
Di kota ini, masa lalu dan masa kini seolah tak terpisahkan. Tradisi dan modernitas bagai bergandengan tangan. Suasana itulah yang ingin saya resapi saat berkunjung ke Kyoto di awal musim panas lalu.
Minggu siang itu sedikit mendung saat saya menginjakkan kaki di Stasiun Kyoto, dua setengah jam naik kereta cepat dari Tokyo. Meski sudah memasuki musim panas, cuaca di Kyoto—dan Jepang pada umumnya memang belum stabil. Kadang dingin, kadang hujan, kadang panas. Majestic, kuno, artistik, bersih, tenang, dan tenteram.
Itulah kesan pertama saya saat memandang Kyoto. Kata orang, mirip Yogyakarta sekitar 30 puluh tahun silam. Jalanannya lebar-lebar, pejalan kaki dan pengendara sepeda punya jalur sendiri yang nyaman. Pengendara mobil dan motornya pun begitu tertib, sehingga kita merasa aman dan nyaman saat berjalan kaki atau menyeberang jalan.
Aura majestic memang sangat kental terasa. Bisa dimaklumi, karena Kyoto, yang terletak di tengah-tengah Pulau Honsu, pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Jepang selama seribu tahun, sebelum akhirnya ibu kota dipindahkan ke Tokyo pada 1869 (biasa disebut Restorasi Kekaisaran).
Karena itu, Kyoto memiliki julukan romantis, yaitu “The Thousand-Year-Capital.” Sebelum menjadi ibu kota kekaisaran, Kyoto merupakan kota para shogun, antara lain Klan Shogun Muromachi, Klan Shogun Kamakura, dan Klan Shogun Tokugawa.
Menginap di rumah penduduk
Kami—saya beserta suami dan putri saya—disambut oleh seorang pemuda Jepang bernama Maro, yang lumayan fasih berbahasa Inggris, yang mengantar kami ke rumahnya. Pada liburan kali ini, kami memang ingin mencoba sesuatu yang baru. Kalau biasanya kami tinggal di hotel, kali ini kami memutuskan untuk tinggal di rumah orang Jepang—kami memesannya jauh-jauh hari lewat sebuah website—dan berbaur dengan kehidupan sehari-hari penduduk lokal.
Meskipun sudah tua dan berarsitektur tradisional Jepang, rumah yang kami tempati letaknya sangat strategis di pusat kota Kyoto. Stasiun kereta dan halte bus kota bisa dicapai dengan berjalan kaki. Kami bahkan hanya perlu jalan kaki lima menit untuk mencapai supermarket, coffee shop, butik Uniqlo, dan terutama restoran ramen yang menurut Maro the best in town.
Rumah yang kami sewa ukurannya kecil saja, dengan dua kamar tidur mungil yang berada di lantai atas. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, tea room yang menghadap taman kecil, dapur, dan kamar mandi. Meskipun terlihat kuno, rumah itu dilengkapi perabotan berteknologi mutakhir sekaligus ecofriendly. Ada mesin cuci yang mampu mencuci baju sampai kering hanya dalam 30 menit. Begitu juga dengan AC—bila ruangan sudah terasa dingin, akan mati dengan sendirinya, dan kembali menyala bila ruangan kembali panas.
Kamar tidurnya tanpa tempat tidur, melainkan beralaskan tatami, yaitu tikar Jepang yang sangat halus dan sangat rentan kotor, sehingga sepatu dan koper tidak boleh masuk ke kamar tidur. Di rumah-rumah Jepang, kita diharuskan melepas sepetu begitu masuk rumah dan menggantinya dengan sandal rumah
Jujur saja, tidur ala Jepang di atas tatami yang beralas futon (matras tipis) ternyata tidak senyaman yang saya duga. Apalagi buat suami saya yang orang Eropa. Begitu bangun di pagi hari, badan malah jadi pegal-pegal. Ah, mungkin saya tidak tahu caranya saja. Maka saya pun menelepon seorang sahabat yang menikah dengan pria Jepang untuk menanyakan trik-trik agar bisa tidur nyaman di atas tatami.
Teman saya malah tertawa. Ternyata memang tidak ada trik sama sekali. Hanya butuh waktu sampai tubuh kita bisa menyesuaikan diri. Namun ia meyakinkan kami bahwa tidur di atas tatami beralas futon akan memperbaiki postur tubuh. Buktinya, postur tubuh orang Jepang jarang yang bungkuk. Ahaaa.…
Belanja ke supermarket merupakan salah satu acara yang paling saya sukai. Rasanya semua merek green tea ingin saya beli. Sayuran dan buah-buahan terlihat begitu segar, terutama tomat ceri. Maklum, saya penggemar tomat ceri. Rasanya manis sedikit asam, sehingga cocok buat camilan. Susu segar dan bermacam sake (arak Jepang) terhitung murah, namun beras justru mahal.
Bertemu geisha di Gion
Gion adalah perkampungan tua di Kyoto yang masih dihuni penduduk. Mungkin bisa dipadankan dengan wilayah Kotagede di Yogyakarta. Letaknya tak jauh dari pusat kota dan mudah dijangkau dengan bus kota karena di Kyoto tidak ada kereta bawah tanah. Wilayah ini tertata sangat apik, mulai dari lorong-lorongnya yang sempit dan padat penghuni, hingga jalanan utamanya yang kalau malam diterangi lampion-lampion dari kertas.
Di sisi kanan-kiri jalan banyak terdapat rumah teh tradisional dan toko cendera mata. Beberapa traditional tea house memajang poster pertunjukan geisha—di Kyoto, geisha lebih dikenal dengan nama gaiko. Sedangkan wanita Jepang yang sedang belajar untuk menjadi gaiko disebut maiko. Untuk menjadi seorang geisha atau gaiko, seorang maiko tidak hanya diajarkan untuk mendandani—tepatnya melukis—wajahnya seperti memakai topeng dan menggelung rambutnya dengan konde ala Jepang.
Secara tradisional tugas seorang geisha adalah menjamu tamu dengan menyajikan upacara minum teh, menari, menyanyi, dan memainkan alat musik tradisional. Karena itu, para maiko harus menguasai semua keterampilan itu. Oh ya, ada juga papan peringatan bagi para wisatawan.
Kalau bertemu seorang geisha, mereka tidak boleh meminta foto bersama, menyentuhnya, atau bahkan memandangi dengan cara yang membuat risih sang geisha. Kita hanya boleh mengambil foto dari jarak jauh. Geisha biasanya juga membatasi diri untuk bicara dengan orang yang tidak
dikenal. Mereka hanya mau beramah tamah dengan para tamu VIP yang telah memesan mereka.
Ah, akhirnya malam itu saya—merasa seperti paparazzi—berhasil juga memotret seorang geisha yang sedang berjalan terburu-buru menuju sebuah tea house. Dan kendati banyak wanita berhilir-mudik dalam pakaian kimono dan sanggul Jepang, sebenarnya kita bisa membedakan seorang geisha dengan yang bukan geisha. Ada keanggunan dan keangkuhan tersendiri yang memancar dari wajah dan postur tubuh seorang geisha profesional saat ia memasuki atau keluar dari sebuah tea house.
Foto: Nita Strudwick