
Ratna Somantri, tea specialist dan juga pendiri Komunitas Pencinta Teh, bercerita tentang pertemuannya dengan the dan yang membuat cintanya bertahan hingga kini.
Seorang wanita berponi muncul di hadapan saya dan menyapa dengan hangat. Hujan yang melanda ibu kota di sore hari itu, serta kemacetan yang diakibatkannya, seperti tidak memengaruhi semangatnya. “Halo Mbak!” ujarnya.
Wanita itu adalah Ratna Somantri, tea specialist dan juga pendiri Komunitas Pencinta Teh. Senyumnya manis, tetapi kala itu, ada hal manis lain yang dapat saya rasakan melalui indra penciuman saya.
Perkenalan pertama Ratna dengan teh sesungguhnya terjadi di Cirebon, kota kelahirannya. Sang mama sering membuatkan teh dengan teknik sederhana. Ratna pun mempelajari banyak hal. Ia mengetahui bahwa untuk menikmati teh yang enak tidak bisa sekadar asal celup.
“Mama hanya minum teh Jawa dan tidak pakai gula,” cerita Ratna. Sang mama tidak mempelajari teknik khusus dalam menyeduh teh—semua tercipta karena kebiasaannya. Jika ada hal yang berbeda, sedikit saja, pasti akan mudah disadari sang mama.
Sore itu Ratna memperkenalkan saya pada dua jenis teh favoritnya, dari dalam dan luar negeri. Pertama adalah white tea dari kebun teh Liki di Solok Selatan, Sumatra Utara. Teh tersebut tidak dijual di pasaran. Jadi kalau Anda menginginkan, harus langsung membeli ke pemilik kebun. Ketika saya meminumnya, ada sedikit pahit yang tersisa di lidah.
Teh kedua tersimpan di sebuah wadah tabung warna ungu berukuran kecil, dengan corak khas Negeri Sakura. Rupanya, dari situlah asal aroma manis yang saya cium di awal pertemuan. Kamairicha, namanya. Ratna mendapatkannya dari satu kebun teh di Miyazaki, Kyushu, Jepang. “Ini langka. Orang Jepang saja belum tentu tahu,” jelasnya sambil membuatkan saya secangkir. Aromanya seperti kacang manis, begitu menenangkan.
Ratna memang sedang mendalami Japanese tea. Seorang temannya yang juga merupakan Japanese tea instructor membawa Ratna berkeliling ke berbagai perkebunan teh di Jepang. Tidak hanya berkeliling, untuk mempelajarinya ia juga tinggal beberapa malam dan diajarkan langsung oleh Tea Master.
Cinta lamanya terhadap teh menguat di Sydney, Australia. Saat itu ia sedang mengambil kursus memasak di Le Cordon Bleu Pastry. Suatu hari, ia sedang berjalan-jalan di Piccadilly Center dan kemudian menemukan The Tea Center. “Ada ratusan jenis teh di sana,” kenang Ratna, yang sebetulnya memiliki gelar sarjana teknik.
Sekembalinya dari Sydney pada 2005, ia diajak oleh temannya untuk bersama-sama membuka sebuah tea café. Ia pun dipercaya memegang bagian pastry. Namun karena merasa tidak memiliki kemampuan dalam dunia teh, ia memutuskan pergi ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk kursus singkat. Ia juga ke Hong Kong untuk mempelajari Chinese tea.
Setelah 1,5 tahun menjalankan bisnis kafenya, ia memutuskan untuk berhenti. Selama memiliki tea café ia beberapa kali mengadakan kelas untuk membagikan ilmu yang ia dapatkan dari luar negeri. Cintanya terhadap teh tidak berhenti sampai di situ, bahkan semakin tumbuh, dan tumbuh.
Sulit menemukan tempat untuk berbagi, kemudian ia melahirkan Komunitas Pencinta Teh. “Aku hanya ingin memiliki teman-teman yang mau mendengarkan aku sharing tentang teh,” Ratna mengakui. Melalui Komunitas Pencinta Teh yang ia dirikan, kini ia dapat mengenal komunitas lain serta produsen-produsen Indonesia yang menghasilkan teh dengan kualitas baik.
Pada 2014, ia dipilih oleh Dewan Teh Indonesia sebagai kepala bagian promosi. Hal ini semakin mendekatkannya pada mimpi kalau nanti orang Indonesia itu bisa makmur karena the seperti di Jepang dan Cina.
Pengalamannya berkeliling ke kebun teh, dan bertemu banyak ahli, menjadikan pandangannya terhadap teh semakin terbuka. Teh yang begitu dekat dengan budaya mengajarkannya tidak ada benar salah dalam meracik daun-daun pilihan tersebut. “Kalau saya selalu bilang, yang kamu suka, itulah teh yang bagus,” tutupnya sambil mengingat teh buatan sang mama.
Foto: Zaki Muhammad
Pengarah gaya: Erin Metasari
Rias wajah dan rambut: Ary Alba