
Jangan anggap enteng nasihat jadul untuk tidak membawa kemarahan ke tempat tidur.
Penelitian membuktikan bahwa selama kita tidur, otak menyusun dan menyimpan memori-memori negatif di laci-lacinya. Fakta lain, memori negatif lebih susah dihilangkan ketimbang memori positif.
Anda baru saja bertengkar hebat dengan suami, atau dengan anak, atau dengan orang tua, atau dengan siapa pun. Hati Anda masih mendidih karena memendam kemarahan, tapi tak tahu bagaimana melampiaskannya.
Anda enggan membuka front lagi untuk menyelesaikan masalah dan melepas semua ganjalan di hati. Tapi Anda tahu semua pihak masih ‘panas’ sehingga percuma saja mencoba mencari jalan penyelesaian. Akhirnya, sekalipun hati masih menggelegak, Anda memutuskan untuk tidur.
Tentunya Anda pernah (atau sering?) mengalami hal seperti itu. Anda berharap, ketika bangun tidur keesokan harinya, hati Anda sudah lebih dingin. Ya, mungkin yang terlihat di luar memang demikian, namun apa yang terjadi di dalam otak Anda ternyata tidak begitu.
Seperti dilansir dari theguardian.com, riset yang dipimpin oleh Yunzhe Liu di Beijing Normal University dan dilanjutkan di University College London, yang belum lama ini dipublikasikan di jurnal Nature Communication, membuktikan kebenaran nasihat jadul yang kerap dikumandangkan orang tua kita dulu. Yaitu, membawa kemarahan ke tempat tidur bukannya mendinginkan hati, melainkan justru menimbulkan stres yang berkepanjangan.
Riset ini membuktikan bahwa selama kita tidur, otak mereorganisasi, menyusun, dan meyimpan berbagai memori dalam laci-lacinya. Dan celakanya, memori-memori negatif biasanya justru lebih lama bertahan dan lebih susah dihilangkan daripada memori-memori positif.
Penemuan ini juga bisa menjelaskan gangguan post-traumatic stress disorder (PTSD) yang banyak diderita para prajurit yang baru kembali dari medang perang; yang kerap dihantui oleh bayangan-bayangan menyedihkan dan mengerikan tentang anak-anak yang menangis ketakutan, mayat-mayat bergelimpangan, rekan yang terluka dan sekarat, rasa takut bakal tertangkap oleh musuh, dan sebagainya.
Riset ini juga menemukan bahwa stres berkepanjangan akibat membawa kemarahan ke tempat tidur lebih banyak dialami oleh pria ketimbang wanita. Mengapa begitu? Liu menjelaskan, pria lebih suka memendam sendiri kemarahannya; terutama bila ia bertengkar dengan istri, orang tua, atau anaknya sendiri, orang-orang yang dianggapnya seharusnya ia lindungi.
Sedangkan wanita, karena dibantu oleh kebiasaan curhat kepada orang-orang terdekat dan menangis untuk melepas ganjalan hati lewat air mata, lebih sedikit menyimpan memori negatif dalam otaknya. Kendati demikian, kata Liu, kalau pria Anda menderita, Anda juga ikut susah, kan? Apalagi kalau stres yang terpendam itu lama kelamaan berubah wujud menjadi berbagai macam penyakit fisik.
Ada beberapa cara untuk meredakan kemarahan sebelum Anda berangkat tidur, seandainya keadaan belum memungkinkan untuk menyelesaikan masalah dengan orang yang menjadi sasaran kemarahan Anda.
Misalnya dengan bermeditasi atau berzikir untuk membuang berbagai energi negatif yang melekat di otak dan hati, membaca buku atau menonton film yang lucu, atau minum segelas cokelat hangat. Intinya, Anda harus meredakan dulu kemarahan yang mendidih di dada Anda sebelum berangkat tidur.