan.
Uniknya, riset lain yang dilakukan oleh National Institute of Population and Security Jepang, yang melibatkan 5.000 responden pria dan wanita lajang usia 18-34 tahun, menemukan adanya peningkatan angka penduduk (pria dan wanita) yang masih perawan di rentang usia tersebut. Sebanyak 42% responden pria mengaku belum pernah melakukan hubungan seks sama sekali, sementara pada responden wanita sebanyak 44%.
Bagi Jepang, angka-angka tersebut sangat mencemaskan, mengingat angka kelahiran di negeri itu terus menurun. Saat ini penduduk Jepang berjumlah 127 juta orang. Dengan angka fertilitas 1,4 anak per wanita, diperkirakan pada tahun 2060 populasi Jepang terjun bebas menjadi 87 juta; itu pun sebagian merupakan para manula.
Hadeuuuuhh... disuruh bercinta saja, kok, susah ya....