
Banyak yang saya alami selama 27 tahun bergabung di Pelatnas Panahan. Setelah memutuskan untuk berhenti, tahun 2015 hati saya terketuk untuk kembali dan melatih.
Apa yang saya rasakan setiap kali membawa nama Indonesia di luar negeri, ingin sekali saya bagi. Bukan sebagai dongeng untuk anak didik, tetapi untuk melihat kembali bendera Indonesia berkibar di belahan bumi mana pun karena panahan.
Tahun 1980, kakak ipar saya memperkenalkan olahraga Panahan. Sebelumnya saya memang gemar berolahraga, khususnya senam. Namun yang membuat saya nyaman di Panahan adalah aktivitasnya yang dilakukan di luar ruangan. Saya juga merasakan asyiknya memanah. Setiap kali berlatih, saya selalu penasaran. Terus-menerus memperbaiki teknik, mulai dari anak panah yang tidak mencapai target sedikit pun, sampai berhasil meraih angka 10. Rasa penasaran membuat saya dapat mengendalikan diri untuk terus berlatih. Teknik dan pengendalian merupakan kunci untuk meraih peringkat di atas 10 besar Indonesia. Dari sini saya mendapatkan tiket masuk Pelatnas di tahun 1981.
Saya tidak pernah becita-cita menjadi seorang atlet profesional, apalagi membayangkan diri berkeliling dunia. Saya hanya ingin menekuni pilihan saya yang sudah saya pelajari. Dulu, saya dan rekan-rekan bermain untuk Indonesia. Bukan hanya di mulut, namun itulah yang kami rasakan dalam hati. Latihan keras yang saya lakukan adalah persembahan untuk Indonesia. Lelah dan menuai caci-maki dari pelatih kerap saya alami. Tapi saya sadar bahwa hal itu untuk kebaikan diri saya.
Kalau melihat anak-anak didik saya sekarang, mereka hanya memikirkan diri sendiri. Tujuan mereka agar dapat mengikuti kejuaraan internasional, dan itu cukup membuat mereka bahagia. Dengan keberadaan saya di Pelatnas, saya ingin memberi pemahaman kepada mereka bahwa yang mereka kejar bukan hanya kejuaraan.
Dengan latihan yang keras, maka hasil yang diperoleh untuk diri sendiri pun akan lebih memuaskan. Tidak selamanya saya menuai hasil yang memuaskan. Ada saatnya saya berada di titik terendah dalam karier memanah. Ketika itu tahun 1985—saya mengikuti Sea Games di Bangkok. Saya akui bahwa saat itu saya mengalami kejenuhan sehingga prestasi saya pun anjlok. Sampai di Tanah Air, saya mulai berbenah, dan performa membaik di tahun 1987.
Saya tidak menyalahkan siapa pun. Saya hanya perlu bercermin. Sejak saat itu saya belajar memahami apa yang saya lakukan. Dengan pengendalian diri, saya bisa kembali fokus untuk mencapai target selanjutnya, Olimpiade Seoul 1988. Dua puluh tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu pula saya belajar memahami anggota tim. Bagaimana karakter masing-masing meski umur saya 10 tahun di atas mereka. Saya harus bisa menempatkan diri, kapan menjadi seorang senior dan kapan menjadi teman.
Memang, perjalanan untuk meraih kemenangan tidak selamanya mulus. Namun dengan adanya saya di Pelatnas, saya mencoba untuk terus-menerus memperbaiki kesalahan. Saya melihat anak didik saya menginginkan prestasi tinggi. Tugas saya adalah membantu mereka membangun mental juara. Sayang jika mereka sudah kehilangan banyak waktu, tetapi tidak pernah merasakan pesta olahraga yang sesungguhnya.
[Baca juga tentang film 3 Srikandi yang diangkat dari kisah atlet panahan]
Foto: Dhany Indrianto
Pengarah gaya: Siti H. Hanafiah